Jumat, 23 April 2010

PROLOG

Malam di sebuah desa yang terkenal keramaiannya dan keramahannya, angin berhembus lembut namun terasa sangat dingin. Suasana yang ramai di pusat desa. Acara ulang tahun desa yang selalu ramai, suara tertawa di sana-sini. Terkadang terdengar suara tangis anak kecil karena terpisah dari orang tuanya. Inilah suasana hangat desa Plutorius.

Pusat pertunjukan ada di atas panggung di pusat desa. Berbagai pertunjukan dipertontonkan di atas panggung itu. Tawa terdengar sesekali menggelegar saat panggung mempertontonkan pertunjukan komedi. Suasana hening juga tergambar saat pertunjukan nyanyian dari para penyanyi desa.

Angin yang berhembus pelan kini terasa lebih dingin. Sepasang suami istri yang sedang menggendong anak-anaknya menghentikan tawa mereka. Mereka berdua saling bertatapan. Hawa ketakutan terpancar dari mereka berdua.

“Mungkinkah ada masalah Rhea?” tanya suami terhadap istrinya.

“Sepertinya begitu Alta. Sepertinya ada masalah pada Hanopes. Terutama pada mutiara yang dijaganya,” jawab Rhea pada suaminya sambil mengelus kepala anak lelakinya. Anak-anaknya hanya bisa menatap bingung pada orang tuanya.

“Ara, berjanjilah pada Ibu untuk menjaga adikmu,” kata Rhea.

“Tapi Ibu..?”

“Sst,, tidak apa-apa Ara, kau kuat nak. Ibu percaya kau bisa,” kata Rhea sambil mengusap kepala anak laki-lakinya. Ara hanya mengangguk mantap menanggapi ucapan Ibunya.

Alta menyelipkan pisau kecil dengan ukiran yang apik ke dalam saku Ara. Ara menatap Ayahnya bingung.

“Ayah harap kau tak sering menggunakannya,” kata Alta mengusap kepala Ara. Di gendongannya terdapat seorang anak perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan Ara. Anak itu masih sibuk dengan kembang gulanya.

“Aaaahh,,!!” teriak orang-orang dan berlari menjauhi panggung. Tampak orang-orang yang tengah melawak mematung dan tak bergerak.

“Sudah dimulai Rhe,” kata Alta. Mereka berdua menurunkan anak mereka dari gendongannya.

Rhea dan Alta berpegangan tangan. Tangan kiri Rhea menggenggam tangan kanan Alte, dan tangan kanannya menggenggam kalung berwarna putih bersih.

“Maafkan kami Nak,” kata Alta. Lalu angin dingin yang sedari tadi dikhawatirkan mereka perlahan mendekati mereka. Ara yang bingung dengan kedua orang tuanya menangis. Lyra yang masih sibuk dengan kembang gulanya tiba-tiba membeku. Ara juga membeku, air matanya pun ikut membeku.

Rhea dan Alta memancarkan cahaya terang saat angin dingin menghampiri mereka. Seperti arah angin berbelok dan bertemu kembali di belakang tubuh Rhea dan Alta. Kini seluruh desa sudah membeku. Hanya Rhea dan Altalah yang tidak membeku. Saat Rhea melepaskan tangan dari kalungnya ia lunglai dan terjatuh. Alta menahan tubuh Rhea.

Rhea menangis dan memeluk tubuh Ara. Ia juga memeluk tubuh Lyra yang tengah membeku. Alta membelai rambut Rhea dan mengajak Rhea untuk beranjak.

“Sudahlah, terlalu bahaya buat mereka jika mereka tidak membeku untuk saat ini,” kata Alta. Rhea hanya mengangguk menanggapi ucapan Alta. Air mata Rhea masih mengalir. Ia mengkhawatirkan kedua anaknya. Tapi inilah tanggungan yang harus mereka emban.

Alta dan Rhea beranjak dari tempat mereka berdiri. Ia menuju panggung desa. Di sana terlihat kepala desa yang tengah membeku. Rhea menggenggam kalung yang ia kenakan dan tangan yang lainnya memegang bahu kepala desa

Starrin Buinaes,” ucap Rhea. Es yang menyelimuti kepala desa mulai mencair. Sesaat kepala desa terbatuk-batuk seperti ia baru bisa menikmati oksigen lagi.

“Rhea, apa yang terjadi?” tanya kepala desa.

“Kami tidak tahu tepatnya Pak McKennai. Kami baru akan menyelidikinya. Tapi,” suara Alta tercekat. Ia menatap wajah istrinya.

“Kemungkinan kami tidak akan kembali lagi ke desa. Keadaan tampaknya sedang kacau Pak. Kami tidak bisa menceritakan secara detailnya,” sambung Rhea.

“Kami mohon Bapak mau menjaga anak-anak kami,” kata Alta kepada kepala desa.

“Kami mohon Pak, sebagai gantinya kami berjanji akan mengembalikan desa ini kembali normal,” tambah Alta. Kepala desa Pak McKennai pun menyanggupi untuk merawat Ara dan Lyra.

Di bawah pancaran bulan yang purnama mereka pun berjalan menuju rumah mereka. Mengambil barang-barang yang perlu mereka bawa. Sesekali mereka berdebat. Rhea tak menginginkan satu barangpun ditinggal di rumah. Namun Alta meyakini bahwa akan ada prajurit yang akan menyelamatkan desa.

“Kau meragukan mutiara putih ini, Rhe?” tanya Alta.

“Tapi bagaimana jika anak-anak kita menemukannya. Terlalu bahaya untuk mereka,” kata Rhea.

Hening sesaat. Keduanya memikirkan dampak dari tindakan yang akan mereka tempuh. Mereka tidak ingin membawa anak-anak mereka ke dalam masalah yang berbahaya.

“Baiklah Rhe, kita titip pada Alan saja. Dia juga salah satu dari kita. Salah satu dari kita harus tetap hidup. Dan orang itu adalah Alan, orang yang akan mencari ksatria Vela setelah kita.” Rhea mengangguk. Alta memegang mutiara berwarna putih yang ada di kalungnya.

Gambar mata terpejam pada mutiara putih itu terbuka. Alta dapat melihat sosok Alan yang terbeku di rumah Alan.

“Dia di rumah,” kata Alta. Alta dan Rhea menuju rumah Alan. Alta membawa pedang kesayangannya. Rhea menenteng panah yang sudah bertahun-tahun menemaninya.
Kini mereka sudah tiba di rumah Alan. Gambarannya sama persis dengan yang ia lihat tadi. Alan tengah duduk dan menikmati secangkir teh. Rhea mendekati sosok Alan. Tangan kirinya memegang kalungnya, dan tangan kanannya memegang bahu Alan, seperti saat ia hendak menyadarkan kepala desa.

Starrin Buinaes,” Es yang menyelimuti Alan pun mencair. Alan terbatuk-batuk sesaat kemudian tersadar.
Alan mencoba mengatur napasnya. Ia melihat kedua sosok sahabatnya yang berpakaian seakan siap berperang.

“Apa yang terjadi?” tanya Alan.

“Sepertinya ada yang mengambil mutiara hitam,” jawab Alta.
Alan terkejut. Mutiara hitam yang dijaga oleh Hanopes, sosok makhluk yang ganas dapat dicuri oleh seseorang.
“Kami akan mengorbankan diri,” jawab Alta. Menurut mutiara putih, akan ada ksatria yang akan menyelamatkan PLutorius. Alan pun dititipi panah milik Rhea, mutiara putih dan kalung penyembuh milik Rhea. Mereka hanya pergi menuju sumber masalah dengan pedang yang dimiliki Alta dan baju perang mereka.
….



0 komentar:

Posting Komentar