Kamis, 20 Mei 2010

RIVAL

Tema pertandingan pertama telah ditentukan. Sampai detik ini pun aku belum juga mendapatkan inspirasi harus menulis apa. Biarkan saja dulu, pikirku. Aku masih punya waktu dua hari lagi. Aku mengikuti pelatihan dulu, mungkin saja setelah itu inspirasi akan datang.

Hari ini adalah hari pertama aku mengikuti pelatihan. Acara satu minggu tiga hari ini memaksaku untuk meninggalkan rumah sementara waktu. Hal yang paling akan aku rindukan adalah masakan ibu, dan berjuta inspirasi darinya. Ialah sumber terbesar inspirasiku.

Sebuah gedung yang cukup besar. Ini akan menjadi rumah sekaligus sekolah untukku. Aku berjalan memasuki gedung secara perlahan. Pandanganku kusapu sepanjang perjalan masuk gedung. Ku amati detail design gedung. Tipe futuris minimalis, model gedung jaman kini.
Setelah memasuki gedung, aku menuju resepsionis yang selalu tersenyum ramah. Seperti sudah menjadi hukum dasar seorang resepsionis. Jessica namanya, sudah tertera dalam kartu yang terdapat di dada kirinya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Jessica ramah.

“Ya, saya salah satu peserta pelatihan sekaligus lomba menulis,” kataku kemudian menyodorkan surat yang diantar Darda kemarin sore.

“Sebentar ya,” kata Jessica kemudian mengotak-atik komputer yang berada di sebelahnya.

Pandanganku beralih menatap sekeliling lobi. Ruangan yang sangat luas. Ada beberapa sofa di ujung ruang sana. Mungkin aku bisa duduk dulu. Aku pun member isyarat pada Jessica. Aku menuju ke sofa untuk duduk sambil menunggu Jessica menyelesaikan administrasi.

Sofa yang nyaman. Dari sini, aku dapat melihat beberapa orang menunggu di depan sebuah lift. Namun beberapa orang ada yang memilih untuk menaiki tangga yang berada tepat di sebelah lift. Pandanganku beralih kepada Jessica yang memanggil namaku. Akhirnya aku beranjak dari sofa yang nyaman ini.

“Ini kartu peserta, Anda,” katanya formal.

Aku meraih kartu peserta yang diserahkan Jessica lalu mengalungkannya.

“Cala, panggil saja begitu. Aku merasa sungkan kalau kau panggil aku dengan “Anda”, boleh begitu kan?” kataku. Jessica hanya tersenyum dan mengangguk.

“Baik Cala. Kau tunggu saja di sofa tadi. Nanti akan ada penjelasan dari panitia apa yang perlu kau lakukan. Aku akan memanggilmu,” katanya. Aku mengangguk kemudian menuju sofa yang tadi ku duduki. Aku mengamati ID card milikku, ada foto yang tertera disana dan sebuah nama CALA. Namaku tanpa nama lengkap.

“Kenapa Andrew?!” teriak seorang pria di depan Jessica. Aku terkejut mendengarnya kemudian pandanganku beralih padanya. Beberapa orang juga tertarik mengamati mereka.

“Harusnya Athan! Itu nama tenarku. Harusnya kau tahu seorang seniman harus punya nama tenar! Bagaimana jika penggemarku nanti tahu kehidupan pribadiku gara-gara tahu nama asliku!” teriaknya di depan Jessica. Pemandangan yang tidak mengenakan. Kasihan Jessica, aku harus bertindak. Aku berdiri hendak menghampirinya namun Darda datang mencegahku.

“Biar saya,” katanya lalu tersenyum dan berjalan menuju pusat keributan. Aku pun akhirnya duduk kembali, namun pengamatanku tak lepas dari pusat keributan.

Darda menghampirinya dan berbicara. Tampak beberapa kali tampang seorang yang bernama Andrew itu tampak tidak setuju dan protes pada Darda. Sepertinya Darda berhasil meyakinkannya akhirnya Andrew itu tampak kecewa dan berjalan menuju arahku.

“Kau tahu betapa menyebalkannya dia?” tanya Andrew padaku kemudian duduk tepat di sebelahku.

“Siapa?” tanyaku basa-basi. Aku sebenarnya tahu siapa yang dia maksud.

“Dia, asisten juri yang juga rangkap panitia. Sok eksis banget sih. Emang salah kalau aku pakai nama tenar?” katanya ketus. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Cowok ini aneh, aku baru menemukan seorang cowok yang bawel seperti ini.

Dia terdiam saat aku tersenyum. Ia menarik napas dalam. Kemudian tersenyum padaku. “Namaku Andrew,” katanya sambil menjulurkan tangan. Aku meraih tangannya. “Bukannya Athan?” tanyaku bercanda sambil tersenyum jahil.

“He. Kau tahu? Memangnya tadi aku mencolok ya? Aku menulis artikel,” katanya. Memang cukup jelas bagi seorang penulis artikel. Note kecil ia kalungi dan sebuah kamera.

“Cala, penulis fiksi,” kataku.

“Kau lebih tampak seperti penulis non fiksi,” katanya sambil menunjuk noteku. Aku jadi teringat Darda saat mengira aku seorang wartawan.

“Kau orang kedua yang berpikir seperti itu,” kataku.

Wajah Andrew tak jauh beda dengan namanya. Sepertinya ia keturunan blasteran. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, matanya besar dengan warna bola mata biru menyejukkan. Walau pun dia rebut tentang namanya sepertinya dia bukan seorang yang ribet. Dandanannya simple. Kaos warna hitam, celana jins, sepatu kats, dan rambut yang disisir tak rapih.

Tiba-tiba saja seorang gadis sudah duduk di sebelahku. Aku melihat ID cardnya. Ia juga peserta sepertinya.

“Hai, aku Cala penulis fiksi,” aku menyodorkan tanganku. Ia menjabatnya kemudian berkata, “Aku Stesha penulis fiksi.” Ia tampak sangat anggun. Cardigan berpadu dengan trousers, rambutnya dikucir rapih ditambah dandanan yang sederhana namun memberi kesan elegan. “Andrew, penulis nonfiksi, artikel,” kata Andrew sambil melambai pada Stesha. Stesha hanya tersenyum tipis memberi kesan sedikit arogan. Andrew tampak cuek menanggapinya.

“Andrew?” godaku. Andrew hanya tersenyum malas menanggapiku. Tinggal dua orang peserta lagi.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dua orang peserta lain. Mereka tidak duduk di sofa bersama aku, Stesha, dan Andrew sehingga aku belum mengenal mereka dan apa yang ia tulis.
Jumlah peserta pun sudah lengkap, kami semua kemudian dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Aku mengamati seluruh peserta. Hanya aku dan Stesha yang berjenis kelamin perempuan. KEtiga peserta lainnya merupakan pria.

“Terimakasih atas partisipasinya. Lomba menulis yang tidak ditetapkan genrenya ini sama seperti lomba musik yang tidak ditetapkan aliran musik yang akan dimainkan. Penilaiannya berdasarkan presentase keberhasilan dari segi tulisan. Setiap jenis tulisan mempunyai criteria penilaian berbeda. Yang menjadi juara adalah, apa bila presentase dari criteria penulisan terbanyak dari peserta lain,” jelas salah seorang panitia.

Babak perkenalan pun dimulai. Kami satu persatu diminta untuk memperkenalkan diri kemudian diminta menyebutkan jenis tulisan yang ditulis.

“Nama saya Zio. Penulis puisi,” katanya. Zio adalahh lelaki yang tampan. Jika saya tidak sedang fokus pada pekerjaan yang akan saya geluti ini mungkin aku akan fokus mendekatkan diriku pada Zio. Dia tidak begitu rupawan. Tidak setampan Andrew, namun nuansa misterius terpancar darinya.

“Saya Andrew, penulis artikel,” kata Andrew disusul Stesha,l “Stesha, penulis fiksi.” Seorang di sebelahku ini berdiri, “Saya Thor, penulis scenario,” katanya tersenyum ramah pada semua orang di ruangan itu. “Saya Cala, penulis fiksi,” kataku kemudian duduk kembali. Berarti hanya Andrew yang menulis non fiksi.

“Semoga kita bisa akrab ya, Cala,” kata Thor dengan menyebut namaku Cala. Dia membaca dengan huruf C bukan K.

“Harusnya kau bilang Kala. Bukan cala. Cara mengejanya menjadi Cala,” kataku membenarkan penyebutan namaku. Itulah hal yang paling sensitive dalam hidupku.

Thor tampak cuek dengan dandanannya. Ia hanya menggunakan kaos, celana tiga perempat dan rambut acak.

Saya belum mengenal mereka. Tapi kami akan menjadi rival melewati lima babak pertandingan. Seperti yang sudah ku katakan. Aku tak tertarik menang kalahnya. Aku hanya ingin menambah pengalaman liburan ini.

Setelah babak perkenalan berakhir, kita diperkenalkan kepada orang-orang yang akan melatih kami. Karena unsur intrinsik drama dan cerpen sebagian besar sama maka kelas fiksi cerpen dan drama digabungkan. Agatha, seorang wanita yang umurnya saya taksir berkisar 23an, akan menjadi pelatih kami bertiga. Tubuhnya mungil, wajahnya kecil, tampak manis memang.

Kami kemudian diperkenalkan kepada pengajar lain yang mengajar rival bidang yang berbeda. Alena, ia yang akan mengajar Andrew. Layaknya Andrew, sepertinya Alena juga keturunan blasteran. Hidungnya mancung, wajahnya sedikit membawa aura eropa yang anggun dan elegan. Lalu, Alex yang akan melatih Zio. Sepertinya Alex adalah pelatih yang paling tua. Wajahnya terkesan bijaksana dan tenang. Dibalik ketenangannya, Alex menatap segala sesuatu dengan pandangan yang berbeda. Terkadang seperti ada semburan emosi dari matanya, namun pembawaannya tetap tenang.

“Memandang dan mengobservasi menyenangkan, kan?” kata Alex dan tersenyum padaku. Sepertinya ia juga suka mengamati sepertiku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
Mengetahui Alex menegurku, Zio menatapku dengan tatapan dingin. Sepertinya dia seorang penulis yang dingin. Bukan tipe penulis yang terbawa emosi dalam ceritanya. Pembawaannya juga tenang seperti Alex, namun sepertinya dia tidak peka. Walau pun tampan namun nuansa arogan dan dingin sangat terasa dari jarak dua meter, tepat tempatku duduk saat ini. Sepasang guru-murid yang berbeda karakter sepertinya.

Zio mengalihkan pandangannya dariku dan memilih untuk menulis di buku agenda hitamnya. Berani taruhan, pasti banyak puisi di dalam sana.

“Kita akan bersama ehm, Asia. Bagaimana kalau aku memanggilmu Asia. Aku bingung kalau harus memanggilmu Cala atau Kala. Kau keberatan?” tanya Thor padaku. Aku menatapnya. Pandangannya tertuju pada surat yang ku pegang. Tertera jelas nama lengkapku.

“Terserahlah dari pada kau salah mengeja namaku, Thor.” Asia, bagus juga. Sederhana. Seperti nama benua yang terluas.

“Okey As, aku akan sangat menghargai bantuan dan kerja sama darimu. Kita teman?” tanyanya menungguku menyambut tangannya. Baiklah, toh aku hanya mengejar pelatihannya saja. Anggap saja teman seperguruan. Aku menyambut tangannya, “kita teman,” kataku.
Stesha sibuk dengan laptop yang ia bawa dari tadi. Sesekali pandangannya melihat ke arah panitia yang berbicara. Namun jika mereka hanya sekedar basa-basi pandangannya kembali ke arah laptop.

Saat aku menatap Andrew, ia lagi sibuk mengotak-atik kameranya. Ia kemudian mengarahkan kamera ke arahku. AKu terkejut, sepertinya ia juga terkejut saat aku tahu ia memotretku.

“Athan, sebaiknya kau meminta izin kan sebelum mengambil gambarku,” kataku padanya. Sekalian ku ingatkan saja kejadian tadi dengan Jessica saat memaksa dipanggil Athan. Kasihan juga jika tidak ada orang yang memanggilnya begitu. Biar aku sajalah yang memanggilnya, menarik juga nama tenarnya Athan.

“Maaf. Lagian, aku juga nggak jadi motret kamu kok,” katanya tersenyum. Sepertinya ia tidak tersinggung saat aku memanggilnya Athan.

Darda kemudian menghampiri kami dengan membawa kunci. Kunci kamar sepertinya. Setiap peserta diberikan satu kunci.

“Good luck,” begitu katanya saat memberikan kunci padaku. Aku hanya mengangguk. Seperti jodoh saja ya, semua bermula saat ia melempar bola ke arahku. Untuk beberapa saat aku merasakan wajahku sedikit memanas. Imajinasi di saat yang tak tepat, pikirku.

“Silahkan menuju ke kamar masing-masing. Kalian dipersilahkan berbenah hingga waktu makan siang tiba,” kata panitia kemudian ia menyebarkan lembaran kepada para peserta. Jadwal kegiatan rupanya. Terdapat kalimat yang dicetak tebal, digaris bawah, dan bercetak miring berbunyi, “HUKUMNYA WAJIB UNTUK MELAKSANAKAN DAN HADIR PADA KEGIATAN SESUAI DENGAN WAKTU YANG TELAH DITENTUKAN. HUKUMAN AKAN DIBERIKAN KEPADA SETIAP PELANGGARNYA.” Waw, penekanannya berlebihan menurutku. Tapi aku juga termasuk salah satu seorang yang menghargai waktu, sehingga tak ku pikir begitu berat. Kami akhirnya menuju kamar.

Aku mengangkat tas kulit berwarna coklat milikku. Aku membawa dua tas. Salah satunya tas kulit yang kubawa yang berisi pakaian yang akan aku gunakan dan yang lain yaitu ransel yang berisi notebook kesayanganku.

“Biar ku bawakan. Kamar kita kan berdekatan. Ku angkatkan sampai depan kamar, teman,” begitu kata Thor langsung meraih tas yang ku bawa. Lelaki yang baik. Namun aku menolak bantuannya. Ini masih ringan. Kemudian aku menyarankan Thor untuk membantu Stesha. Tas yang dibawa Stesha lebih besar dan lebih banyak. Sepertinya Stesha tergolong wanita pemerhati penampilan.

Akhirnya Thor mengerti dan ia beranjak untuk membantu Stesha. Aku mengangkat lagi tas kulit coklatku. Kamarku cukup jauh juga. Seluruh kamar peserta di lantai dua. Antrian yang cukup banyak di lift, sepertinya tidak akan muat dirambah dirinya dan tas yang ia bawa. Ia melihat Stesha sudah mengantri untuk masuk ke dalam lift. Akan lama, pikirku. Akhirnya aku memilih untuk menaiki tangga, toh cumin di lantai dua.

Berat memang tasku, tapi aku harus tetap membawanya denganku sampai ke kamar. Hitung-hitung olah raga. Saat kakiku baru menaiki anak tangga pertama tiba-tiba Darda meraih tasku. “Biar ku bantu, aku juga ingin ke atas. Biasanya aku juga naik tangga ini,” katanya padaku. Aku mengangguk, dan berkata terima kasih.

“Tolong tidak menghalangi jalan,” kata seseorang di belakang kami. Zio rupanya, kalimat yang diucapkan begitu dingin. Ia merasa kami pengganggu di sini.

“Maaf,” kataku kemudian membiarkannya jalan di depan kami. Jalannya cepat juga. Kamarku yang paling jauh dari arah tangga dan lift, rasanya sangat melelahkan harus berjalan menuju kamar.

“Bagaimana kepalamu? Baik-baik saja?” tanya Darda. Aku mengangguk dan berkata, “selama aku tidak geger otak saja tidak masalah.” Aku mengelus kening yang terkena bola kemarin.
Ia tertawa satire. Aku mengamatinya lagi, bahunya tetap tegap seperti kemarin. Polo shirtnya belum bisa menutupi otot-otot yang menonjol di bahunya. Ia memang seperti olah ragawan. Walau begitu ia tidak terlalu besar seperti ade rai. Proporsional lah menurutku.

“Kau kamar nomor berapa?” tanyanya saat kami berhasil menginjak anak tangga terakhir. Aku hanya memperlihatkan kunci kamarku padanya.

“Kamarnya di ujung. Untung kau dapat kamar ini. Pemandangannya indah,” katanya. Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Lalu kami berhenti di ujung koridor. Pintu ini bernomor sama dengan yang tertera di kunci. Aku membuka pintu kamar. Darda menaruh tas di depan pintu kamar.

“Biar aku bawa sendiri ke dalam,” kataku saat pintu terbuka dan ia hendak mengangkat tasku lagi. Ia mengangguk kemudian beranjak. Aku mengamatinya hingga ia berbelok menaiki tangga. Kemudian aku masuk ke dalam kamar.

Kamar yang cukup luas namun tak dapat dikategorikan luas. Cukup untuk dua orang sebenarnya. Kasur ukuran medium size mengarah ke arah tv ukuran 14 inci. Jendela yang menghadap ke kamar menghubungkanku dengan pemandangan kota. Memang benar pemandangannya bagus di sini. KAmar di sebelah sepertinya terhalang oleh gedung yang menjulang tinggi. Aku menatap kearah jendela dan mencoba melihat atap gedung sebelah. Sepertinya gedung tingkat lima. Ada kamar mandi mini di kamar ini. Tetap lebih bagus dari kamarku.

Aku sudah tak sabar untuk mengikuti pelatihan. Aku menaruh baju-baju ke dalam lemari pakaian yang di sediakan. Setelah pakaian tertata rapih aku langsung keluar dari kamar. Kamar bukan tempat favoritku.
….
Saat aku hendak berjalan memutari gedung aku melihat Andrew sedang duduk di lobi dan sibuk bermain dengan kameranya. Ia kemudian memotret orang-orang yang keluar-masuk gedung. Aku menuju ke arahnya dan duduk tepat di sebelahnya. Sepertinya ia tak sadar kedatanganku. Kembali ia mengotak-atik kameranya.

“Dapat gambar yang bagus, Athan?” tanyaku padanya. Ia terkejut mengetahui keberadaanku.

“Ya, dengan begini aku dapat mengetahui ekspresi orang-orang,” katanya padaku.
Aku belum paham. Aku membenarkan posisi duduk dan bersiap mendengarkan lanjutan apa yang akan ia katakan.

“Kau bisa saja menyembunyikan perasaan dari orang lain. Namun kamera sepertinya dapat menangkap ekspresi yang disembunyikan. Ini membantuku membuat hipotesa saat menulis artikel,” begitu katanya kemudian ia menunjukkan gambar Jessica yang ia telah potret sebelumnya. Jessica tersenyum seperti biasa. Namun jika kita mengamati dengan seksama matanya yang bulat itu tampak sedikit menyipit, bukan menyipit karena tersenyum tapi karena lelah. Beberapa bulir keringat yang samar sedikit tampak pada gambar yang diambil Andrew.

“Ia lelah tapi menyembunyikannya. Tetap berusaha ramah. Aku merasa bersalah karena membentaknya tadi. Aku baru saja minta maaf sebelum kau datang ke sini,” katanya. Aku kini paham maksudnya.

“Tapi yang ada di gambar hanya hipotesa. Belum cukup kuat jika dijadikan sumber pembuatan artikel,” tambahnya. Aku paham maksudnya. Kita tidak dapat memvonis suatu isu yang diangkat hanya dari sumber ekspresi yang disembunyikan. Hanya membantu membangun dugaan dan hipotesa untuk riset tahap selanjutnya. MEnarik juga, pikirku. Mungkin aku juga bisa mempelajari ekspresi yang disembunyikan untuk membangun karekter pada ceritaku.

“Kau sendiri kenapa selalu membawa note?” tanyanya.

“Inspirasi datang di tempat yang tidak kita duga. Aku hanya ingin segera merekam inspirasi yang datang sebelum menguap lagi. Lagi pula aku menulis cerita berdasarkan riset dan observasi di lapangan sehingga cerita yang di buat mudah diterima dan masuk akal nantinya,” kataku. Ia mengangguk dan paham maksudku. Ternyata Andrew adalah orang yang ramah. Jauh berbeda dengan sosok yang ku lihat tadi pagi.

“Menurutmu bagaimana tema pertandingan kali ini? Sudah kau siapkan?” tanya Andrew. Akhirnya ada yang memaksaku untuk mengingat pertandingan. Besok adalah hari terakhir aku menulis, tapi aku belum puny aide untuk membuat riset.

Aku menggeleng. “Temanya rumit, aku belum ada ide,” kataku pada Andrew. Ia mengangguk paham. Untuk penulis nonfiksi satu-satunya mungkin akan gampang menulis tentang sampah. Toh, masalah sampah di Indonesia juga cukup parah. Apa pun yang akan ia tulis tidak akan ada yang menyamainya karena ia adalah penulis non fiksi satu-satunya di pertandingan ini.

Thor menuju ke arah kami berdua. Ia duduk tepat di sebelahku sehingga aku diapit oleh dua orang cowok ini. Aku memandang ke arah mereka berdua. Kemudian menulis ucapan Andrew ke noteku. Ucapan tentang ekspresi orang yang disembunyikan.

“Hai Asia, Hai Andrew,” sapa Thor. Aku tersenyum saja menanggapinya.

“Kau juga punya nama tenar?” tanya Andrew, dan aku hanya menggeleng menanggapinya.

“Untunglah panitia tadi membawakan tasmu. Aku merasa bersalah kalau saja melihatmu membawa tas itu sendirian menaiki tangga,” kata Thor. “Tak apa,” jawabku.

Pandanganku ku sapukan ke seluruh penjuru ruangan. Di seberang sana tampak Jessica menerima telpon kemudian menjawabnya sambil mengangguk. Untuk apa mengangguk, toh yang berbicara juga tak bisa melihat Jessica. Jessica kemudian menutup telponnya dan menuju ke arah kami.

“Sudah waktunya makan,” katanya. Kami mengangguk kemudian menuju ke ruang makan.
Berbeda dengan ruangan lainnya di gedung ini. Ruang makan ini bernuansa klasik, bukan futuris. Tampak lampu gantung yang besar menggantung di tengah ruangan.

Thor dan Andrew langsung mencari tempat duduk. Beda halnya denganku, pandanganku menuju ke segala ruangan. Mencari sesuatu yang special untuk dijadikan bahan menulis. Aku melihat Zio duduk sendiri. Thor dan Andrew duduk bersama dengan Stesha. Saat aku hendak berjalan menuju arah Zio, aku melihat seorang yang sedang marah-marah kepada pelayan.

“Kau bagaimana sih? Hanya membersihkan yang terlihat saja. Kau bisa tidak lihat di bawah meja ini masih banyak sampah!” kata seorang itu dengan suara keras. Saat aku hendak menghampiri, Darda lagi-lagi sudah mendahului melerai mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk bersama Zio daripada melihat pertengkaran itu.

Sampah tidak terlihat, ya? MEnarik aku mencatatnya ke noteku. KEmudian duduk satu meja dengan Zio.

“Maaf, boleh duduk di sini kan? Meja lain sudah penuh,” kataku. Ia hanya diam tidak menanggapi. Orang yang sangat dingin, pikirku. Terkadang menyebalkan.

Aku beranjak untuk mengambil makanan. Ada banyak makanan enak di sini. Aku hanya mengambil nasi dan Ayam bakar ditambah sayur sup. Kemudian menuju meja minum dan mengambil satu gelas es the. Tidak lupa juga aku mengambil dessertnya langsung. Kini, aku sadari keputusanku yang salah. KEnapa aku harus mengambil semuanya bersamaan. Kan jadi susah.

Aku berjalan perlahan karena takut ada yang tumpah. Musik berdentum lembut di ruangan ini beriringan dengan langkah kaki ku yang perlahan. Zio melihatku namun dia hanya diam dan tidak menolong. Thor dan Andrew juga melihatku mereka berdiri dan hendak menolongku namun sayang kini tidak ada yang perlu ditolong. Kakiku tersandung kabel yang mengarah ke sound system. Untung saja sound systemnya tidak terjatuh, namun sayang es the yang ku pegang di tangan kiri terjatuh. Badan Zio pun terkena es teh yang tumpah.

“Maaf,” kataku panik sambil mengusap kemejanya.

Ia berdiri untuk beberapa saat emosi tergambar di matanya. Matanya terbuka lebar dan kerutan-kerutan muncul di wajahnya. Menyeramkan, pikirku. Ia menarik nafas dalam dan aku menunduk takut karenanya. Ia hanya berkata , “lain kali jangan diulang. Bawalah semuanya satu per satu.” Ia berlalu sepertinya menuju kamarnya untuk ganti baju.

Aku menunduk lemas. Kemudian tetap berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya duduk di kursi tempatku tadi duduk. KEnapa dia bersikap sangat dingin begitu. Aku jadinya sangat merasa bersalah. Nafsu makanku pun menghilang.

Aku hanya makan beberapa suap kemudian berdiri dari kursiku. Saat aku berbalik Thor sudah berdiri di hadapanku.

“Kau harus menghabiskannya. Mau kau makan sendiri atau ku suapi, Asia?” katanya kemudian menuntunku untuk duduk kembali.

“Kau tidak salah. Dia saja yang tidak mau membantumu. Sudah lupakan saja,” kata Thor mencoba menenangkanku. Pandanganku kosong, dan aku masih merasa bersalah.

“Asia,” panggilnya.

“A,,” belum selesai ku berkata apa sendok sudah masuk ke mulutku.

“Jangan hanya karena dia kau harus membuang makanan. Ku kira kau cukup dewasa untuk tahu makanan tidak baik dibuang-buang,” kata Thor lalu menarik sendok dari dalam mulutku. Aku menganggguk paham kemudian memilih untuk menghabiskan makananku.

Setiap suapan yang masuk ke mulutku membuat ingatanku terbang kesana kemari, membentuk imajinasi. Sampah yang tak terlihat, ekspresi yang di sembunyikan, dan masih banyak lagi. Aku dapat inspirasi. Segera ku tulis di noteku kemudian menyelesaikan makanku.

“Dapat ide, As?” tanya Thor dan aku hanya mengangguk. Ia tersenyum ramah.

Setelah ku selesaikan makanku, aku dan Thor berjalan menuju ruang pelatihan. Aku dan dia satu kelas walau tulisan yang kita geluti berbeda. Saat perjalanan menuju kelas aku melihat Andrew. Aku berlari menghampirinya.

“Athan!” teriakku. Ia pun berbalik melihatku.

“Aku ingin membuatmu jadi model ceritaku. Boleh? Aku mengutip beberapa kalimatmu di lobi tadi,” kataku.

Ia mengangguk kemudian berkata, “Boleh saja, asal bukan aku yang jadi sampah.”

“Tidak akan. Selesai pelatihan ku tunggu kau di lobi,” kataku. Ia mengangguk menyetujuinya dan aku pun berjalan menuju kelasku di susul Thor.

Pertandingan pertama telah di mulai, ide ku pun sudah muncul. Bagaimana aku menulisnya nanti, aku belum tahu. Semua tergantung dari wawancaraku dengan Andrew nanti. Apa pun hasilnya, aku tetap tidak begitu perduli.
….

Senin, 17 Mei 2010

Bagaimana Hasilnya??

Inilah meja kayu hitam yang akan menemaniku menulis cerita-ceritaku. Meja kayu yang dingin ini tengah menopang notebook hitam dan sebuah note berisikan riset dan observasi selama dua hari kulakukan kepada Ibuku. Dan inilah hasilnya, beberapa kertas yang melewati lubang printer satu persatu dan menghasilkan cetakan yang berbentuk kata yang menyusun kalimat.

Ku raih kertas-kertas yang telah memuat karyaku. Ku baca sekali lagi memastikan tidak ada kalimat yang bermasalah atau kalimat yang ambigu. Setelah yakin aku pun tersenyum puas. Ku tutup notebook dan note ku. Inilah karyaku, wife's sky. Semoga ini berhasil mengantarku menuju pelatihan sekaligus pertandingan yang ku idamkan sejak lama.
....
Rasanya betul-betul gelisah. Duduk tidak nyaman, berdiri pun melelahkan. Kaki bergerak tak tentu arah, rasanya sistem sarafku menuntutku untuk terus bergerak. Detak jantungku pun berdetak cepat.

Sofa paling empuk di dunia yang berada di depan mataku menjadi tak menarik untuk diduduki. Lukisan yang indah terpampang di tembok ruang tamu tak begitu menarik untuk dipandangi. Aku ingin segera menerima surat. Semoga aku menerima surat. Surat yang menyatakan aku dapat mengikuti pelatihan itu. Ya, aku lebih tertarik mengikuti pelatihannya. Menang atau tidak urusan belakang.

"Cal, makan dulu. Ibu udah masak nih,"kata Ibu.

Teringat tentang cerita yang kubuat. Buat apa aku menulis cerita kalau aku sendiri tak paham amanatnya. Akhirnya aku berhenti cemas dan beranjak dari ruang tamu menuju ruang makan.

Ibu menggoreng ayam dan menumis kangkung. Makanan favoritku. Ibuku memang yang terbaik. Aku pun memakan masakan Ibu dengan lahap. Memang enak masakan Ibu.

Selagi aku memakan makananku, bel rumah berbunyi. Berbagai perasaan campur aduk seperti datang bersamaan dengan gelombang suara yang tertangkap telinga. Rasanya bahagia, berdebar, dan harapan. Aku pun berlari menuju pintu untuk membukanya dan melihat siapa yang telah membunyikan bel. Berlari tanpa sebelumnya meminum air putih, atau melap mulutku yang belepotan karena minyak.

Aku membuka pintu rumah dengan mulut yang berminyak karena ayam goreng. Betapa bodohnya aku. Jelas saja orang yang dihadapanku terkejut melihatku. Namun aku lebih terkejut lagi melihatnya. Aku kenal siapa dia. Rambut sedikit panjang berwarna hitam, mata coklat menyejukkan, tubuh tinggi perkasa, dan badan yang tegap.

"Darda? Dari mana tahu rumahku?" tanyaku terkejut.

"Sepertinya setiap kita bicara kau selalu memilih tempat yang tidak pas," katanya sambil melirik sofaku yang sangat empuk itu.

"Masuklah," tawarku. Ia pun masuk dan duduk sesuai suguhanku. Sebelum aku beranjak masuk membersihkan bekas makanan di bibirku dia berkata, "Lip gloss yang bagus." Aku pun malu setengah mati kemudian berlari masuk.

Segera kubersihkan tangan dan mulutku. Tak lupa aku meminum segelas penuh air putih, unsur yang wajib ada saat makan. Setelah yakin benar-benar bersih aku berlari menuju ruang tamu. Darda masih duduk tenang sambil melirik berbagai lukisan yang terpajang di ruang tamu.

"Karya asli anak Indonesia," kataku dan Darda lengsung mengamatiku.

"Bagus," katanya sambil tersenyum.

Aku menghampirinya yang duduk. Aku ikut duduk di sebelahnya ikut mengamati lukisan yang terpajang di dinding.

"Ada apa?" tanyaku. Namun sebenarnya pertanyaan yang betul-betul ingin kutanyakan adalah darimana dia tahu dimana aku tinggal.

"Ini," katanya sambil menyodorkan amplop coklat dari ranselnya.

Betapa terkejutnya aku setelah tahu isi amplop itu. Aku lolos seleksi. Aku masuk dan dapat mengikuti pelatihan. Aku membaca baik-baik suratnya dan perhatianku tertuju pada kalimat bercetak tebal, "Cerita fiksi yang menarik. Deskripsi dan alur serta amanatnya terasa nyata. Tingkatkan gaya menulismu ini."

Jelas saja terasa nyata, ini semua karena aku menulis berdasarkan riset. Bagaimana pekerjaan Ibu rumah tangga. bagaimana harus berekspresi, bagaimana harus mengatur setting dan suasana semua sudah ku lakukan risetnya.

"Saat membaca tulisanmu aku mengira kau akan menulis sebuah cerita mengenai olah raga atau penulisan. Ternyata rasa cinta yang kau ambil tentang ibu rumah tangga, menarik," kata Darda sambil tersenyum padaku.

"Kau membacanya?" tanyaku.

"Tentu, aku assisten juri disini. Aku hanya ingin membaca cerita yang berhasil lolos seleksi. Memang cerita yang menarik. Aku tak tahu kalau riset yang kau lakukan itu untuk ini. Oh ya, kau mengutip kata-kataku," katanya.

"Aku mengutip semua yang ada di pengamatanku. Tapi tak pernah ku kutip dengan jelas milik seseorang. Aku saja tidak mengakuinya sebagai kata-kataku, kalau kau baca dengan seksama," kataku. Kareana aku menulis kalimat "seorang teman pernah berkata" sebelum kalimat yang ku kutip milik Darda.

Iya mengangguk seakan paham maksudku. Iya memberikan kertas lagi untukku. Ada sebuahtema disitu. Untuk pertandingan tahap pertamaku. Dan aku harus melawan empat orang.

"Tiga hari lagi, setelah pelatihan selama dua hari. Sebaiknya kau tetap melakukan risetmu," katanya.

Temanya sangat sederhana,namun rumit untuk dipikirkan. Aku harus menulis dengan gayaku. Sudut pandangku. Harus kutulis semenarik mungkin, tema "sampah" ini.

Senin, 10 Mei 2010

Cerita Pertama

Perkenalkan, nama saya Anastasia Calandra. Saya seorang penulis amatiran yang mempunyai cita-cita menjadi penulis besar. Belakangan ini saya menemukan beberapa brosur yang tersebar di jalan. Isinya mengenai perlombaan dan pelatihan menulis selama satu minggu tiga hari. Tertarik? Tentu saja saya tertarik. Rasanya hal itu merupakan petunjuk bahwa menjadi penulis besar tak lagi berwujud mimpi.

Saya telah mendaftarkan diri dalam acara itu. Namun sayang, untuk mengikuti perlombaan dan pelatihannya saja dibutuhkan seleksi yang ketat. Dan kini, saya berada di atas atap rumah tepat di bawah rasi bintang gubug penceng. Tempat dan suasana seperti inilah yang sangat cocok untuk menulis sebuah cerita.

Kepalaku menengadah menatap langit malam yang terang karena bulan sedang purnama. Sudah lama rasanya tidak berjemur di bawah terangnya bulan purnama. Langit malam yang indah.
Langit yang betul-betul indah. Sepertinya menarik jika aku menulis tentang langit malam yang indah. Terlalu banyak orang yang menulis mengenai awan, birunya langit, cerahnya matahari, atau kemilaunya bintang. Namun langit malam? Rasanya tak ada yang menganggap langit malam yang gelap itu indah. Akhirnya aku menulis di sebuah note kecil mengenai langit malam indah malam ini.

“Cala, ini sudah malam. TIdurlah,” teriak Ibuku dari bawah.

Buyar sudah lamunanku tentang langit malam yang indah ini. Tapi memang ini sudah cukup larut. Besok aku akan berjalan dan mengamati sekeliling. Rasanya sudah lama aku bercita-cita menjadi penulis, namun aku tak pernah mengamati detailnya keadaan sekitar. Mungkin bisa membantu untuk lomba ku kelak.

“Cala!” teriak Ibuku lagi.

“Iya, Bu,” jawabku.

Cala, begitu keluarga dan teman-temanku memanggilku. Cala dengan pengucupan c menjadi k. Betul, terdengar seperti kala atau masa. Aku suka namaku dipanggil seperti itu.

Akhirnya aku memutuskan untuk turun. Di sekitar atap ada lubang kecil yang menghubungkanku langsung menuju kamar tidurku. Aku turun perlahan. Walau pun aku cukup sering naik ke atas atap, namun aku masih saja takut untuk turun.

Setelah sukses menuruni tangga, aku berbaring di atas kasur. Bagaimana besok ku akan menjelajah dunia pengamatan aku tak tahu. Yang ku harap, aku bisa menulis cerita agar aku bisa lolos seleksi untuk pelatihan selama satu minggu tiga hari itu.
….
Hari telah berganti. Sudah cukup banyak buku dan komik yang ku baca untuk mendapatkan inspirasi. Lucu rasanya saat kita membaca komik dan mendapatkan cerita tentang semangat untuk mencapai suatu tujuan, terlebih dengan membawa tekad dan rasa cinta terhadap tujuannya itu. Seperti slam dunk, komik mengenai basket.

Tak hanya dari komik saja aku mampu mendapatkan gambaran mengenai semangat yang disertai rasa cinta terhadap suatu hal. Dalam film, dapat pula ditemui. Contohnya saja dalam film August Rush. Hal ini menjadi topik yang menarik untuk diangkat. Mungkin dengan menulis topik yang seperti ini aku mampu lolos seleksi dan mengikuti pertandingan dan pelatihan menulis yang aku idamkan.

Sebenarnya perlombaan macam apa sih yang aku ikuti ini? Aku juga tak begitu paham. Tak jika sudah menyangkut dengan penulisan aku akan sangat tertarik. Yang aku tahu dari perlombaan ini hanyalah gaya menulis tidak dibatasi. Kita dapat menulis cerita fiksi, naskah drama, artikel, tips, atau puisi. Menarik pikirku, aku akan dapat menemukan banyak gaya menulis dalam pelatihan nanti.

Aku sudah berdandan rapih dan siap untuk melakukan riset. Sebenarnya aku hanya akan menulis cerita fiksi, bukan sebuah artikel berat. Namun tetap saja, aku tak boleh menulis segala sesuatu langsung dari imajinasiku. AKu butuh data yang nyata agar ceritaku nanti terlihat lebih nyata.

Ku mengalungkan note kecil yang menemaniku dari tadi malam. Sempat ku lihat catatanku tentang langit malam yang indah. Akankah aku bisa menulis sebuah cerita menarik dari catatan-catatan yang ada di noteku nanti.

“Ibu, Cala berangkat dulu, ya?” kataku lalu menjabat tangan Ibu cukup lama. Entah mengapa rasanya melihat telapak tangan Ibu yang kasar karena kerja kerasnya selama ini tampak menarik untukku.

Akhirnya aku berangkat menuju sebuah lapangan basket sekitar taman kota. Semoga akan banyak bahan cerita disana.
….
Disinilah aku sekarang. Aku duduk di kursi penonton yang menghadap langsung menuju lapangan basket. Aku tak paham mengenai peraturan dalam permainan bola basket. Namun itu bukan menjadi perhatianku saat ini. Aku hanya ingin menanyakan pendapat mereka tentang basket.

Pertandingan yang berlangsung tampak begitu meriah. Terlihat dari penonton yang terus bersorak sorai saat bola dimasukkan ke dalam keranjang yang berlubang. Pertandingan di lapangan ini bukanlah pertandingan besar. Pertandingan ini hanya untuk bersenang-senang sepertinya. Terkadang mereka tampak bercanda saat bermain di lapangan.

Pengamatanku beralih ke kursi penonton. Tampak beberapa gadis sesekali berteriak-teriak. Ada pula yang memegang handuk kecil di pangkuannya. Pasti pacar pemain basket. Sudahlah aku tak perduli.

Tidak begitu menarik memang, tapi aku bukan berarti harus mengacuhkannya. Ku catat semua yang ku amati di noteku. Tiba-tiba para gadis berteriak keras. Aku pun berhenti menulis dan menjauhkan pandangan dari arah note. Namun pemandangan yang bisa kulihat hanya sebuah benda bulat merah yang mendekat ke arah wajah dengan kecepatan tinggi.

Alhasil, aku akhirnya merasakan menyundul bola basket. Untung di sekolahku hanya ada pelajar menyundul bola sepak. Bola basket ternyata lebih keras dan lebih sakit bila terkena kepala.
“Kau tak apa?” tanya seorang pemain basket padaku.

Tak apa? Jelas aku kenapa-napa. Kepalaku terlalu pusing untuk menjawab. Namun aku tetap menanggapinya dengan anggukan kepala walau dalam hati aku mengomel.

“Ini notemu jatuh,”katanya padaku kemudian menyerahkan note padaku.

“Terima kasih,” kataku padanya saat ku terima noteku.

“Tidak, aku yang minta maaf. Kamu wartawan? Kalau kau butuh data biar aku bantu sebagai balasan karena aku melempar bola ke arahmu. Kalau kau setuju, tunggu aku setelah selesai bermain basket, kalau tidak kau bisa meninggalkanku,” katanya lalu mengambil bola basket yang berada di dekatku kemudian ia kembali masuk ke lapangan.

Boleh juga pikirku. Aku butuh pendapatnya mengenai semangat juang dan rasa cinta terhadap profesi. Seperti yang ku baca di komik-komik semalam. Sepertinya lebih baik ku tunggu dia.
….
Sudah berlalu lima belas menit dari waktu bola mendapat tepat di wajahku. Akhirnya para pemain basket berhenti bermain dan menuju kursi penonton. Beberapa disambut oleh gadis-gadis yang sudah menunggu mereka.

Aku berdiri mencari orang yang tadi berjanji akan membatuku. Akhirnya ku melihat orang itu. Ia sedang minum dari botol minumnya, kemudian mengangkat tasnya menuju ke arahku.

“Kau mau bicara di sini, atau mencari tempat yang nyaman di taman? Di sini cukup panas,” katanya lalu menatap langit yang tak berawan.

“Terserah padamu sajalah,” kataku.

Pemain basket itu akhirnya mengajakku duduk di kursi taman. Cukup teduh karena sinar matahari di halau oleh dedaunan pohon.

“Maaf ya soal yang tadi,” katanya membuka pembicaraan.

“Tak apa,” jawabku sekenanya.

Ia menaruh tasnya di bawah, tepat di samping kursi yang ia duduki. Ia menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang ia bawa.

“Oh ya namaku Darda, kamu?” katanya kemudian menjulurkan tangannya padaku. Pemilihan kata yang kaku pikirku. Seperti anak SD yang hendak mengajak kenalan teman baru di sekolahnya.

“Cala,” jawabku kemudian menyambut tangannya. Tangan yang cukup besar.

“Kamu wartawan?” tanyanya sambil menunjuk ke arah note yang aku bawa.

Aku hanya menggeleng. “Tak hanya wartawan kan yang butuh note. Aku hanya sedang melakukan sediki riset di sini,” jawabku. Ia hanya mengangguk menanggapiku.

“Riset tentang perjuangan dan rasa cinta,” tambahku.

“Cinta? Di lapangan basket?” tanyanya heran. Aku sedikit mengerti apa yang ada di pikirannya.

“Cinta terhadap permainan basket,” tambahku. Ia tampak paham arah pembicaraanku.

“Kau atlet?” tanyaku.

Ia hanya menggeleng lalu mengambil botol minuman di tasnya. Ia menenggak minumnya kemudian menaruh kembali ke dalam tasnya.

“Aku memang cinta terhadap basket, namun bukan berarti aku memilih atlet sebagai profesiku,” jawabnya.

Ow, mungkin memang cerita yang ada di komik-komik itu berlebihan. Atau mungkin, aku salah orang dalam mencari riset.

“Pekerjaanmu sendiri apa?” tanyaku.

“Aku editor majalah olah raga. Dan aku juga mencintai pekerjaanku. Bukankah sebaiknya kita mencintai apa yang kita kerjakan agar terasa menyenangkan. Seperti kau yang mencintai pekerjaanmu saat ini,” katanya. Aku sedikit menyetujui pendapatnya. Akhirnya aku mencatat di noteku.

Jadi dia editor majalah sport. Tidak jauh juga dengan keadaannya sekarang yang berkeringat dan besar. Otot-otot di lengannya tampak sedikit menonjol. Badannya tegap dan juga cukup tinggi. Yah, sedikit tampan.

“Berarti kita tidak terpaku terhadap satu pekerjaan saja?” tanyaku.

“Jelas tidak. Bukankah dunia ini luas. Kita dapat menekuni banyak hal dengan perasaan senang. Jika kita semangat dan senang dalam menjalankan suatu pekerjaan, tampaknya pekerjaan yang baru kita tekuni akan dapat dengan mudah kita kuasai,” katanya.

Mengerjakan banyak pekerjaan ya? Aku pun teringat terhadap tangan Ibuku yang kasar. Ia bekerja keras dalam mengurusi rumah tangga. Ia tidak hanya terfokus untuk menyapu rumah, tapi juga memasak. Namun sayang tak ada pertandingan untuk Ibu rumah tangga. Ibuku pasti akan menang jika ada pertandingan seperti itu.

Aku membuka-buka kembali noteku. Langit malam ya. Langit malam yang tak pernah tampak menarik karena warnanya gelap. Seperti pekerjaan ibu rumah tangga yang tak menarik karena tampak membosankan. Sepertinya aku tahu harus menulis apa.

“Masih ada lagi?” tanya Darda padaku.

“Tidak terima kasih, rasanya cukup. Aku mendapat cukup inspirasi karenamu,” kataku sambil tersenyum dan mencatat ide yang muncul ke noteku.

Aku menoleh menatapnya, pandangan kami bertemu. Aku hanya tersenyum dan menyodorkan tanganku padanya. “Terima kasih,” ucapku. Ia pun menyambut tanganku.

“Sama-sama,” katanya.

Akhirnya aku meninggalkan Darda dan bergegas menuju rumah. Sepertinya untuk tulisan kali ini aku akan bekerja lama di rumah.
….

Jumat, 07 Mei 2010

The Portal

Ara turun menghampiri adiknya dengan terburu-buru. Baginya rumah ini terlalu berbahaya untuk adiknya. Apa pun yang berada di balik pintu itu, menurutnya bukanlah hal yang bagus.

Ara cemas tak mendapati adiknya seturunnya dari tangga. Ia mencari adiknya di segala penjuru rumah, tapi ia tak kunjung menemukan adik kembarnya itu. Ia nyaris depresi hingga ia menemukan adiknya berada di kamar dengan kucing yang telah melukai tangan Lyra.

Ara berjalan lunglai. Tampak sedikit kelegaan yang terpancar dari wajahnya. Ia duduk tepat di sebelah adiknya duduk. Ia melihat ke arah luar jendela yang berada tepat di hadapannya. Pemandangan yang tampak dari jendela ialah pemandangan halaman rumah yang sewajarnya. Apa pun yang aneh di rumah ini, hanya lantai dua yang bermasalah pikirnya.

Lyra mengamati keanehan yang terpancar dari raut wajah kakaknya. Menurutnya, kakaknya tak seperti ini sebelum naik ke lantai atas. Ia yakin ada sesuatu di lantai dua yang membuat kakaknya seperti ini.

Kucing yang berada di pangkuan Lyra mengeong-ngeong tak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Terlebih tatapan yang dituju kucing itu kepada Ara tampak sangat tajam.

“Ada apa Sivie?” tanya Lyra sambil mengelus rambut kucing yang berada di pangkuannya.

“Kau memberinya nama?” tanya Ara heran melihat adiknya.

Lyra hanya menggeleng. “Namanya memang seperti itu. Sudah tertera di kalungnya yang berkilau,” kata Lyra.

Ara mengamati kalung itu. Kalung yang bertuliskan S I V I E. Mulanya kalung itu berwarna biru, namun kini berubah menjadi merah. Kalung berbentuk sayap itu mulai mengepak-ngepak. Ara merasa ada yang janggal dengan kalung berwarna biru itu.

Sivie menatap heran ke arah Ara seakan ia tahu apa yang terjadi. Entah ini kabar baik atau buruk untuknya. Namun Sivie hanya menatap Ara sambil mengeong tidak tenang.

“Apa yang terjadi, Ra? Kau sudah menemukan kamar lain di atas?” tanya Lyra.

Ara menggeleng. Ia menatap Sivie. Apa pun yang terjadi di rumah ini, ia yakin kucing itu tahu. Walau pun SIvie hanyalah seekor kucing, ia yakin ia tahu sesuatu karena ia telah tinggal di sini cukup lama sepertinya.

“Sepertinya malam ini aku akan tidur di sini. Lagi pula kita sudah cukup lelah untuk membersihkan lantai atas bersama,”kata Ara. Lyra masih menatap kakaknya. Seperti yang ada di hadapannya bukanlah Ara yang ia kenal. Karena Ara tak kan lelah karena hanya membersihkan rumah.

“Besok kita pulang. Tuan McKennai akan memaafkan kita jika aku berani meminta maaf di depan umum, kan? Akan ku lakukan besok,” kata Ara.

Mendengar hal ini Lyra betul-betul yakin, ada sesuatu yang telah terjadi. Sepertinya sangat tidak mungkin kakaknya melakukan hal yang kakaknya rencanakan. Tapi tetap saja Lyra sangat senang mengetahui kakaknya akan berubah.
….
Tengah malam ini angin berhembus dingin. Ara yang tak kunjung bisa memejamkan mata seakan teringat sesuatu. Angin ini mengingatkan dia tentang suatu perpisahan. Ia tak paham akan kah ia berpisah lagi dengan adiknya atau tidak. Tapi apa pun itu ia akan menjaga adiknya.

Sivie mengejutkan Ara dengan tiba-tiba muncul di sebelah Ara. Kucing itu hanya berputar-putar menarik perhatian Ara. Ara memastikan adiknya tidur dengan pulas. Lyra memang tidur dengan pulas.

Ara kemudian membenarkan duduknya. Ia masih sibuk mengamati Sivie berputar-putar. Ia memangku Sivie lalu membelai rambut kucing itu dari belakang ke depan. Sivie pun mengeong dengan keras. Ara kemudian memastikan kembali adiknya masih tertidur.

“Tenang saja ia tidak akan bangun hingga setengah jam ke depan,” kata Sivie. Ara terbengong mendengar Sivie berbicara.

“Jika dugaanku tepat, seharusnya kau sudah bisa mendengarku berbicara,” kata Sivie yang meyakinkan Ara ini bukanlah mimpi.

“Kau..,, bi.., bicara?” tanya Ara terheran.

“Berarti benar dugaanku. Kau sudah membuka ke tujuh portal.”

“Sivie. Kau bicara?”

“Ya ampun. Aku sudah bisa berbicara cukup lama. Kau pikir aku kucing sungguhan? Aku ini penyihir,” kata SIvie dengan tampang sedikit angkuh.

“Kau bicara?” tanya Ara ingin meyakinkan apa yang ia dengar.

“Ya Tuhan. Kenapa dia susah sekali diajak bicara?” keluh Sivie.

Apa pun yang dibicarakan Sivie, Ara menanggapinya sama. Kejadian ini berulang-ulang cukup lama.

“Ayolah. Nanti pengaruh sihirku akan hilang dan Lyra akan terbangun,” kata Sivie.

Mendengar kata sihir dan Lyra, akhirnya Ara tersadar dari keterkejutannya. Ia menatap adiknya lagi, Lyra masih tertidur sangat pulas.

“Kau apakan Lyra?” tanya Ara ketus.

“Dia hanya kubiarkan tertidur hingga aku bisa meyakinkan diriku tentang dugaanku,” kata Sivie lega karena akhirnya Ara menanggapinya dengan cara berbeda.

“Terserah yang akan kau katakan. Tenang saja, aku dan Lyra akan kembali ke Plutorius besok,” kata Ara.

Sivie berjalan memutari Ara. “Baiklah kau dan Lyra pulang besok, tapi kau harus kembali lagi kesini dengan atau tanpa Lyra,” kata Sivie.

“Kau pikir aku gila. Aku tak akan kembali ke sini.”

“Kau telah membuka ke tujuh portal itu kan?” tanya Sivie dengan tatapan tajam.

Ara berpikir sejenak. Ia mengingat-ngingat pintu yang berada di lantai dua rumah tua ini. Berkali-kali ia hitung jumlah pintu yang berada di lantai dua hanya enam, jika memang yang dimaksud dengan portal ialah pintu yang ada di lantai dua.

“Tapi hanya ada enam pintu di atas,” kata Ara.

“Jika kau tak membuka portal utama, kau bahkan tidak bisa melihat ku,” kata Sivie.

Ara berpikir lagi. Jika LYra juga bisa melihat SIvie, berarti ada satu pintu yang mereka lewati bersama. Tapi Lyra tak pernah naik ke lantai dua. Berarti pintu yang dimaksud berada di lantai satu.

“Kau ingat cicak yang terjatuh dan berbunyi cukup keras kemarin. Ia adalah temanku. Kami bangsa Demedon tak bisa melewati portal utama,” kata Sivie.

Ara mengingat lagi. Berarti betul yang ia dan Lyra dengar. Suara yang keras itu memang berasal dari cicak yang jatuh. Ia juga teringat Sivie yang tak bisa keluar dari rumah ini walau pintu rumah terbuka.

“Pintu itu? Pintu rumah ini?” tanya Ara. Sivie menanggapinya dengan anggukan.

“Tapi tetap saja aku akan pulang besok,” kata Ara.

“Terserah jika kau ingin kejadian dua belas tahun lalu terulang,” kata Sivie.

Ara dalam sekejap teringat kedua orang tuanya dan pesta ulang tahun desa Plutorius. Mungkinkah arti hawa dingin malam ini adalah kejadian malam dua belas tahun lalu akan terulang lagi.

“Maksudmu?”

“Sebelumnya maaf aku belum memperkenalkan diri. Aku Sivie, salah satu warga Demedon. Kerajaan Demedon adalah kerajaan dasar laut yang bisa kau lihat dari balik jendela di lantai dua.” Ara dapat mengingat jendela besar di ujung lantai dua memang menggambarkan pemandangan dasar laut.

“Kami bukanlah bangsa ikan, atau makhluk air. Kami warga Demedon adalah penyihir yang bertugas mengawasi ke tujuh portal yang ada. Namun dua belas tahun terakhir, tugas kami tidak berjalan normal karena Raja kami dibunuh dua belas tahun lalu.” Ara yakin kejadian dua belas tahun lalu merupakan awal dari masalah yang diceritakan Sivie.

“Raja kami dibunuh dan tahta diambil alih oleh orang yang kejam yang mempunyai mutiara hitam. Di setiap portal, memiliki mutiara yang berbeda-beda warna dan fungsi. Kau mungkin pernah membuka pintu yang isinya hanya merupakan ruangan gelap gulita?” tanya Sivie yang ditanggapi dengan anggukan oleh Ara.

Sebenarnya Ara tak begitu perduli, namun jika menyangkut kejadian dua belas tahun yang lalu Ara akan tampak ambisius. Karena ia ingin mengetahui tentang orang tuanya. Di desa Plutorius semua warga selamat, namun hanya ayah dan ibunya yang menghilang.

“Ruangan itu menyimpan mutiara hitam yang berfungsi membekukan makhluk apa saja yang perlu dibekukan. Saat mutiara itu direbut semua warga di tujuh portal membeku. Namun, berkat ksatria vela yang rela menjadi tumbal semua sembuh dari kebekuannya,” kata Sivie.
“Berkorban? Ayah dan Ibuku menghilang. Apa mungkin mereka?” tanya Ara.

Sivie terkejut mendengar pernyataan Ara. Namun Sivie tak dapat member jawaban pasti, ia hanya menggeleng.

“Lalu hubungannya denganku?” tanya Ara.

“Diramalkan akan ada ksatria berikutnya yang akan datang untuk mematahkan kekuatan Raja Dion. Raja yang telah mengambil alih Demedon. Sepertinya Raja Dion sudah mengetahui kedatanganmu. Entah kau orang yang diramalkan atau tidak, tapi sekarang terjadi kegaduhan di Demedon tentang ksatria yang diramalkan. Jika kau kembali ke Plutorius namun tak kembali ke rumah ini, mungkin Raja Dion akan melakukan segala cara untuk memusnahkanmu, walau harus membekukan seluruh desa,” tutur Sivie.

Ara terdiam sejenak. Ia tak mungkin menerima langsung semua cerita yang dijelaskan Sivie. Namun ia takut kejadian dua belas tahun lalu akan terulang kembali. Ia menatap adiknya yang masih pulas tertidur. Mungkin tak hanya nyawanya yang akan terancam, namun nyawa adiknya juga.

“Kembali lah lagi ke sini. Dan kita akan bicarakan langkah selanjutnya. Ku mohon, kau lah harapan kami,” kata Sivie.

Ara menunduk dan berpikir. Mendengar permohonan Sivie, ia seakan percaya ialah ksatria yang diramalkan. Terlebih lagi ia yakin ksatria yang menjadi tumbal sebelumnya adalah ayah dan ibunya.

“Bagaimana dengan ksatria yang menjadi tumbal?” tanya Ara.

“Mereka dibekukan, namun mereka belum mati,” kata Sivie. Ara semakin berambisi. Walau dalah benaknya ia ragu, namun entah mengapa hatinya berkata ia harus melakukannya untuk Lyra, Orang tuanya, Plutorius, dan Demedon yang bahkan ia belum mengerti ceritanya.

“Tidurlah, besok akan menjadi hari yang melelahkan untukmu,” kata Sivie. Ara hanya mengiyakan. Ia kemudian mencoba memejamkan mata.

Terlalu banyak hal yang membuatnya bingung hari ini. Terlalu banyak yang membuatnya lelah hari ini. Apa pun keputusannya besok, ia hanya ingin memejamkan matanya malam ini dan membayangkan bertemu kembali dengan kedua orang tuanya.
....

Kamis, 06 Mei 2010

Saat Menanti Ide

Aku pernah denger dari seorang penulis salah satu koran swasta kalau seorang penulis tidak dapat menulis jika dia tidak dapat membaca. Kunci seorang penulis adalah membaca. That's right, that's true. Memang tidak bisa dipungkiri.
Walau saya masih sangat amatir dalam bidang tulis menulis, tapi 100% setuju mengenai teori membaca untuk menulis. Saat-saat otak saya tidak bisa diajak berkompromi untuk menemukan ide menulis, aku menghindari hal untuk berpikir keras. Takutnya otak saya berakhir seperti otak Patrick Star saat berusaha berpikir keras. Alhasil, aku lebih memilih mengistirahatkan otak dengan membaca buku-buku yang ringan seperti komik, novel, atau majalah.
Memang menyenangkan membaca. Ide dapat dengan mudah datang saat kita membaca. Coba saja kalau lagi tidak punya ide, membacalah saya jamin akan ada ide atau inspirasi datang. Bisa dibilang ide hampir sama dengan sosok cewek, semakin dipaksa dan dikejar maka semakin menjauh (kok kayak lagu ya?-pen).
Belakangan ini saya membaca komik mengenai perjuangan dalm bidang musik. Saya juga pernah membaca tentang pertandingan memasak. Perjuangan ya?? Keren juga. AKu mau mencoba buat side story tentang perjuangan ah.. Doakan saya ya..