Jumat, 30 April 2010

Rumah Tua

Sepasang saudara kembar yang berlainan jenis kini sudah berdiri tepat di hadapan rumah tua yang megah. Tampak banyak pohon di sekitar rumah, serta rumput yang cukup tinggi di halaman rumah.

Malam ini bulan tak tampak. Walau pun begitu bintang-bintang masih terlihat mengagumkan dari bawah sini. Lyra, seorang wanita yang tampak kuat namun tetap saja ia masih terlihat manis tengah menikmati pertunjukan yang tengah dimainkan oleh bintang-bintang di langit.

Ara mengamati sekeliling rumah tua. Ia melihat lantai atas rumah ini, terdapat tiga jendela di sana. Ia kemudian mengangkat tas kulit berwarna coklat kusam menuju pintu rumah tua ini. Rumah ini akan menjadi tempat tinggal mereka selama satu minggu. Ara menyentuh dan mengamati dengan seksama ukiran pada tiang penyangga rumah itu. Ia juga mengamati ukiran pada pintu rumah. Klasik, pikirnya.

Ara membuka pintu rumah tua itu. Tepat di sebelah pintu rumah terdapat dua sakelar. Ia memfungsikan keduanya. Kini lampu halaman menyala, hal ini menyadarkan Lyra dari lamunannya. Ia kemudian menyusul Ara masuk ke dalam rumah. Lampu yang berada tepat di atas Ara juga menyala. Kini aura tampan dan tegar terpancar dari wajah Ara.

Koridor yang menghubungkan pintu utama dan tangga tempat Lyra dan Ara berdiri juga menghubungkan dua ruangan yang berada di samping kiri dan kanan koridor.

“Kau puas sekarang? Aku bingung denganmu. Kenapa kau harus berulah seperti ini? Memangnya lucu menggunduli Sarah, kucing kesayangan tuan McKennai?” bentak Lyra. Ara sontan tertawa membayangkan Sarah tanpa bulu sehelai pun di tubuhnya. Lyra yang melihat kejadian itu hanya menggeleng, ia bingung harus bagaimana mengatasi kenakalan kakak kembarnya itu.

“Aku tidak pernah punya teman karena kau, Ara. Kenapa kau tidak pernah bersikap baik?” kali ini suara Lyra lebih lirih.

Ara mengamati saudara kembarnya. Ia kemudian berjalan menuju ruangan di sebelah kanannya. Rupanya itu ruang perapian. Ia mencari sakelar pada ruangan itu. Lyra kemudian mendapati 3 sakelar di dekat tangga. Ia menggunakan ketiganya. Lampu ruangan tempat Ara berada menyala. Ada satu pintu lagi di ruangan itu. Ara memasuki ruangan itu. Kamar rupanya.
Lyra beranjak dari tempatnya berdiri menuju ruangan yang ada di sisi lain dari tempat Ara berada. Rupanya dapur, namun masih ada pintu lagi pada ruangan itu. Setelah Lyra membukanya ia menyadari bahwa ruangan itu adalah kamar mandi. Lyra tampak heran mengamati situasi rumah tua ini. Rumah yang cukup bersih untuk rumah tua yang tak pernah dihuni selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun.

Ara menyentuh bahu Lyra untuk menyuruhnya segera beristirahat. Namun, Lyra tampak terkejut karena hal itu. Lyra berjalan menuju koridor. Tas mereka masih berada di koridor. Mereka berhenti sesaat di koridor.

“Ly, aku tak pernah memintamu untuk terus mengikutiku. Aku tak pernah melarangmu untuk berteman,” kata Ara kemudian mengangkat tas menuju kamar yang telah ia temukan tadi.

Lyra terdiam mendengar ucapan Ara. Apa mungkin tadi ia terlalu kasar dengan kakaknya sendiri. Lyra takut jika ia terlalu sibuk berteman, Ara akan semakin terjerumus. Ia merasa sangat perlu untuk memastikan kakaknya akan baik-baik saja terlebih saat orang tua mereka meninggalkan mereka.
….
Malam yang menyenangkan dua belas tahun lalu di desa plutorius. Lyra masih sangat kecil kala itu. Ia terlalu kecil sehingga terlalu mudah terpengaruh oleh gulali yang seukuran wajahnya.

“Lyra suka gulali?” tanya Ibunya terhadap Lyra.

Lyra hanya mengangguk dengan tatapan sangat ingin mendapatkan gulali itu. Samar-samar ia mendengar apa yang Ibunya katakana padanya, karena ia masih terlalu sibuk dengan gulalinya. Yang masih ia ingat adalah pesan Ibunya untuk terus bersama Ara bagaimana pun keadaan yang terjadi.
….
Lyra menyeka air matanya yang terjatuh. Ia merasa sangat merindukan kedua orang tuanya. Sudah dua belas tahun ia memilih untuk belajar memasak dari pada membeli sebuah gulali.
Ara kembali menghampiri Lyra di koridor. Ia menyuruh Lyra masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Hanya ada satu kamar di lantai satu ini. Ia melihat tangga yang berada di koridor. Tangganya sudah tua, tampak bolongan bekas dimakan rayap. Di ujung tangga cukup terang karena lampu yang dinyalakan oleh Lyra tadi. Di ujung tangga, tangga itu berbelok dan menuju lantai dua.

Lyra yang tampak lelah karena sepanjang perjalanan ia terus mengomel memilih untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Terlebih rumah tua ini berada cukup jauh dari rumah kepala desa McKennai tempat mereka tinggal. Rumah ini terletak di tepi desa Plutorius. Mereka berada di sini karena mereka sudah terlalu banyak berbuat ulah di desa. Sebenarnya lebih tepat Ara banyak berulah di desa. Namun karena Lyra tak ingin dipisahkan dari saudaranya, ia memilih untuk ikut dihukum bersama kakaknya di rumah tua ini. Mereka dihukum untuk tinggal selama satu minggu di rumah tua ini.

Ara mengamati adiknya hingga punggungnya hilang di balik pintu. Pandangannya kini beralih pada tangga. Entah mengapa ada rasa yang sangat aneh yang Ara rasakan., Jantungnya berdebar lebih cepat. Ia mengamati anak tangga. Walau pun ada lubang karena di makan rayap, tangga ini sangat bersih. Tidak ada sarang laba-laba bahkan debu pada tiap anak tangga.

“Ra,tidur yuk,” kata Lyra mengejutkan Ara.

“Tapi Ly, hanya satu kamar yang berada di lantai satu ini. Mungkin di atas kita dapat mendapati cukup banyak kamar untuk di tempati,” kata Ara.

“Besok pagi aja Ra. Sekalian kita berbenah buat persiapan tinggal selama satu minggu,” kata Lyra meyakinkan Ara. Akhirnya Ara memutuskan untuk beristirahat dan melanjutkan penjelajahannya di rumah ini esok hari.

Sebelum Ara membuka pintu kamar, tiba-tiba terdengar bunyi benturan keras dari arah pintu masuk. Suaranya seperti suara orang yang jatuh dari lantai dua. Ara dan Lyra terpaku sejenak dan saling tatap. Akhirnya Ara memutuskan untuk melihat bunyi apa tadi. Lyra berjalan tepat dibelakang Ara. Ara mengeluarkan pisau kecil yang selalu ada di sakunya sejak dua belas tahun yang lalu.

Lyra terkejut melihat Ara mengeluarkan pisaunya. Karena Lyra tak pernah melihat pisau itu sebelumnya. Merasakan tatapan yang ditujunya dari Lyra memancarkan aura tidak setuju dia menggunakan pisau kecil itu.

“Kenapa menatapku seperti itu? Pisau ini hanya untuk berlindung,” kata Ara.

“Kau butuh perisai bukan pisau kecil itu untuk berlindung,” kata Lyra.

Ara tidak memperdulikan komentarnya. Ia terus berjalan pelan menuju koridor. Sesampainya di koridor ia terkejut, pasalnya tak ada sesuatu di situ.

“Ra, lihat,” kata Lyra sambil menunjuk mayat cicak yang tadi belum ada. Cicak itu tampak hangus seperti telah dipanggang.

Mereka saling tatap seperti melontarkan pertanyaan yang sama namun tidak ada yang bisa menjawab. MEreka masih tidak percaya jika bunyi yang keras berasal dari cicak yang jatuh.

“Sudahlah Ra, mungkin kita terlalu lelah sehingga kita salah dengar,” kata Lyra mengajak kakanya untuk tidur. Ara mengiyakan saja walau pun dipikirannya ia merasa ada yang aneh dengan rumah ini.
….
Pagi yang cerah, Lyra terbangun lalu membuka jendela kamar. Cahaya seakan menyerbu rauang kamar saat Lyra membuka jendela kamar. Ara kemudian terbangun. Ia tidur di lantai sedangkan adik perempuannya tidur di kasur yang cukup empuk.

“Ok Ra. Waktunya kita beraksi,” Ara tampak masih belum penuh mengisi energinya. Ia terbangun lemas. Ia duduk sejenak membiarkan nyawanya terkumpul dan masuk kembali ke raganya. Setelah ia betul-betul tersadar ia baru beranjak dari kamar.

Ara membersihkan halaman rumah. Ia memotong rumput-rumput yang mulai meninggi. Alat pemotongnya tak pernah digunakan sepertinya. Alat pemotongnya sudah mulai macet. Sedangkan Lyra membersihkan bagian dalam rumah. Ia juga menyiapkan makanan untuk sarapannya dengan kakaknya.

Pekerjaan di luar rumah ini memang cukup berat. Pasalnya bagian luar rumah memang menggambarkan rumah yang tak pernah dihuni lama. Namun beda halnya dengan bagian dalam rumah. Butuh waktu lama untuk membersihkan bagian luar rumah.

Setelah yakin jendela bersih, halaman tampak lebih rapih, dan tak ada lagi rumput yang tinggi Ara kemudian masuk dan menikmati masakan yang dibuat adiknya. Sudah berlalu dua belas tahun sejak orang tua mereka meninggalkan mereka. Namun Ara masih mengingat dengan sangat jelas masakan ibunya. Rasanya sama persis dengan masakan yang dibuat Lyra.

Ara memakan sup yang dibuat adiknya. Ia mulai menyuapi perlahan namun ia tak kunjung berhenti memikirkan tentang kejadian cicak yang mati tadi malam.

“Ra, kau merasa ada yang aneh dengan rumah ini? Sepertinya semua peralatan di rumah ini sangat terawat. Aku juga tak kesulitan untuk membersihkannya,” kata Lyra.

“Tapi tidak dengan yang berada di luar rumah. Keadaannya sangat kotor dan berantakan. Aku saja sampai kewalahan membersihkannya,” kata Ara masih sambil menyantap supnya.

“Berarti hanya bagian luar rumah yang tidak dirawat,” kata Lyra.

“Oleh?” tanya Ara yang membuat mereka berdua berhenti membicarakan topik ini.

Lyra terdiam. Apa mungkin sudah pernah ada anak lain yang juga dihukum untuk tinggal disini sebelumnya? Ia tak tahu keadaannya.

“Mungkin di lantai atas ada jawabannya, Ly. Lagi pula kita belum membereskan lantai atas,” kata Ara. Lyra hanya mengangguk. Mereka berdua menghabiskan makanannya. Kemudian beranjak dari dapur menuju koridor.

Kini mereka berdua menatap tangga. Untuk beberapa menit ketakutan menyelubungi hati mereka. Namun akhirnya langkah mereka perlahan tapi pasti. Mereka menaiki anak tangga satu persatu. Terkadang suara berdecit keluar saat anak tangga diinjak. Tangan kanan Ara menggenggam pisau yang ada di sakunya dan tangan kirinya menggenggam erat tangan Lyra.

Saat mereka tiba di anak tangga terakhir tiba-tiba saja seekor kucing melompati mereka kemudian mencakar lengan Lyra. Lyra nyaris terjatuh namun tangan kiri Ara tetap menahannya. Melihat, tangan Lyra yang berdarah, Ara merobek lengan bajunya untuk membalut luka di tangan adiknya. Ia kemudian mengejar kucing itu. Ara mengeluarkan pisau dari sakunya.

“Kali ini kau tak kan selamat kucing. Akan ku kuliti kau melebihi apa yang kulakukan terhadap Sarah,” kata Ara kemudian berlari menuruni tangga.

Saat melihat kucing itu berlari menuju arah pintu utama depan tangga yang terbuka Ara ragu akan berhasil menangkap kucing itu. Namun yang membuat Ara terkejut adalah, kucing itu tidak keluar. Bahkan ekornya pun dijauhkan dari pintu. Kucing itu kini berdiri tepat dimana mayat cicak tadi malam terjatuh. Dengan posisi siap terkam kucing itu mengeong-ngeong.

“Kau tak kan lepas kucing,” kata Ara, walau ia merasa ada hal yang aneh dengan tingkah kucing itu.

Lyra mencegah apa pun yang akan dilakukan Ara terhadap kucing itu. Ia merogoh saku celananya. Lyra mendapatkan sepotong roti. Ia kemudian menyodorkan kepada kucing itu.

“Sudahlah Ra, dia hanya kucing,” kata Lyra. Kemudian kucing itu perlahan mendekati potongan roti yang diberi Lyra. Lyra melihat kalung yang berkilau di leher kucing. Kalung bergambar sayap berwarna biru dan berkilau.

Lyra kemudian menggendong kucing itu. Kini kucing yang tadi membuat heboh keadaan rumah tampak tenang dengan roti di tangannya. Di kalungnya tertera tulisan SIVIE.

“Namamu Sivie? Nama yang bagus,” kata Lyra kemudian membelai rambut kucing itu.

Ara tampak muak melihatnya. Seharusnya tadi ia sudah menguliti kucing yang melukai adiknya jika ia tidak dicegah Lyra. Ia kemudian melihat tangga yang ada di belakangnya. Ia berlari menaiki tangga. Apa pun yang ada di atas adalah jawaban dari segala keanehan rumah ini pikirnya.

Sesampainya di atas pemandangan yang dilihat Ara adalah koridor yang memenjang dan berujung di sebuah jendela besar. Di sisi koridor itu terdapat tiga pasang pintu yang saling berhadapan. Seperti suasana sebuah asrama atau penginapan yang ada di desanya.

Ara berbalik memastikan apakah adiknya tidak mengikuti. Namun sepertinya adiknya sibuk dengan peliharaan barunya. Ara memasukkan pisaunya ke dalam saku celananya lagi. Ia berjalan menuju jendela besar yang berada di ujung koridor. Walaupun ia tahu ia akan melihat pemandangan luar rumah, namun rasanya ada yang janggal dengan jendela yang tertutup tirai itu. Namun dugaan Ara salah. Ia terkejut begitu melihat pemandangan di balik jendela. Ia bukannya melihat pemandangan halaman rumah. Melainkan melihat pemandangan dasar laut.

Ara kemudian membuka pintu-pintu yang ada di balik koridor. Namun yang ia dapati bukanlah sebuah ruangan, melainkan pemandangan yang berbeda-beda tiap pintunya. Ada yang berupa padang pasir, padang rumput, kota megah, atau bahkan hanya wilayah yang hanya gelap gulita.

“Ini bukan aneh lagi. Rumah ini berbahaya sepertinya,” kata Ara. Pertanyaannya tentang rumah ini bukannya terjawab melainkan pertanyaannya semakin banyak.

“Sebenarnya rumah apa ini?”
….

Kasta Hati

Siang yang begitu menyengat. Jika dewa matahari memang ada, maka mungkin dia sedang tertawa-tawa dan berbahagia hari ini. Tidak terlalu banyak orang-orang yang memanfaatkan trotoar untuk berjalan. Tapi beda halnya dengan badan jalan kota Bandung yang padat dengan kendaraan bermotor. Tepat disebelah telpon umum, pengguna trotoar yang sedari tadi setia berdiri untuk kesekian kalinya mengamati jam tangannya.

Gadis itu sesekali menatap langit yang tak berawan. Tak ada awan yang menghalang sinar matahari. Ia juga menyeka keringatnya dengan sapu tangan miliknya. Di tangan kanannya tampak minuman dalam plastic, sepertinya es teh.

Sudah dua jam ia menunggu di sebelah telpon umum itu, tapi orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Sepertinya gadis itu sudah tak sabar menunggu. Ia merogoh saku celanya. Barang kali ada uang koin yang bisa ia gunakan untuk menelpon. Tapi ia tak juga mendapatkannya.

“Cari koin Mbak?” tanya seorang laki-laki padanya.

Gadis itu berhenti mencari uang koin di sakunya. Pandangannya beralih menatap sosok yang mengajaknya berbicaranya. Tampang gadis itu menjadi sangat kusut. Ia lalu mencubit lengan cowok itu.

“Aww,,!” teriak cowok itu.

“Udah nunggu dua jam. Dasar keset, hobinya ngaret,” kata gadis itu lalu menyeruput es teh yang dari tadi ia pegang.

Cowok itu melihat keringat yang mengalir di kening si gadis. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya lalu mengelap keringat di kening sang gadis.

“Tuh keringat bau. Jadi kotor kan sapu tanganku. Bawa pulang nih sekalian dicuciin,” kata sang cowok sambil menyerahkan sapu tangannya. Sang gadis hanya tersipu malu.

“Lagian yang mau pinjam sapu tanganmu siapa? Aku juga punya,” kata sang Gadis tapi tetap mengambil sapu tangan yang diberikan kepadanya.

“Siapa suruh gak bawa HP,” kata sang cowok.

“Tapi kan..,” belum selesai sang gadis menjawab, sang cowok menariknya menuju pusat perbelanjaan.

“Masuk aja ke dalam. Di sini panas.” Sang gadis hanya menurut dengan raut wajah yang merah padam.

Gadis itu mengamati penampilan sang cowok. Cuek seperti biasa, batinnya. Hanya kaos bergambar kartun the Simpson dan celana jins. Dari kening sang cowok mengalir keringat. Sepertinya ia telah berlari-lari menuju tempat janjian mereka bertemu.

“Ri, kita mau kemana?” Tanya sang cowok kepada sang gadis. Tapi pikiran sang gadis tidak berada di tempatnya.

“Ri! Riana! Uhh,, Cicak!!” teriak sang cowok. Gadis yang dipanggil pun akhirnya sadar.

“Apa?” tanya Riana dengan tampang tololnya yang khas.

Sang cowok mengusap-usap rambut Riana. Adegan ini cukup menarik perhatian orang-orang yang lewat di dalam pusat perbelanjaan.

“Kamu tuh ya, dipanggil Riana gak nyadar-nyadar giliran dipanggil Cicak baru nyadar. Emang cocoknya namamu itu Cicak,” kata sang cowok. Riana menepis tangan cowok yang mengusap kepalanya.

“Apaan sih? Kamu juga lebih cocok dipanggil keset dari pada Ares,” kata Riana disusul suara perutnya yang bergema.

Suasana sesaat hening setelah suara perut Riana berbunyi dengan cukup keras. Orang-orang yang lewat juga berhenti sejenak. Seakan pada saat itu waktu berhenti. Riana mentap Ares dengan wajah merah padam karena menahan malu. Ares menatap wajah Riana dengan wajah merah padam menahan tawa.
….
Di restoran Jepang inilah akhirnya Ares dan Riana sekarang. Restoran Jepang yang di desain cukup sederhana. Tidak begitu mewah, namun restoran ini tetap saja ramai pengunjung. Ares dan Riana memesan makanan kepada salah seorang waiter di restoran itu. Setelah waiter berseragam merah itu beranjak, tawa Ares pun terlepas.

Meja mereka bergetar disebabkan tawa Ares. Jelas saja bergetar, Ares tertawa sambil menggoyang-goyangkan mejanya. Riana hanya bertopang dagu dan menatap ke arah luar restoran. Ia merasa bodoh telah mempermalukan dirinya di depan banyak orang.

“Udah ketawanya?” kata Riana sambil membenarkan posisi duduknya. Pandangannya kini menatap Ares. Sosok yang sederhana tapi cukup menarik. Teman sejak kecil yang kini tak sekecil dulu, tak lagi beringus, dan tak lagi dekil.

“Ya, udah,” kata Ares sambil mengatur napasnya karena terlalu banyak tertawa.

“Tapi, hahahahaha. Masa ada bunyi perut sekeras itu. Hahaha,” tawa Ares kembali menjadi keras. Tangan Riana yang digunakan untuk menopang dagunya kini beralih digunakan untuk menutu wajahnya.

Ares menyadari Riana sangat malu dengan kejadian tadi. Ia melihat tampang Riana yang merah padam. Cukup manis pikirnya. Ia pun berhenti tertawa.

“Saat berangkat tadi aku kira aku sudah terlambat. Akhirnya aku tidak makan di rumah. Tapi ternyata kau belum datang. Terpikir untuk mencari makanan untuk mengganjal perut tapi aku takutnya kamu datang dan menungguku lama,” kata Riana sambil menatap ke luar jendela.

Suasana pun menjadi hening. Ares menatap teman yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya. Ia merasa bersalah membiarkan Riana menunggu. Andai saja tak ada yang menghalanginya di tempat les musiknya tadi, ia akan tiba di tempat janjian tepat waktu.

Pelayan akhirnya datang. Ia menaruh satu gelas berisi orange juice dan satu gelas berisi jus melon ke atas meja. Kemudian pelayan itu menaruh dua pasang sumpit dan dua mangkok mie ramen. Setelah memberikan semua pesanan, pelayan itu pun pergi.

“Udah ah nggak usah ngambek begitu. Lagian makanannya udah datang. Aku yang traktir deh,” kata Ares membujuk temannya ini.

Riana akhirnya berbalik dan menatap Ares. “Benernih?” tanya Riana. Ares hanya mengangguk dan mulai menyumpit mie ramen miliknya. Riana akhirnya memilih untuk memulai makan.

“Gimana lesnya?” tanya Riana. Ares berhenti menyuap ramennya. Pikirannya melayang saat ia berada di tempat lesnya. Bersama Tatan seorang gadis yang selalu menjadi bahan pembicaraannya dengan Riana, memintanya untuk mengaransemen lagu when you wish upon a star. Riana juga berhenti menyuap dan beralih menatap Ares menunggu jawaban darinya.

“Ada masalah?” tanya Riana. Ares hanya menggeleng lalu wajahnya tampak tersipu. Riana yang melihat gelagatnya mulai menyadari apa yang akan ia ceritakan.

“Let me guess pasti tadi kamu lagi PDKT sama Tatan sampe ngelupain aku yang berjemur matahari,” kata Riana lalu menyeruput orange juice. Ares hanya menatap Riana dan memilih untuk tidak menjawab. Ia melanjutkan memakan mie ramennya.

Riana tidak memedulikan respon Ares. Perutnya terlalu lapar untuk menanggapi respon Ares yang dingin. Akhirnya ia kembali asyik dengan mie ramennya.
….
Ares mengantar Riana pulang. Setelah makan siang di restoran jepang, mereka sudah lama diam. Dalam mobil avanza selama perjalanan tak ada suara. Entah apa yang harus dibicarakan. Apakah harus dengan sosok yang mereka kagumi? Tapi itu akan melukai perasaan keduanya.

“Eh,” kata Riana dan Ares barengan. Mereka saling menatap kemudian tertawa bersama. Suasana sunyi itu pun hilang.

Di kawasan rumah mode setiabudi, jalanan lumayan macet. Apalagi saat ini merupakan libur panjang tahun baru. Banyak kendaraan bermotor dari Jakarta berkunjung ke Bandung dan memadati kawasan kota mode ini.

“Em,, aku putar radio ya. Bosen nih gak nyampe-nyampe,” kata Riana. Ares hanya mengangguk menanggapi Riana.

Suasana di mobil pun tak lagi sepi. Sudah ada suara radio, suara Ares, dan suara Riana. Mereka berbicara mengenai lagu. Bukan sosok yang mereka kagumi masing-masing. Perbicaraan mereka terhenti saat ada bubble pecah di depan kaca mobil Ares.

“Kayaknya bakal lama macetnya. Mau main bubble di taman?” kata Ares. Pandangan Riana tertuju pada jejeran penjual bubble atau balon busa. Beberapa penjual mencoba menarik perhatian pembeli dengan cara membuat gelembung yang banyak dan besar.

“Gak ah. Lagian di sana ada fotografer dan model-modelnya,” tunjuk Riana kepada seorang pria keriting yang mengarahkan beberapa orang untuk bergaya. Taman di kawasan setiabudi ini memang serbaguna.

Ares mengangguk. Sudah hampir 15 menit mereka terjebak macet. Kali ini mobil mereka tak lagi di depan taman. Mobil mereka tepat di depan rumah mode. Tampak jelas mobil-mobil berbagai merek berplat B berjejer rapih di halaman.

“Lagu yang bagus buat para penggemar film Hannah Montana. If we were a movie akan kami putarkan khususnya untuk Siska di Sarijadi. Salam buat sahabatnya tercinta. Ok lagsung saja kita putar lagunya. Check it out,” suara penyiar radio itu terdengar bersahabat. Memang kebanyakan suara penyiar radio terdengar bersahabat. Jika suaranya nyaring, atau terdengar kasar, hal ini dapat menyebabkan para pendengar beralih ke stasiun radio lain.

Yeah, yeah, when you call me, I can hear it in your voice. Oh sure! wanna see me and tell me all about her. La la, I'll be acting through my tears. Guess you'll never know that I should win an Oscar for the scene I'm in.
If we were a movie you'd be the right guy and I’d be the best friend that you fall in love with. In the end we'd be laughing watching the sunset, fade to black, show the names, play the happy song

Suara Miley Cyrus terdengar cukup jelas di telinga mereka berdua. Mereka terdiam kembali, seakan menikmati lagu tersebut. Seperti ada yang merasuk langsung ke hati mereka masing-masing setelah mendengar lagu itu.

Suasana lebih hening dari sebelumnya, bahkan saat suara Miley sudah diganti dengan suara penyiar. Mereka masih saling diam bahkan saat mereka telah keluar dari kemacetan.

“if we were a movie,” gumam Riana lirih. Ares sedikit terkejut mendengar ucapan Riana. Beberapa saat Ares berpikir bahwa

Riana memikirkan hal yang sama. Namun, mengingat cerita Riana ia tersedar akan beberapa hal. AKhirnya Ares memutuskan hanya mengusap rambut Riana.

“Santai aja, dia di Jogja akan baik-baik saja. Aku yakin, kalian berdua akan berakhir seperti movie,” kata Ares dengan suara sedikit tercekat, seperti menelan apel bulat-bulat saja.

Riana menatap sosok sahabatnya. Entah seperti apa wajahnya sekarang. IA begitu malu dan juga marah. Banyk hal yang sahabatnya tak ketahui tentangnya.

“Ngomong-ngomong soal movie, besok nonton yuk,” tawar Ares pada Riana. Riana mengangguk senang.

Mereka akhirnya terbebas dari macet. Suasana riang gembira tergambar dari mereka berdua. Terkadang mereka tertawa, terkadang juga bernyanyi sambil berteriak mengikuti lagu yang terdengar lewat radio.

Akhirnya mereka tiba di depan lorong rumah Riana. Jalanan terlalu kecil untuk mobil. Mobil Ares pun mulai menepi. Tawa mereka terhenti saat mobil berhenti.

“Besok aku telpon deh. Apa perlu aku jemput?” tanya Ares pada Riana.

Riana hanya menggeleng. Dia menatap ruko di seberang jalan. Tampak seorang gadis sedang tertawa bersama teman-temannya.

“Tuh Tatan dah nungguin kamu di tempat nongkrong,” ia menunjuk sosok gadis yang menjadi perhatiannya. Ares mengikuti arah jari Riana yang menunjuk.

“Kamu ditanya apa jawabnya apa. Yakin gak mau dijemput?” tanya Ares meyakinkan Riana.

“Yakin. Mending kamu ngajak Tatan sekalian Res. Seru deh kayaknya,”jawab Riana. Ares menunduk, kemudian pandangannya beralih kepada sosok gadis yang sedari tadi menjadi bahan pembicaraan.

“Udah ah aku turun dulu,” kata Riana membuyarkan lamunan Ares. Ares meraih tangan Riana. Riana langsung menatap wajah Ares. Ia tampak kaget.

“Ehm, Cak. Besok ku jemput aja. Sekalian kita berangkat bertiga bareng Tatan ya,” kata Ares lalu melepas genggamannya.

“Kalau kamu maksa,” jawab Riana tersenyum. Ia pun turun dari mobil. Riana masih berdiri sambil menatap mobil hingga berbelok di lorong sebelah.

Pandangannya beralih pada sosok cewek yang berada di seberang jalan. Riana melambai padanya, cewek itu hanya tersenyum sinis. Riana menurunkan tangannya dan berjalan memasuki lorong rumahnya. Tampak Ares keluar dari lorong sebelah. Ares sempat melihat Riana masuk lorong rumahnya. Ares kemudian menyeberang menuju ruko tempat ia dan teman-teman lainnya biasa nongkrong.

Tampak wajah Tatan tersenyum ceria saat melihat Ares datang. Terjadi percekcokan antara Tatan dan Ares tampaknya.
….
Riana memasuki rumahnya. Ia melihati tangan yang telah di pegang Ares sambil tersenyum. Namun ia tersadar akan suatu hal. Hayalannya ia buang jauh-jauh. Toh mungkin ini hanya perasaan sesat yang sesaat.

Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur tercintanya. Rumah tampak sepi. Sepertinya Ibunya sedang arisan, adik-adiknya sekolah, dan ayahnya kerja. Liburan kali ini Riana tak lagi menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan menuju tempat wisata Jawa Barat

Ia meraih handuk dan mengambil wadah sabun miliknya. Sewaktu ia hendak keluar dari kamarnya handphone miliknya berbunyi. Rupanya ada SMS dari seorang cowok yang ia kagumi di Jogja. Ia mengurungkan niatnya untuk mandi. Itu hanya SMS singkat yang hanya menanyai tentang kabar Riana di Bandung. Riana selalu berpikir bahwa ia tidak mungkin mendapatkan orang ia kagumi.

Ia tidak pernah bisa seramah Ares jika berbincang dengannya. Entah mengapa ia merasa nyaman dengan Ares. Ia teringat pesan seorang temannya di Jogja bahwa hubungan berasal dari sebuah kenyamanan. Hal ini membuatnya kembali teringat Ares.

Ponselnya kembali berdering. Ia melihat nama Keset terpampang pada layar ponsel. Ia tersenyum senang lalu mengangkatnya.

“Hai Set. Ada apa kok udah nelpon nih? Kangen ya?” tanya Riana.

“Uhh,, geer. Hmm, aku mau tanya. Boleh gak Cak?”

“Hmm.”

“Aku berencana akan menyatakan cinta pada Tatan tengah malam ini. Bagaimana menurutmu?” kata Ares. Riana terpaku sesaat. Hatinya tergetar, nafasnya sesak ia hanya terdiam.

“Cak?”

“Gak apa. Bagus kok, kemajuan nih anak,” jawab Riana dengan nada tergetar.

“Ri, kamu gak apa?” tanya Ares.

“Gak tenggorokanku lagi gatal aja. Eh, udah dulu ya. Aku mau mandi dulu nih. Kalau gitu rencana besok batal aja gimana?”

“Eh, jangan. Apapun yang terjadi, waktuku untukmu gak bisa diganggu gugat,” kata Ares yang kontan membuat mata Riana berkaca.

“Jangan bicara begitu ah. Entar lama-lama aku jatuh cinta lo. Hahaha, udah ya. Dah!” Riana akhirnya memutuskan hubungan telpon. Ia menahan air mata yang hendak keluar. Air mata bahagia mungkin, pikirnya.
….
Ares melihat ponselnya sambil terduduk di kasur. Ia menunduk dan berpikir. Di lubuk hatinya ia ragu keputusannya tepat. Namun ia harus tetap menjadi teman setia untuk Riana. Ia tak mungkin menyukainya. Namun kata-kata terakhir di telpon membuatnya berdebar. Namun ia tetap merasa tidak mungkin jika Riana akan jatuh cinta padanya.
….
Riana berdiri di depan lorongnya. Ia sudah menunggu Ares selama 15 menit. Tapi mobil Ares tak kunjung lewat. Ia menamati jamnya lagi. Sesekali menatap langit. Hari ini berawan. Sehingga ia merasa cukup sejuk.

Kini ia bisa melihat mobil Ares mulai menghampirinya. Ia tersenyum walau ia merasa hatinya perih. Ia membayangkan kejadian tengah malam tadi. Terlebih yang duduk di sebelah Ares adalah Tatan, bukan dirinya.

Mobil pun menepi di depan Riana. Riana membuka pintu belakang mobil. Ia kemudian duduk dan terkejut melihat kursi depan kosong.

“Ehm, Cicak, kamu pikir aku supir ya. Kenapa duduk di belakang. Maju sini,” kata Ares.

“Lho Set, kamu gak sama Tatan? Perasaan kemarin kamu bilang…”

“Tatan lagi capek. Masih tidur di rumah gara-gara tadi malam,” jawab Ares.

Riana akhirnya pindah dan duduk di sebelah Ares. Ingin sekali ia bertanya mengenai hal tadi malam. Tapi ia takut akan sedih.
Sepanjang perjalan jika ia ditanyai oleh Ares ia hanya menjawab sekenanya. Ares bingung melihat tingkah sahabatnya itu.

“Cak, kamu kenapa sih?” Riana hanya menggeleng. Pandangannya menuju arah luar mobil. Ia melihat anak-anak yang duduk di pinggiran jalan sambil menjajakan beberapa jajanan.

Menyadari sahabatnya merasakan hal yang aneh tentangnya ia mengalihkan pandangannya menuju Ares. Tampak wajah Ares yang kebingungan namun masih mencoba focus menatap jalan.

“Udah ngomong Tatan belum kalau kamu jalan sama aku? Entar dia ngambek lagi,” kata Riana mencoba mencairkan suasana.

“Ehm, kalau sama Tatan sih bisa besok-besok. Kalau sama temanku ini kan jarang-jarang dia bisa ke Bandung,” kata Ares mencoba menutupi kejadian yang terjadi tadi malam.

“Takut aja kalau aku dilabrak sama dia,” kata Riana.

“Toh aku juga sama kayak kamu, Cak. Kamu emangnya udah bilang sama orang yang kamu suka di Jogja kalau jalan sama aku. Entar aku dilabrak lagi,” kata Ares disertai senyum jahil.

Mobil mereka berhenti karena traffic light berwarna merah. Banyak pengamen yang dari tadi berada di pinggiran jalan langsung menuju badan jalan untuk menghibur para pengendara yang merasa jenuh.

“Ada dua hal yang perlu kamu ingat, Set. Pertama, aku tidak menyebutnya dengan kata sayang, suka, atau cinta. Aku hanya sebatas kagum sama dia. Dan, yang kedua dia juga bukan siapa-siapa aku untuk perlu ngelabrak kamu. Lagian hubunganku dan dia hanya sebatas teman untuk menanyakan tugas sekolah,” kata Riana menegaskan pernyataan Ares.

Traffic light pun kini menyala hijau. Mobil mereka perlahan beranjak dari tempatnya. Badan jalan kota mode cukup ramai dipadati kendaraan bermotor saat liburan tahun baru. Hal ini menyebabkan mobil mereka hanya dapat berjalan perlahan.

“Ehm, kalau cinta, Cak. Ada nggak orang yang kamu cinta?” tanya Ares. Riana hanya menggeleng.

“Aku nggak pernah paham soal itu, Set. Udah ah, ganti topik. Mentang-mentang yang baru dapat pacar ngomongnya cinta-cintaan mulu.”

Mereka pun mengganti topik pembicaraan. Suasana dalam mobil mulai menghangat. Berbagai jenis obrolan mereka obrolkan hingga akhirnya mereka tiba di sebuah mall.
….
Film yang mereka tonton bernuansa action. Setelah selesai mereka menonton film itu, mereka berdua memilih untuk makan. Tak hentinya mereka membahas film yang tadi mereka tonton.

“Ares, lo ngapain disini sama Riana?” tanya Tatan yang tiba-tiba berada di belakang Ares.
Riana terkejut melihat kedatangan Tatan. Tatan datang bersama seorang teman prianya. Mereka hanya berdua. Namun Riana tak berani untuk menuduh Tatan macam-macam, toh Riana dan Ares juga pergi hanya berdua.

“Maaf Tan, aku nggak maksud untuk..,” kata Riana kemudian dipotong Ares.

“Sama siapa Tan?” tanya Ares. Yang membuat Riana bingung adalah nada suara Ares yang terdengar menggoda Tatan, bukannya nada suara yang ketus.

“Oh, ini. Ini pacar gue. Kenalin namanya Davin.” Tatan selalu berbahasa elo-gue jika dalam situasi diluar situasi resmi.

Ares kemudian menjabat tangan Davin sambil tersenyum ramah. Terlalu banyak pertanyaan di benak Riana.

“Terus tadi malam kalian. Bukannya kalian. Harusnya kan kalian udah,” kata Riana bingung sambil menunjuk sana-sini tidak karuan.

“Memangnya tadi malam kalian ngapain?” tanya Davin.
Menyadari peristiwa ini menarik perhatian banyak orang. Ares mempersilahkan Tatan dan Davin untuk duduk di meja mereka. Ia tahu ia akan mendapatkan masalah. Terutama masalah persahabatannya dengan Riana.

“Jadi kalian itu sepupuan?” tanya Riana menegaskan apa yang ia dengar.
Melihat raut wajah Riana yang terkejut ditambah atmosfer yang tidak menyenangkan, Tatan dan Davin pun memilih untuk beranjak.

“Cak, maafin aku,” kata Ares.

“Aku nggak paham. Tujuanmu itu sebenarnya apa? Kenapa harus berbohong kalau kamu menyukai Tatan?” tanya Riana dengan suara lebih tenang. Riana mencoba mengatur nafasnya dan emosinya. Ia yakin sahabatnya mempunyai alasannya sendiri.

“Saat kamu menceritakan tentang cowok Jogja yang kamu kagumi itu, kamu bertanya tentang seorang cewek yang aku suka. Dan aku merasa untuk harus mengatakan bahwa orang itu adalah Tatan.”

Riana mengaduk-ngaduk es jeruknya sambil berusaha mencerna makanan yang ia baru kunyah serta mencerna cerita yang ada. Ia memutar otaknya, dan berusaha memahami cerita apa yang sebenarnya terjadi.

“Kamu suka sepupumu sendiri? Tapi dia udah punya pacar, Set,” kata Riana. Ares hanya memandang aneh kepada sahabatnya sendiri.

“Lama-lama gila aku kalau deket-deket kamu, Cak,” Ares kemudian membayar makanan yang mereka pesan. Saat Riana memaksa untuk ikut patungan membayar makanan Ares menolak.
….
Sudah hampir dua minggu Riana di kota kembang ini. Sabtu besok Riana harus kembali menuju Jogja. Ibunya Riana membantu mempersiapkan kepergian anaknya.
Ponsel Riana berdering. Riana mengamati nama Keset terpampang di layar ponselnya. Riana teringat tentang kejadian di rumah makan tempo hari.

“Kok nggak diangkat?” tanya Ibunya Riana.

“Iya Bu. Riana angkat.”

Riana beranjak dari tempatnya menuju kamar pribadinya. Ia mengangkat telpon dari Ares. Riana berdebar, baru kali ini Ares menghubunginya sesaat sebelum keberangkatanya.

“Ada apa. Set?” tanya Riana to the point.

“ Ya ampun, nih Cicak satu bukannya salam dulu kek,”protes Ares.

“Mau curhat ya Set? Besok aja deh pas udah sampe di Jogja. Aku lagi sibuk packing nih,” kata Riana.
Tidak ada tanggapan dari Ares. Terdengar sesekali Ares menghela nafasnya.

“Ada apa, Set?”

“Tentang perasaan kagum yang kamu ceritakan itu. Jika kata itu yang kau gunakan untuk menggambarkan keadaan dimana kamu merasa berdebar pada lawan jenis, sepertinya aku juga merasakannya,” kata Ares.

Riana tampak bingung harus seperti apa menanggapinya. Ia bahkan masih bingung mengenai kejadian di rumah makan.

“Pada Tatan, sepupumu sendiri?” tanya Riana seadaanya.

Terdengar suara tertawa dari seberang telpon. Riana mulai merasa ia salah menanggapinya seperti itu.

“Kamu itu kadang membuatku kesal ya, Cak. Tatan itu sepupu aku, walau pun aku harus punya perasaan aku sebut itu perasaan sayang. Sayang karena ia adalah sepupuku, keluargaku. Mengenai perasaan itu aku sepertinya merasa kamu orangnya, Cak. Kamu orangnya, Riana temanku dari taman kanak-kanak. Teman lama yang menatap aneh saat pertama kali bertemu kembali. Teman lama yang mengingatkanku bagaimana aku bertingkah hingga bagaimana aku beringus dulu. Namanya Riana,” kata Ares.

Riana menganga. Mulutnya betul-betul terbuka. Ia tak perduli dengan lalat yang bertebangan. Mulutnya tetap terbuka, saking bingungnya mendengar ucapan sahabatnya. Ia tidak tahu harus berkata apa.

“Tapi..,” kata Riana kemudian Ares memotongnya.

“Ri. Jika perasaan mempunyai kasta yaitu tak perduli, tertarik, kagum, suka, cinta, lalu sayang. Aku menempatkanmu pada posisi suka. Jika kamu merasakan perasaan kagum pada cowok Jogja itu, aku ingin kau merasakan suka padaku, Ri,” kata Ares.
Riana semakin bingung.

“Aku tahu aku kurang gentle untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Aku tunggu kamu di ruko tongkrongan depan gang rumahmu.
Jika kau tidak datang hingga kau berangkat ke Jogja, aku bersumpah untuk tidak menerima perempuan siapa pun di hatiku.” Akhirnya telpon tertutup.

Riana masih terpaku. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa senang bagaikan perasaannya terbalaskan. Namun ia tidak yakin, ia ragu dengan segala yang ia dengar. Ia tak mau merusak persahabatannya. Namun lubuk hatinya berkata bahwa ia harus menemui sahabatnya.

Riana akhirnya memilih untuk tetap berada di rumah. Mungkin Ares hanya bercanda. Ia menyelesaikan packingnya. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal, terutama oleh-oleh untuk teman-teman yang ada di Jogja. Setelah selesai ia memastikan, ia memasukkan tas kopernya ke dalam kamar tidurnya.

Sudah berlalu dua jam dari waktu Ares menelpon. Riana masih berpikir Ares menunggunya. Namun segera ia membuyarkan lamunannya itu. Ia teringat saat ia harus menunggu Ares dua jam di sebuah mall.

Riana menonton televisi dan bercanda dengan adik-adiknya. Kebiasaan Riana sebelum berangkat kembali ke Jogja adalah bercanda bersama adik-adiknya hingga mereka tertidur. Ia kembali melihat jam, sudah jam 00.30. Warung juga sudah tutup. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Lagi pula ia tak mungkin keluar rumah larut malam. Orang tuannya tidak akan mengijinkannya. Lagi pula besok ia harus berangkat pagi. Ia memilih untuk tidur.
….
Riana terbangun saat jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Ia menyiapkan sarapan dan bekal untuk perjalanannya nanti. Setelah selesai ia memasak, ia kemudian menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Ia sudah berdandan rapih. Jam kini menunjukkan pukul 04.15.

Akhirnya ia memutuskan untuk menuju tempat ia dan Ares janjian. Ia yakin Ares tak berada di tempat itu. Namun yang ia pikirkan meleset. Ares tertidur di emperan toko. Ia terkejut dan berlari menuju Ares yang tengah duduk tertidur sambil bersandar di tembok.

“Ares, bangun,” Riana memukul-mukul pipi Ares. Ini kali pertamanya Riana memegang pipi Ares.
Riana mengamati dengan seksama wajah Ares. Tampan memang, tapi ia tetap sahabatnya. Ia bingung harus bagaimana.

“Ares, bangun Res,” Riana kembali memukul-mukul pelan pipi Ares.

“Ares pingsan. Ia butuh nafas buatan,” kata Ares sambil membuka sedikit matanya.

“Sialan. Udah ah bangun gih. Ngapain tidur di emperan,” kata Riana kemudian ikut duduk di lantai tepat di sebelah Ares. Riana memandang ke arah jalan. Kendaraan yang lewat pun masih jarang.

“Rapih bener, wangi lagi. Kamu cantik deh Cak, eh maksudku Ri,” kata Ares berusaha memuji.

Riana hanya menengok menatap wajah Ares kemudian menatap kembali badan jalan di depan toko.

“Kamu dandan buat nemuin aku ya?” tanya Ares jahil.

“Enak aja, aku siap-siap mau balik ke Jogja tahu,” kata Riana.
Hening sesaat. Suasana di badan jalan mulai ramai. Riana melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 04.30.

“Kamu di sini dari saat kamu nelpon aku?” tanya Riana. Kali ini badannya menghadap ke arah Ares. Ares hanya mengangguk.

“Kenapa?” tanya Riana. Ares kemudian menatap lekat mata Riana. Riana mencoba mengalihkan pandangan ke badan jalan.

“Perlu aku jawab? Bukannya kamu sudah tahu,” jawab Ares. Riana berpaling lagi, ia tak kuat untuk melihat mata Ares.

“Ini hanya ada dalam sinetron Res. Ini nggak nyata. Nggak ada perasaan sampai harus seperti ini. Termasuk kamu. Kumohon jangan bercanda. Aku sudah muak dengan candaanmu yang selalu melibatkan perasaan. Kau tahu, terkadang aku merasa melayang. Tapi kemudian aku sadar. Kita hanya teman lama yang kemudian bertemu lagi,” kata Riana tapi wajahnya masih tetap memandang badan jalan.

“Kau mau tahu sesuatu, Ri?” Riana mulai memandang sosok yang berada di dekatnya. Ia berusaha menghilangkan rasa takut saat menatap mata Ares.

“Lututku bahkan bergetar. Jantungku pun berdebar lebih cepat saat bercanda seperti itu. Aku selalu berpikir hanya dengan cara seperti ini perasaanku akan tersampaikan, namun aku sadar bahwa kau akan tetap menganggapnya sebagai candaan,” kata Ares membalas tatapan Riana.

Ares menggenggam tangan Riana saat ada perasaan ragu yang terpancar dari mata Riana. Riana merasakan tangan Ares bergetar saat menyentuhnya. Ia merasakan panas yang bergejolak dari tangannya. Ia menyadari tangan Ares dingin, sangat dingin.
Riana menggenggam erat tangan Ares. Ia cemas, Riana mendekati Ares. Ia memegang pipinya, ia merasakan wajah Ares yang panas. Pipinya tak sepanas ini saat tadi ia menyentuhnya.

“Kamu demam, Res. Aku mohon jangan bercanda berlebihan Res. Kamu tak perlu berkorban nyawa untuk ini. Aku panggil Tatan ya. Aku akan mendatangi rumahnya atau kalau perlu aku memanggil orang yang ada di rumahmu,” Ares menahan Riana yang akan pergi.

“Kapan kamu membuka hatimu Ri. Aku tidak sedang bercanda. Tidak ada kamera tersembunyi disini,” kata Ares.

Riana duduk kembali di sisi Ares. Ia melepas jaketnya dan mengenakannya pada bahu Ares. Ia juga melilitkan syalnya pada leher Ares. Ares kemudian menghentikan Riana. Ia menggenggam tangan Riana. Ia merasa hangat saat jemari Riana menyentuh tubuhnya. Ia merasa lebih sehat saat ia menggenggam tangan Riana.

Riana mengerti maksud sahabatnya. Ia menggenggam tangan Ares erat. Ia seakan menyumbangkan hangat untuk Ares. Sesaat perkataan apa pun seakan tak perlu dikeluarkan. Mereka menikmati suasana ini.

“Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini dengan keadaan seperti ini,” kata Riana. Ia menatap jamnya yang sudah menunjukkan pukul 05.28. Ia harus berangkat pukul 06.00.

Riana teringat sesuatu. Ia membuka tas kecil yang ia bawa. Di dalam tasnya selalu ada peralatan P3K. Ia mengeluarkan stiker pengompres lalu menempelkannya di kening Ares.

Riana kembali memegang pipi Ares. Suhu tubuhnya masih panas. Ares menikmati rasa cemas dan perhatian Riana. Ares tak pernah merasakannya. Ia hanya menikmatinya. Begitu menikmatinya hingga ia tak sadarkan diri.

Riana panik mendapati tubuh sahabatnya lemas. Ia menyandarkan kepala Ares di bahunya. Ia mencari kontak Tatan di ponsel milik Ares. Ia menghubungi Tatan. Riana terus membelai rambut Ares. Ia berharap Ares tidak apa-apa.
….
Ares kini sudah tersadar dari pingsannya. Ia sudah tak mendapati Riana di sampingnya. Ia mengamati ruangan tampatnya berada. Tangan kirinya sudah di tusuk infus. Akhirnya ia tersadar ia sedang berada di rumah sakit.

Ares melihat ke arah jam dinding di atas pintu kamar. Jarum pendek berada di antara angka 8 dan 9 dan jarum panjang berada di angka 4. Riana pasti sudah kembali ke Jogja pikirnya. Ia melihat jaket dan syal milik Riana berada di atas meja disebelah kasurnya. Ia meraih syal milik Riana itu. Ia meratapinya seperti ada aura Riana yang tertinggal pada syalnya.

Pintu kamar rumah sakit terbuka. Ares terkejut melihat Riana datang. Riana tersenyum kemudian menaruh bungkusan di atas meja. Ia menarik kursi dan duduk di dekat Ares. Ia memegangi kening Ares, memastikan suhu tubuh Ares menurun kemudian ia baru duduk di kursi.

“Kamu kenapa, Set? Kayak baru lihat setan aja,” tanya Riana. Kemudian membuka bungkusan yang tadi ia bawa.

“Kamu nggak pulang?” tanya Ares.

“Nggak tanpa itu,” Riana menunjuk syal yang dipegang Ares. Riana mengaduk bubur ayam yang ia bawa.

“Orang rumahmu pada di luar kota kata Tatan. Tadi aku kesini sama Tatan dan Davin. Tapi mereka lagi ada acara berdua. Aku nggak tega lihat kamu harus sendiri disini, toh aku masih bisa pulang besok. Awal semester dua kan baru mulai besok senin. Lagi pula aku sering bolos dua tiga hari di awal semester,” kata Riana menjawab pertanyaan yang terpancar dari wajah Ares.

Riana menyuapi Ares dengan bubur ayam yang tadi dia bawa. Menyadari Ares yang merasakan panas di mulutnya akibat bubur ayam, Riana kemudian meniup bubur ayam yang berada di sendok, kemudian menyuapi sahabatnya lagi.

“Bisa makan sendiri?” tanya Riana. Ares menggeleng lalu tersenyum. Kemudian Riana menyuapinya lagi.

“Lagi sarapan ya? Diperiksa dulu ya,” kata perawat yang tiba-tiba masuk. Ares dan Riana tersenyum menyambut perawat yang datang.
“Panasnya sudah turun. Sekarang sudah 38oC. Berarti masih harus tetap dirawat di sini. Pacarnya juga bakal perlu kursus perawat nih,” canda perawat itu kemudian disusul tawa Ares dan Riana.

Mereka kemudian tersenyum saat perawat beranjak keluar dari kamar. Mereka hanya bertatapan seperti membahas mengenai ucapan perawat tadi.

“Nggak usah lihat-lihat begitu deh. Buburnya dihabisin dulu,” kata Riana enggan menjawab pertanyaan dari mata Ares. Ketika Ares menggeleng Riana kemudian menyodorkannya air putih.


Riana menyuruh Ares berbaring, ia kemudian membenarkan selimut. Ia membereskan meja dan bubur Ares.

“Betulan nih, nggak mau dihabisin?” tanya Riana. Ares hanya mengangguk.

Riana kemudian mulai menyantap bubur ayam sisa Ares. Ares terkejut melihat Riana memakan bekasnya.

“Ri, ngapain?” tanya Ares.

“Beli sepatu. Kamu itu aneh ya, jelas lagi makan begini kok.”

“Bukan begitu, tapi itu sisa aku.”

Riana tersenyum dan berkata, “Kan sayang kalau dibuang. Lagian biar aku sekalian bisa merasakan sakitmu. Bukannya pasangan harus saling merasakan apa yang salah satu dari mereka rasakan.”

“Maksudmu?”

Riana tersenyum ia menyelesaikan makannya. Ia membereskan sisa makannya dan meminum air mineral yang tadi ia beli.

“Cicak, jawab dong,” kata Ares.

“Memangnya apa yang perlu aku jawab?”

“Maksud perkataanmu mengenai pasangan.”

“Menurutmu?”

Ares hanya mengangkat bahunya mengibaratkan ia masih belum paham. Tatapannya pun mengibaratkan ia sedang menunggu jawaban dari Riana.

“Aku memutuskan untuk merasakan kasta ke-4. Lebih tepatnya memastikan aku memang merasakan kasta perasaan ke-4, bukan mungkin yang ke-5 padamu,” kata Riana kali ini ia memberanikan diri menatap mata Ares.
Ares terpesona, ia selalu terpesona dengan mata sahabatnya. Ia merasa ia telah mendapatkan apa yang sebenarnya memang sudah menjadi miliknya sejak lama. Ares bangun dari posisinya. Ia kemudian duduk dan menatap Riana.

“Aku juga suka kamu, Keset. Hanya saja ada banyak hal yang selalu membuatku berhenti berpikir mengenai apa yang aku rasa. Tapi aku sadar perasaan bukan tak akan berjalan jika dipikirkan,” kata Riana.

Ares tampak bahagia mendengar ucapan Riana. Entah apa maknanya saat ini mereka pacaran atau tidak. Tapi di hati mereka, mereka saling memiliki.

Perasaan juga memiliki perasaan. Tidak perduli, tertarik, kagum, suka, cinta, lalu sayang. Perbedaan ditiap tingkatannya sangatlah tipis. Sehingga cukup sulit untuk membedekannya. Namun dengarlah kata hati. Karena perasaan tak untuk dipikirkan.
….

Minggu, 25 April 2010

Detik-detik Mendebarkan

Emang benar jika banyak orang stress sama yang namanya UN (Ujian Nasional). Curcol ya, actually hari ini my mom's birthday tapi berhubung rasa berdebar menyelimuti kalbu (sok berat bahasanya) jadinya totally hari ini itu ada apa. Jangankan mom's birthday, ke sekolah tadi aja lupa mandi ma sarapan (lebay mode : on).

Sepanjang malam jantung terus berdebar. Terlebih jika ada suara motor lewat depan rumah, parno abis. Melewati tanggal 25 April sih sudah lega. Apa lagi samapai jam 10 pagi belum ada yang nganterin surat kelulusan senanglah. Walau aku tetap saja ke sekolah dengan perasaan was-was.

Sesampainya di sekolah teman-teman mengabariku kalau 4 orang teman kami tidak lulus sekolah. Kaget banget, apalagi setelah tahu 3 diantaranya adalah dari kelas kebangganku yang tercinta. Menganga sesaatlah. Nah, yang bikin kaget adalah salah satu temanku itu rajin banget buat mempersiapkan UN. Tapi dia belum beruntung. Rata-rata nilainya juga udah bagus. Cuman jeblok di pelajaran math.

Waduh-waduh,, betulan deh deg-degan melebihi saat-saat aku mau ujian. Tapi alhamdulillah aku lulus. Tapi tetap aku cemas sama 3 temanku. Aku akan berusaha membantu mereka, mendukung mereka dengan segenap hatiku. Karena kami satu kelas adalah bersaudara.

Jumat, 23 April 2010

PROLOG

Malam di sebuah desa yang terkenal keramaiannya dan keramahannya, angin berhembus lembut namun terasa sangat dingin. Suasana yang ramai di pusat desa. Acara ulang tahun desa yang selalu ramai, suara tertawa di sana-sini. Terkadang terdengar suara tangis anak kecil karena terpisah dari orang tuanya. Inilah suasana hangat desa Plutorius.

Pusat pertunjukan ada di atas panggung di pusat desa. Berbagai pertunjukan dipertontonkan di atas panggung itu. Tawa terdengar sesekali menggelegar saat panggung mempertontonkan pertunjukan komedi. Suasana hening juga tergambar saat pertunjukan nyanyian dari para penyanyi desa.

Angin yang berhembus pelan kini terasa lebih dingin. Sepasang suami istri yang sedang menggendong anak-anaknya menghentikan tawa mereka. Mereka berdua saling bertatapan. Hawa ketakutan terpancar dari mereka berdua.

“Mungkinkah ada masalah Rhea?” tanya suami terhadap istrinya.

“Sepertinya begitu Alta. Sepertinya ada masalah pada Hanopes. Terutama pada mutiara yang dijaganya,” jawab Rhea pada suaminya sambil mengelus kepala anak lelakinya. Anak-anaknya hanya bisa menatap bingung pada orang tuanya.

“Ara, berjanjilah pada Ibu untuk menjaga adikmu,” kata Rhea.

“Tapi Ibu..?”

“Sst,, tidak apa-apa Ara, kau kuat nak. Ibu percaya kau bisa,” kata Rhea sambil mengusap kepala anak laki-lakinya. Ara hanya mengangguk mantap menanggapi ucapan Ibunya.

Alta menyelipkan pisau kecil dengan ukiran yang apik ke dalam saku Ara. Ara menatap Ayahnya bingung.

“Ayah harap kau tak sering menggunakannya,” kata Alta mengusap kepala Ara. Di gendongannya terdapat seorang anak perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan Ara. Anak itu masih sibuk dengan kembang gulanya.

“Aaaahh,,!!” teriak orang-orang dan berlari menjauhi panggung. Tampak orang-orang yang tengah melawak mematung dan tak bergerak.

“Sudah dimulai Rhe,” kata Alta. Mereka berdua menurunkan anak mereka dari gendongannya.

Rhea dan Alta berpegangan tangan. Tangan kiri Rhea menggenggam tangan kanan Alte, dan tangan kanannya menggenggam kalung berwarna putih bersih.

“Maafkan kami Nak,” kata Alta. Lalu angin dingin yang sedari tadi dikhawatirkan mereka perlahan mendekati mereka. Ara yang bingung dengan kedua orang tuanya menangis. Lyra yang masih sibuk dengan kembang gulanya tiba-tiba membeku. Ara juga membeku, air matanya pun ikut membeku.

Rhea dan Alta memancarkan cahaya terang saat angin dingin menghampiri mereka. Seperti arah angin berbelok dan bertemu kembali di belakang tubuh Rhea dan Alta. Kini seluruh desa sudah membeku. Hanya Rhea dan Altalah yang tidak membeku. Saat Rhea melepaskan tangan dari kalungnya ia lunglai dan terjatuh. Alta menahan tubuh Rhea.

Rhea menangis dan memeluk tubuh Ara. Ia juga memeluk tubuh Lyra yang tengah membeku. Alta membelai rambut Rhea dan mengajak Rhea untuk beranjak.

“Sudahlah, terlalu bahaya buat mereka jika mereka tidak membeku untuk saat ini,” kata Alta. Rhea hanya mengangguk menanggapi ucapan Alta. Air mata Rhea masih mengalir. Ia mengkhawatirkan kedua anaknya. Tapi inilah tanggungan yang harus mereka emban.

Alta dan Rhea beranjak dari tempat mereka berdiri. Ia menuju panggung desa. Di sana terlihat kepala desa yang tengah membeku. Rhea menggenggam kalung yang ia kenakan dan tangan yang lainnya memegang bahu kepala desa

Starrin Buinaes,” ucap Rhea. Es yang menyelimuti kepala desa mulai mencair. Sesaat kepala desa terbatuk-batuk seperti ia baru bisa menikmati oksigen lagi.

“Rhea, apa yang terjadi?” tanya kepala desa.

“Kami tidak tahu tepatnya Pak McKennai. Kami baru akan menyelidikinya. Tapi,” suara Alta tercekat. Ia menatap wajah istrinya.

“Kemungkinan kami tidak akan kembali lagi ke desa. Keadaan tampaknya sedang kacau Pak. Kami tidak bisa menceritakan secara detailnya,” sambung Rhea.

“Kami mohon Bapak mau menjaga anak-anak kami,” kata Alta kepada kepala desa.

“Kami mohon Pak, sebagai gantinya kami berjanji akan mengembalikan desa ini kembali normal,” tambah Alta. Kepala desa Pak McKennai pun menyanggupi untuk merawat Ara dan Lyra.

Di bawah pancaran bulan yang purnama mereka pun berjalan menuju rumah mereka. Mengambil barang-barang yang perlu mereka bawa. Sesekali mereka berdebat. Rhea tak menginginkan satu barangpun ditinggal di rumah. Namun Alta meyakini bahwa akan ada prajurit yang akan menyelamatkan desa.

“Kau meragukan mutiara putih ini, Rhe?” tanya Alta.

“Tapi bagaimana jika anak-anak kita menemukannya. Terlalu bahaya untuk mereka,” kata Rhea.

Hening sesaat. Keduanya memikirkan dampak dari tindakan yang akan mereka tempuh. Mereka tidak ingin membawa anak-anak mereka ke dalam masalah yang berbahaya.

“Baiklah Rhe, kita titip pada Alan saja. Dia juga salah satu dari kita. Salah satu dari kita harus tetap hidup. Dan orang itu adalah Alan, orang yang akan mencari ksatria Vela setelah kita.” Rhea mengangguk. Alta memegang mutiara berwarna putih yang ada di kalungnya.

Gambar mata terpejam pada mutiara putih itu terbuka. Alta dapat melihat sosok Alan yang terbeku di rumah Alan.

“Dia di rumah,” kata Alta. Alta dan Rhea menuju rumah Alan. Alta membawa pedang kesayangannya. Rhea menenteng panah yang sudah bertahun-tahun menemaninya.
Kini mereka sudah tiba di rumah Alan. Gambarannya sama persis dengan yang ia lihat tadi. Alan tengah duduk dan menikmati secangkir teh. Rhea mendekati sosok Alan. Tangan kirinya memegang kalungnya, dan tangan kanannya memegang bahu Alan, seperti saat ia hendak menyadarkan kepala desa.

Starrin Buinaes,” Es yang menyelimuti Alan pun mencair. Alan terbatuk-batuk sesaat kemudian tersadar.
Alan mencoba mengatur napasnya. Ia melihat kedua sosok sahabatnya yang berpakaian seakan siap berperang.

“Apa yang terjadi?” tanya Alan.

“Sepertinya ada yang mengambil mutiara hitam,” jawab Alta.
Alan terkejut. Mutiara hitam yang dijaga oleh Hanopes, sosok makhluk yang ganas dapat dicuri oleh seseorang.
“Kami akan mengorbankan diri,” jawab Alta. Menurut mutiara putih, akan ada ksatria yang akan menyelamatkan PLutorius. Alan pun dititipi panah milik Rhea, mutiara putih dan kalung penyembuh milik Rhea. Mereka hanya pergi menuju sumber masalah dengan pedang yang dimiliki Alta dan baju perang mereka.
….