Jumat, 30 April 2010

Rumah Tua

Sepasang saudara kembar yang berlainan jenis kini sudah berdiri tepat di hadapan rumah tua yang megah. Tampak banyak pohon di sekitar rumah, serta rumput yang cukup tinggi di halaman rumah.

Malam ini bulan tak tampak. Walau pun begitu bintang-bintang masih terlihat mengagumkan dari bawah sini. Lyra, seorang wanita yang tampak kuat namun tetap saja ia masih terlihat manis tengah menikmati pertunjukan yang tengah dimainkan oleh bintang-bintang di langit.

Ara mengamati sekeliling rumah tua. Ia melihat lantai atas rumah ini, terdapat tiga jendela di sana. Ia kemudian mengangkat tas kulit berwarna coklat kusam menuju pintu rumah tua ini. Rumah ini akan menjadi tempat tinggal mereka selama satu minggu. Ara menyentuh dan mengamati dengan seksama ukiran pada tiang penyangga rumah itu. Ia juga mengamati ukiran pada pintu rumah. Klasik, pikirnya.

Ara membuka pintu rumah tua itu. Tepat di sebelah pintu rumah terdapat dua sakelar. Ia memfungsikan keduanya. Kini lampu halaman menyala, hal ini menyadarkan Lyra dari lamunannya. Ia kemudian menyusul Ara masuk ke dalam rumah. Lampu yang berada tepat di atas Ara juga menyala. Kini aura tampan dan tegar terpancar dari wajah Ara.

Koridor yang menghubungkan pintu utama dan tangga tempat Lyra dan Ara berdiri juga menghubungkan dua ruangan yang berada di samping kiri dan kanan koridor.

“Kau puas sekarang? Aku bingung denganmu. Kenapa kau harus berulah seperti ini? Memangnya lucu menggunduli Sarah, kucing kesayangan tuan McKennai?” bentak Lyra. Ara sontan tertawa membayangkan Sarah tanpa bulu sehelai pun di tubuhnya. Lyra yang melihat kejadian itu hanya menggeleng, ia bingung harus bagaimana mengatasi kenakalan kakak kembarnya itu.

“Aku tidak pernah punya teman karena kau, Ara. Kenapa kau tidak pernah bersikap baik?” kali ini suara Lyra lebih lirih.

Ara mengamati saudara kembarnya. Ia kemudian berjalan menuju ruangan di sebelah kanannya. Rupanya itu ruang perapian. Ia mencari sakelar pada ruangan itu. Lyra kemudian mendapati 3 sakelar di dekat tangga. Ia menggunakan ketiganya. Lampu ruangan tempat Ara berada menyala. Ada satu pintu lagi di ruangan itu. Ara memasuki ruangan itu. Kamar rupanya.
Lyra beranjak dari tempatnya berdiri menuju ruangan yang ada di sisi lain dari tempat Ara berada. Rupanya dapur, namun masih ada pintu lagi pada ruangan itu. Setelah Lyra membukanya ia menyadari bahwa ruangan itu adalah kamar mandi. Lyra tampak heran mengamati situasi rumah tua ini. Rumah yang cukup bersih untuk rumah tua yang tak pernah dihuni selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun.

Ara menyentuh bahu Lyra untuk menyuruhnya segera beristirahat. Namun, Lyra tampak terkejut karena hal itu. Lyra berjalan menuju koridor. Tas mereka masih berada di koridor. Mereka berhenti sesaat di koridor.

“Ly, aku tak pernah memintamu untuk terus mengikutiku. Aku tak pernah melarangmu untuk berteman,” kata Ara kemudian mengangkat tas menuju kamar yang telah ia temukan tadi.

Lyra terdiam mendengar ucapan Ara. Apa mungkin tadi ia terlalu kasar dengan kakaknya sendiri. Lyra takut jika ia terlalu sibuk berteman, Ara akan semakin terjerumus. Ia merasa sangat perlu untuk memastikan kakaknya akan baik-baik saja terlebih saat orang tua mereka meninggalkan mereka.
….
Malam yang menyenangkan dua belas tahun lalu di desa plutorius. Lyra masih sangat kecil kala itu. Ia terlalu kecil sehingga terlalu mudah terpengaruh oleh gulali yang seukuran wajahnya.

“Lyra suka gulali?” tanya Ibunya terhadap Lyra.

Lyra hanya mengangguk dengan tatapan sangat ingin mendapatkan gulali itu. Samar-samar ia mendengar apa yang Ibunya katakana padanya, karena ia masih terlalu sibuk dengan gulalinya. Yang masih ia ingat adalah pesan Ibunya untuk terus bersama Ara bagaimana pun keadaan yang terjadi.
….
Lyra menyeka air matanya yang terjatuh. Ia merasa sangat merindukan kedua orang tuanya. Sudah dua belas tahun ia memilih untuk belajar memasak dari pada membeli sebuah gulali.
Ara kembali menghampiri Lyra di koridor. Ia menyuruh Lyra masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Hanya ada satu kamar di lantai satu ini. Ia melihat tangga yang berada di koridor. Tangganya sudah tua, tampak bolongan bekas dimakan rayap. Di ujung tangga cukup terang karena lampu yang dinyalakan oleh Lyra tadi. Di ujung tangga, tangga itu berbelok dan menuju lantai dua.

Lyra yang tampak lelah karena sepanjang perjalanan ia terus mengomel memilih untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Terlebih rumah tua ini berada cukup jauh dari rumah kepala desa McKennai tempat mereka tinggal. Rumah ini terletak di tepi desa Plutorius. Mereka berada di sini karena mereka sudah terlalu banyak berbuat ulah di desa. Sebenarnya lebih tepat Ara banyak berulah di desa. Namun karena Lyra tak ingin dipisahkan dari saudaranya, ia memilih untuk ikut dihukum bersama kakaknya di rumah tua ini. Mereka dihukum untuk tinggal selama satu minggu di rumah tua ini.

Ara mengamati adiknya hingga punggungnya hilang di balik pintu. Pandangannya kini beralih pada tangga. Entah mengapa ada rasa yang sangat aneh yang Ara rasakan., Jantungnya berdebar lebih cepat. Ia mengamati anak tangga. Walau pun ada lubang karena di makan rayap, tangga ini sangat bersih. Tidak ada sarang laba-laba bahkan debu pada tiap anak tangga.

“Ra,tidur yuk,” kata Lyra mengejutkan Ara.

“Tapi Ly, hanya satu kamar yang berada di lantai satu ini. Mungkin di atas kita dapat mendapati cukup banyak kamar untuk di tempati,” kata Ara.

“Besok pagi aja Ra. Sekalian kita berbenah buat persiapan tinggal selama satu minggu,” kata Lyra meyakinkan Ara. Akhirnya Ara memutuskan untuk beristirahat dan melanjutkan penjelajahannya di rumah ini esok hari.

Sebelum Ara membuka pintu kamar, tiba-tiba terdengar bunyi benturan keras dari arah pintu masuk. Suaranya seperti suara orang yang jatuh dari lantai dua. Ara dan Lyra terpaku sejenak dan saling tatap. Akhirnya Ara memutuskan untuk melihat bunyi apa tadi. Lyra berjalan tepat dibelakang Ara. Ara mengeluarkan pisau kecil yang selalu ada di sakunya sejak dua belas tahun yang lalu.

Lyra terkejut melihat Ara mengeluarkan pisaunya. Karena Lyra tak pernah melihat pisau itu sebelumnya. Merasakan tatapan yang ditujunya dari Lyra memancarkan aura tidak setuju dia menggunakan pisau kecil itu.

“Kenapa menatapku seperti itu? Pisau ini hanya untuk berlindung,” kata Ara.

“Kau butuh perisai bukan pisau kecil itu untuk berlindung,” kata Lyra.

Ara tidak memperdulikan komentarnya. Ia terus berjalan pelan menuju koridor. Sesampainya di koridor ia terkejut, pasalnya tak ada sesuatu di situ.

“Ra, lihat,” kata Lyra sambil menunjuk mayat cicak yang tadi belum ada. Cicak itu tampak hangus seperti telah dipanggang.

Mereka saling tatap seperti melontarkan pertanyaan yang sama namun tidak ada yang bisa menjawab. MEreka masih tidak percaya jika bunyi yang keras berasal dari cicak yang jatuh.

“Sudahlah Ra, mungkin kita terlalu lelah sehingga kita salah dengar,” kata Lyra mengajak kakanya untuk tidur. Ara mengiyakan saja walau pun dipikirannya ia merasa ada yang aneh dengan rumah ini.
….
Pagi yang cerah, Lyra terbangun lalu membuka jendela kamar. Cahaya seakan menyerbu rauang kamar saat Lyra membuka jendela kamar. Ara kemudian terbangun. Ia tidur di lantai sedangkan adik perempuannya tidur di kasur yang cukup empuk.

“Ok Ra. Waktunya kita beraksi,” Ara tampak masih belum penuh mengisi energinya. Ia terbangun lemas. Ia duduk sejenak membiarkan nyawanya terkumpul dan masuk kembali ke raganya. Setelah ia betul-betul tersadar ia baru beranjak dari kamar.

Ara membersihkan halaman rumah. Ia memotong rumput-rumput yang mulai meninggi. Alat pemotongnya tak pernah digunakan sepertinya. Alat pemotongnya sudah mulai macet. Sedangkan Lyra membersihkan bagian dalam rumah. Ia juga menyiapkan makanan untuk sarapannya dengan kakaknya.

Pekerjaan di luar rumah ini memang cukup berat. Pasalnya bagian luar rumah memang menggambarkan rumah yang tak pernah dihuni lama. Namun beda halnya dengan bagian dalam rumah. Butuh waktu lama untuk membersihkan bagian luar rumah.

Setelah yakin jendela bersih, halaman tampak lebih rapih, dan tak ada lagi rumput yang tinggi Ara kemudian masuk dan menikmati masakan yang dibuat adiknya. Sudah berlalu dua belas tahun sejak orang tua mereka meninggalkan mereka. Namun Ara masih mengingat dengan sangat jelas masakan ibunya. Rasanya sama persis dengan masakan yang dibuat Lyra.

Ara memakan sup yang dibuat adiknya. Ia mulai menyuapi perlahan namun ia tak kunjung berhenti memikirkan tentang kejadian cicak yang mati tadi malam.

“Ra, kau merasa ada yang aneh dengan rumah ini? Sepertinya semua peralatan di rumah ini sangat terawat. Aku juga tak kesulitan untuk membersihkannya,” kata Lyra.

“Tapi tidak dengan yang berada di luar rumah. Keadaannya sangat kotor dan berantakan. Aku saja sampai kewalahan membersihkannya,” kata Ara masih sambil menyantap supnya.

“Berarti hanya bagian luar rumah yang tidak dirawat,” kata Lyra.

“Oleh?” tanya Ara yang membuat mereka berdua berhenti membicarakan topik ini.

Lyra terdiam. Apa mungkin sudah pernah ada anak lain yang juga dihukum untuk tinggal disini sebelumnya? Ia tak tahu keadaannya.

“Mungkin di lantai atas ada jawabannya, Ly. Lagi pula kita belum membereskan lantai atas,” kata Ara. Lyra hanya mengangguk. Mereka berdua menghabiskan makanannya. Kemudian beranjak dari dapur menuju koridor.

Kini mereka berdua menatap tangga. Untuk beberapa menit ketakutan menyelubungi hati mereka. Namun akhirnya langkah mereka perlahan tapi pasti. Mereka menaiki anak tangga satu persatu. Terkadang suara berdecit keluar saat anak tangga diinjak. Tangan kanan Ara menggenggam pisau yang ada di sakunya dan tangan kirinya menggenggam erat tangan Lyra.

Saat mereka tiba di anak tangga terakhir tiba-tiba saja seekor kucing melompati mereka kemudian mencakar lengan Lyra. Lyra nyaris terjatuh namun tangan kiri Ara tetap menahannya. Melihat, tangan Lyra yang berdarah, Ara merobek lengan bajunya untuk membalut luka di tangan adiknya. Ia kemudian mengejar kucing itu. Ara mengeluarkan pisau dari sakunya.

“Kali ini kau tak kan selamat kucing. Akan ku kuliti kau melebihi apa yang kulakukan terhadap Sarah,” kata Ara kemudian berlari menuruni tangga.

Saat melihat kucing itu berlari menuju arah pintu utama depan tangga yang terbuka Ara ragu akan berhasil menangkap kucing itu. Namun yang membuat Ara terkejut adalah, kucing itu tidak keluar. Bahkan ekornya pun dijauhkan dari pintu. Kucing itu kini berdiri tepat dimana mayat cicak tadi malam terjatuh. Dengan posisi siap terkam kucing itu mengeong-ngeong.

“Kau tak kan lepas kucing,” kata Ara, walau ia merasa ada hal yang aneh dengan tingkah kucing itu.

Lyra mencegah apa pun yang akan dilakukan Ara terhadap kucing itu. Ia merogoh saku celananya. Lyra mendapatkan sepotong roti. Ia kemudian menyodorkan kepada kucing itu.

“Sudahlah Ra, dia hanya kucing,” kata Lyra. Kemudian kucing itu perlahan mendekati potongan roti yang diberi Lyra. Lyra melihat kalung yang berkilau di leher kucing. Kalung bergambar sayap berwarna biru dan berkilau.

Lyra kemudian menggendong kucing itu. Kini kucing yang tadi membuat heboh keadaan rumah tampak tenang dengan roti di tangannya. Di kalungnya tertera tulisan SIVIE.

“Namamu Sivie? Nama yang bagus,” kata Lyra kemudian membelai rambut kucing itu.

Ara tampak muak melihatnya. Seharusnya tadi ia sudah menguliti kucing yang melukai adiknya jika ia tidak dicegah Lyra. Ia kemudian melihat tangga yang ada di belakangnya. Ia berlari menaiki tangga. Apa pun yang ada di atas adalah jawaban dari segala keanehan rumah ini pikirnya.

Sesampainya di atas pemandangan yang dilihat Ara adalah koridor yang memenjang dan berujung di sebuah jendela besar. Di sisi koridor itu terdapat tiga pasang pintu yang saling berhadapan. Seperti suasana sebuah asrama atau penginapan yang ada di desanya.

Ara berbalik memastikan apakah adiknya tidak mengikuti. Namun sepertinya adiknya sibuk dengan peliharaan barunya. Ara memasukkan pisaunya ke dalam saku celananya lagi. Ia berjalan menuju jendela besar yang berada di ujung koridor. Walaupun ia tahu ia akan melihat pemandangan luar rumah, namun rasanya ada yang janggal dengan jendela yang tertutup tirai itu. Namun dugaan Ara salah. Ia terkejut begitu melihat pemandangan di balik jendela. Ia bukannya melihat pemandangan halaman rumah. Melainkan melihat pemandangan dasar laut.

Ara kemudian membuka pintu-pintu yang ada di balik koridor. Namun yang ia dapati bukanlah sebuah ruangan, melainkan pemandangan yang berbeda-beda tiap pintunya. Ada yang berupa padang pasir, padang rumput, kota megah, atau bahkan hanya wilayah yang hanya gelap gulita.

“Ini bukan aneh lagi. Rumah ini berbahaya sepertinya,” kata Ara. Pertanyaannya tentang rumah ini bukannya terjawab melainkan pertanyaannya semakin banyak.

“Sebenarnya rumah apa ini?”
….

0 komentar:

Posting Komentar