Kamis, 20 Mei 2010

RIVAL

Tema pertandingan pertama telah ditentukan. Sampai detik ini pun aku belum juga mendapatkan inspirasi harus menulis apa. Biarkan saja dulu, pikirku. Aku masih punya waktu dua hari lagi. Aku mengikuti pelatihan dulu, mungkin saja setelah itu inspirasi akan datang.

Hari ini adalah hari pertama aku mengikuti pelatihan. Acara satu minggu tiga hari ini memaksaku untuk meninggalkan rumah sementara waktu. Hal yang paling akan aku rindukan adalah masakan ibu, dan berjuta inspirasi darinya. Ialah sumber terbesar inspirasiku.

Sebuah gedung yang cukup besar. Ini akan menjadi rumah sekaligus sekolah untukku. Aku berjalan memasuki gedung secara perlahan. Pandanganku kusapu sepanjang perjalan masuk gedung. Ku amati detail design gedung. Tipe futuris minimalis, model gedung jaman kini.
Setelah memasuki gedung, aku menuju resepsionis yang selalu tersenyum ramah. Seperti sudah menjadi hukum dasar seorang resepsionis. Jessica namanya, sudah tertera dalam kartu yang terdapat di dada kirinya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Jessica ramah.

“Ya, saya salah satu peserta pelatihan sekaligus lomba menulis,” kataku kemudian menyodorkan surat yang diantar Darda kemarin sore.

“Sebentar ya,” kata Jessica kemudian mengotak-atik komputer yang berada di sebelahnya.

Pandanganku beralih menatap sekeliling lobi. Ruangan yang sangat luas. Ada beberapa sofa di ujung ruang sana. Mungkin aku bisa duduk dulu. Aku pun member isyarat pada Jessica. Aku menuju ke sofa untuk duduk sambil menunggu Jessica menyelesaikan administrasi.

Sofa yang nyaman. Dari sini, aku dapat melihat beberapa orang menunggu di depan sebuah lift. Namun beberapa orang ada yang memilih untuk menaiki tangga yang berada tepat di sebelah lift. Pandanganku beralih kepada Jessica yang memanggil namaku. Akhirnya aku beranjak dari sofa yang nyaman ini.

“Ini kartu peserta, Anda,” katanya formal.

Aku meraih kartu peserta yang diserahkan Jessica lalu mengalungkannya.

“Cala, panggil saja begitu. Aku merasa sungkan kalau kau panggil aku dengan “Anda”, boleh begitu kan?” kataku. Jessica hanya tersenyum dan mengangguk.

“Baik Cala. Kau tunggu saja di sofa tadi. Nanti akan ada penjelasan dari panitia apa yang perlu kau lakukan. Aku akan memanggilmu,” katanya. Aku mengangguk kemudian menuju sofa yang tadi ku duduki. Aku mengamati ID card milikku, ada foto yang tertera disana dan sebuah nama CALA. Namaku tanpa nama lengkap.

“Kenapa Andrew?!” teriak seorang pria di depan Jessica. Aku terkejut mendengarnya kemudian pandanganku beralih padanya. Beberapa orang juga tertarik mengamati mereka.

“Harusnya Athan! Itu nama tenarku. Harusnya kau tahu seorang seniman harus punya nama tenar! Bagaimana jika penggemarku nanti tahu kehidupan pribadiku gara-gara tahu nama asliku!” teriaknya di depan Jessica. Pemandangan yang tidak mengenakan. Kasihan Jessica, aku harus bertindak. Aku berdiri hendak menghampirinya namun Darda datang mencegahku.

“Biar saya,” katanya lalu tersenyum dan berjalan menuju pusat keributan. Aku pun akhirnya duduk kembali, namun pengamatanku tak lepas dari pusat keributan.

Darda menghampirinya dan berbicara. Tampak beberapa kali tampang seorang yang bernama Andrew itu tampak tidak setuju dan protes pada Darda. Sepertinya Darda berhasil meyakinkannya akhirnya Andrew itu tampak kecewa dan berjalan menuju arahku.

“Kau tahu betapa menyebalkannya dia?” tanya Andrew padaku kemudian duduk tepat di sebelahku.

“Siapa?” tanyaku basa-basi. Aku sebenarnya tahu siapa yang dia maksud.

“Dia, asisten juri yang juga rangkap panitia. Sok eksis banget sih. Emang salah kalau aku pakai nama tenar?” katanya ketus. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Cowok ini aneh, aku baru menemukan seorang cowok yang bawel seperti ini.

Dia terdiam saat aku tersenyum. Ia menarik napas dalam. Kemudian tersenyum padaku. “Namaku Andrew,” katanya sambil menjulurkan tangan. Aku meraih tangannya. “Bukannya Athan?” tanyaku bercanda sambil tersenyum jahil.

“He. Kau tahu? Memangnya tadi aku mencolok ya? Aku menulis artikel,” katanya. Memang cukup jelas bagi seorang penulis artikel. Note kecil ia kalungi dan sebuah kamera.

“Cala, penulis fiksi,” kataku.

“Kau lebih tampak seperti penulis non fiksi,” katanya sambil menunjuk noteku. Aku jadi teringat Darda saat mengira aku seorang wartawan.

“Kau orang kedua yang berpikir seperti itu,” kataku.

Wajah Andrew tak jauh beda dengan namanya. Sepertinya ia keturunan blasteran. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, matanya besar dengan warna bola mata biru menyejukkan. Walau pun dia rebut tentang namanya sepertinya dia bukan seorang yang ribet. Dandanannya simple. Kaos warna hitam, celana jins, sepatu kats, dan rambut yang disisir tak rapih.

Tiba-tiba saja seorang gadis sudah duduk di sebelahku. Aku melihat ID cardnya. Ia juga peserta sepertinya.

“Hai, aku Cala penulis fiksi,” aku menyodorkan tanganku. Ia menjabatnya kemudian berkata, “Aku Stesha penulis fiksi.” Ia tampak sangat anggun. Cardigan berpadu dengan trousers, rambutnya dikucir rapih ditambah dandanan yang sederhana namun memberi kesan elegan. “Andrew, penulis nonfiksi, artikel,” kata Andrew sambil melambai pada Stesha. Stesha hanya tersenyum tipis memberi kesan sedikit arogan. Andrew tampak cuek menanggapinya.

“Andrew?” godaku. Andrew hanya tersenyum malas menanggapiku. Tinggal dua orang peserta lagi.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dua orang peserta lain. Mereka tidak duduk di sofa bersama aku, Stesha, dan Andrew sehingga aku belum mengenal mereka dan apa yang ia tulis.
Jumlah peserta pun sudah lengkap, kami semua kemudian dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Aku mengamati seluruh peserta. Hanya aku dan Stesha yang berjenis kelamin perempuan. KEtiga peserta lainnya merupakan pria.

“Terimakasih atas partisipasinya. Lomba menulis yang tidak ditetapkan genrenya ini sama seperti lomba musik yang tidak ditetapkan aliran musik yang akan dimainkan. Penilaiannya berdasarkan presentase keberhasilan dari segi tulisan. Setiap jenis tulisan mempunyai criteria penilaian berbeda. Yang menjadi juara adalah, apa bila presentase dari criteria penulisan terbanyak dari peserta lain,” jelas salah seorang panitia.

Babak perkenalan pun dimulai. Kami satu persatu diminta untuk memperkenalkan diri kemudian diminta menyebutkan jenis tulisan yang ditulis.

“Nama saya Zio. Penulis puisi,” katanya. Zio adalahh lelaki yang tampan. Jika saya tidak sedang fokus pada pekerjaan yang akan saya geluti ini mungkin aku akan fokus mendekatkan diriku pada Zio. Dia tidak begitu rupawan. Tidak setampan Andrew, namun nuansa misterius terpancar darinya.

“Saya Andrew, penulis artikel,” kata Andrew disusul Stesha,l “Stesha, penulis fiksi.” Seorang di sebelahku ini berdiri, “Saya Thor, penulis scenario,” katanya tersenyum ramah pada semua orang di ruangan itu. “Saya Cala, penulis fiksi,” kataku kemudian duduk kembali. Berarti hanya Andrew yang menulis non fiksi.

“Semoga kita bisa akrab ya, Cala,” kata Thor dengan menyebut namaku Cala. Dia membaca dengan huruf C bukan K.

“Harusnya kau bilang Kala. Bukan cala. Cara mengejanya menjadi Cala,” kataku membenarkan penyebutan namaku. Itulah hal yang paling sensitive dalam hidupku.

Thor tampak cuek dengan dandanannya. Ia hanya menggunakan kaos, celana tiga perempat dan rambut acak.

Saya belum mengenal mereka. Tapi kami akan menjadi rival melewati lima babak pertandingan. Seperti yang sudah ku katakan. Aku tak tertarik menang kalahnya. Aku hanya ingin menambah pengalaman liburan ini.

Setelah babak perkenalan berakhir, kita diperkenalkan kepada orang-orang yang akan melatih kami. Karena unsur intrinsik drama dan cerpen sebagian besar sama maka kelas fiksi cerpen dan drama digabungkan. Agatha, seorang wanita yang umurnya saya taksir berkisar 23an, akan menjadi pelatih kami bertiga. Tubuhnya mungil, wajahnya kecil, tampak manis memang.

Kami kemudian diperkenalkan kepada pengajar lain yang mengajar rival bidang yang berbeda. Alena, ia yang akan mengajar Andrew. Layaknya Andrew, sepertinya Alena juga keturunan blasteran. Hidungnya mancung, wajahnya sedikit membawa aura eropa yang anggun dan elegan. Lalu, Alex yang akan melatih Zio. Sepertinya Alex adalah pelatih yang paling tua. Wajahnya terkesan bijaksana dan tenang. Dibalik ketenangannya, Alex menatap segala sesuatu dengan pandangan yang berbeda. Terkadang seperti ada semburan emosi dari matanya, namun pembawaannya tetap tenang.

“Memandang dan mengobservasi menyenangkan, kan?” kata Alex dan tersenyum padaku. Sepertinya ia juga suka mengamati sepertiku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
Mengetahui Alex menegurku, Zio menatapku dengan tatapan dingin. Sepertinya dia seorang penulis yang dingin. Bukan tipe penulis yang terbawa emosi dalam ceritanya. Pembawaannya juga tenang seperti Alex, namun sepertinya dia tidak peka. Walau pun tampan namun nuansa arogan dan dingin sangat terasa dari jarak dua meter, tepat tempatku duduk saat ini. Sepasang guru-murid yang berbeda karakter sepertinya.

Zio mengalihkan pandangannya dariku dan memilih untuk menulis di buku agenda hitamnya. Berani taruhan, pasti banyak puisi di dalam sana.

“Kita akan bersama ehm, Asia. Bagaimana kalau aku memanggilmu Asia. Aku bingung kalau harus memanggilmu Cala atau Kala. Kau keberatan?” tanya Thor padaku. Aku menatapnya. Pandangannya tertuju pada surat yang ku pegang. Tertera jelas nama lengkapku.

“Terserahlah dari pada kau salah mengeja namaku, Thor.” Asia, bagus juga. Sederhana. Seperti nama benua yang terluas.

“Okey As, aku akan sangat menghargai bantuan dan kerja sama darimu. Kita teman?” tanyanya menungguku menyambut tangannya. Baiklah, toh aku hanya mengejar pelatihannya saja. Anggap saja teman seperguruan. Aku menyambut tangannya, “kita teman,” kataku.
Stesha sibuk dengan laptop yang ia bawa dari tadi. Sesekali pandangannya melihat ke arah panitia yang berbicara. Namun jika mereka hanya sekedar basa-basi pandangannya kembali ke arah laptop.

Saat aku menatap Andrew, ia lagi sibuk mengotak-atik kameranya. Ia kemudian mengarahkan kamera ke arahku. AKu terkejut, sepertinya ia juga terkejut saat aku tahu ia memotretku.

“Athan, sebaiknya kau meminta izin kan sebelum mengambil gambarku,” kataku padanya. Sekalian ku ingatkan saja kejadian tadi dengan Jessica saat memaksa dipanggil Athan. Kasihan juga jika tidak ada orang yang memanggilnya begitu. Biar aku sajalah yang memanggilnya, menarik juga nama tenarnya Athan.

“Maaf. Lagian, aku juga nggak jadi motret kamu kok,” katanya tersenyum. Sepertinya ia tidak tersinggung saat aku memanggilnya Athan.

Darda kemudian menghampiri kami dengan membawa kunci. Kunci kamar sepertinya. Setiap peserta diberikan satu kunci.

“Good luck,” begitu katanya saat memberikan kunci padaku. Aku hanya mengangguk. Seperti jodoh saja ya, semua bermula saat ia melempar bola ke arahku. Untuk beberapa saat aku merasakan wajahku sedikit memanas. Imajinasi di saat yang tak tepat, pikirku.

“Silahkan menuju ke kamar masing-masing. Kalian dipersilahkan berbenah hingga waktu makan siang tiba,” kata panitia kemudian ia menyebarkan lembaran kepada para peserta. Jadwal kegiatan rupanya. Terdapat kalimat yang dicetak tebal, digaris bawah, dan bercetak miring berbunyi, “HUKUMNYA WAJIB UNTUK MELAKSANAKAN DAN HADIR PADA KEGIATAN SESUAI DENGAN WAKTU YANG TELAH DITENTUKAN. HUKUMAN AKAN DIBERIKAN KEPADA SETIAP PELANGGARNYA.” Waw, penekanannya berlebihan menurutku. Tapi aku juga termasuk salah satu seorang yang menghargai waktu, sehingga tak ku pikir begitu berat. Kami akhirnya menuju kamar.

Aku mengangkat tas kulit berwarna coklat milikku. Aku membawa dua tas. Salah satunya tas kulit yang kubawa yang berisi pakaian yang akan aku gunakan dan yang lain yaitu ransel yang berisi notebook kesayanganku.

“Biar ku bawakan. Kamar kita kan berdekatan. Ku angkatkan sampai depan kamar, teman,” begitu kata Thor langsung meraih tas yang ku bawa. Lelaki yang baik. Namun aku menolak bantuannya. Ini masih ringan. Kemudian aku menyarankan Thor untuk membantu Stesha. Tas yang dibawa Stesha lebih besar dan lebih banyak. Sepertinya Stesha tergolong wanita pemerhati penampilan.

Akhirnya Thor mengerti dan ia beranjak untuk membantu Stesha. Aku mengangkat lagi tas kulit coklatku. Kamarku cukup jauh juga. Seluruh kamar peserta di lantai dua. Antrian yang cukup banyak di lift, sepertinya tidak akan muat dirambah dirinya dan tas yang ia bawa. Ia melihat Stesha sudah mengantri untuk masuk ke dalam lift. Akan lama, pikirku. Akhirnya aku memilih untuk menaiki tangga, toh cumin di lantai dua.

Berat memang tasku, tapi aku harus tetap membawanya denganku sampai ke kamar. Hitung-hitung olah raga. Saat kakiku baru menaiki anak tangga pertama tiba-tiba Darda meraih tasku. “Biar ku bantu, aku juga ingin ke atas. Biasanya aku juga naik tangga ini,” katanya padaku. Aku mengangguk, dan berkata terima kasih.

“Tolong tidak menghalangi jalan,” kata seseorang di belakang kami. Zio rupanya, kalimat yang diucapkan begitu dingin. Ia merasa kami pengganggu di sini.

“Maaf,” kataku kemudian membiarkannya jalan di depan kami. Jalannya cepat juga. Kamarku yang paling jauh dari arah tangga dan lift, rasanya sangat melelahkan harus berjalan menuju kamar.

“Bagaimana kepalamu? Baik-baik saja?” tanya Darda. Aku mengangguk dan berkata, “selama aku tidak geger otak saja tidak masalah.” Aku mengelus kening yang terkena bola kemarin.
Ia tertawa satire. Aku mengamatinya lagi, bahunya tetap tegap seperti kemarin. Polo shirtnya belum bisa menutupi otot-otot yang menonjol di bahunya. Ia memang seperti olah ragawan. Walau begitu ia tidak terlalu besar seperti ade rai. Proporsional lah menurutku.

“Kau kamar nomor berapa?” tanyanya saat kami berhasil menginjak anak tangga terakhir. Aku hanya memperlihatkan kunci kamarku padanya.

“Kamarnya di ujung. Untung kau dapat kamar ini. Pemandangannya indah,” katanya. Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Lalu kami berhenti di ujung koridor. Pintu ini bernomor sama dengan yang tertera di kunci. Aku membuka pintu kamar. Darda menaruh tas di depan pintu kamar.

“Biar aku bawa sendiri ke dalam,” kataku saat pintu terbuka dan ia hendak mengangkat tasku lagi. Ia mengangguk kemudian beranjak. Aku mengamatinya hingga ia berbelok menaiki tangga. Kemudian aku masuk ke dalam kamar.

Kamar yang cukup luas namun tak dapat dikategorikan luas. Cukup untuk dua orang sebenarnya. Kasur ukuran medium size mengarah ke arah tv ukuran 14 inci. Jendela yang menghadap ke kamar menghubungkanku dengan pemandangan kota. Memang benar pemandangannya bagus di sini. KAmar di sebelah sepertinya terhalang oleh gedung yang menjulang tinggi. Aku menatap kearah jendela dan mencoba melihat atap gedung sebelah. Sepertinya gedung tingkat lima. Ada kamar mandi mini di kamar ini. Tetap lebih bagus dari kamarku.

Aku sudah tak sabar untuk mengikuti pelatihan. Aku menaruh baju-baju ke dalam lemari pakaian yang di sediakan. Setelah pakaian tertata rapih aku langsung keluar dari kamar. Kamar bukan tempat favoritku.
….
Saat aku hendak berjalan memutari gedung aku melihat Andrew sedang duduk di lobi dan sibuk bermain dengan kameranya. Ia kemudian memotret orang-orang yang keluar-masuk gedung. Aku menuju ke arahnya dan duduk tepat di sebelahnya. Sepertinya ia tak sadar kedatanganku. Kembali ia mengotak-atik kameranya.

“Dapat gambar yang bagus, Athan?” tanyaku padanya. Ia terkejut mengetahui keberadaanku.

“Ya, dengan begini aku dapat mengetahui ekspresi orang-orang,” katanya padaku.
Aku belum paham. Aku membenarkan posisi duduk dan bersiap mendengarkan lanjutan apa yang akan ia katakan.

“Kau bisa saja menyembunyikan perasaan dari orang lain. Namun kamera sepertinya dapat menangkap ekspresi yang disembunyikan. Ini membantuku membuat hipotesa saat menulis artikel,” begitu katanya kemudian ia menunjukkan gambar Jessica yang ia telah potret sebelumnya. Jessica tersenyum seperti biasa. Namun jika kita mengamati dengan seksama matanya yang bulat itu tampak sedikit menyipit, bukan menyipit karena tersenyum tapi karena lelah. Beberapa bulir keringat yang samar sedikit tampak pada gambar yang diambil Andrew.

“Ia lelah tapi menyembunyikannya. Tetap berusaha ramah. Aku merasa bersalah karena membentaknya tadi. Aku baru saja minta maaf sebelum kau datang ke sini,” katanya. Aku kini paham maksudnya.

“Tapi yang ada di gambar hanya hipotesa. Belum cukup kuat jika dijadikan sumber pembuatan artikel,” tambahnya. Aku paham maksudnya. Kita tidak dapat memvonis suatu isu yang diangkat hanya dari sumber ekspresi yang disembunyikan. Hanya membantu membangun dugaan dan hipotesa untuk riset tahap selanjutnya. MEnarik juga, pikirku. Mungkin aku juga bisa mempelajari ekspresi yang disembunyikan untuk membangun karekter pada ceritaku.

“Kau sendiri kenapa selalu membawa note?” tanyanya.

“Inspirasi datang di tempat yang tidak kita duga. Aku hanya ingin segera merekam inspirasi yang datang sebelum menguap lagi. Lagi pula aku menulis cerita berdasarkan riset dan observasi di lapangan sehingga cerita yang di buat mudah diterima dan masuk akal nantinya,” kataku. Ia mengangguk dan paham maksudku. Ternyata Andrew adalah orang yang ramah. Jauh berbeda dengan sosok yang ku lihat tadi pagi.

“Menurutmu bagaimana tema pertandingan kali ini? Sudah kau siapkan?” tanya Andrew. Akhirnya ada yang memaksaku untuk mengingat pertandingan. Besok adalah hari terakhir aku menulis, tapi aku belum puny aide untuk membuat riset.

Aku menggeleng. “Temanya rumit, aku belum ada ide,” kataku pada Andrew. Ia mengangguk paham. Untuk penulis nonfiksi satu-satunya mungkin akan gampang menulis tentang sampah. Toh, masalah sampah di Indonesia juga cukup parah. Apa pun yang akan ia tulis tidak akan ada yang menyamainya karena ia adalah penulis non fiksi satu-satunya di pertandingan ini.

Thor menuju ke arah kami berdua. Ia duduk tepat di sebelahku sehingga aku diapit oleh dua orang cowok ini. Aku memandang ke arah mereka berdua. Kemudian menulis ucapan Andrew ke noteku. Ucapan tentang ekspresi orang yang disembunyikan.

“Hai Asia, Hai Andrew,” sapa Thor. Aku tersenyum saja menanggapinya.

“Kau juga punya nama tenar?” tanya Andrew, dan aku hanya menggeleng menanggapinya.

“Untunglah panitia tadi membawakan tasmu. Aku merasa bersalah kalau saja melihatmu membawa tas itu sendirian menaiki tangga,” kata Thor. “Tak apa,” jawabku.

Pandanganku ku sapukan ke seluruh penjuru ruangan. Di seberang sana tampak Jessica menerima telpon kemudian menjawabnya sambil mengangguk. Untuk apa mengangguk, toh yang berbicara juga tak bisa melihat Jessica. Jessica kemudian menutup telponnya dan menuju ke arah kami.

“Sudah waktunya makan,” katanya. Kami mengangguk kemudian menuju ke ruang makan.
Berbeda dengan ruangan lainnya di gedung ini. Ruang makan ini bernuansa klasik, bukan futuris. Tampak lampu gantung yang besar menggantung di tengah ruangan.

Thor dan Andrew langsung mencari tempat duduk. Beda halnya denganku, pandanganku menuju ke segala ruangan. Mencari sesuatu yang special untuk dijadikan bahan menulis. Aku melihat Zio duduk sendiri. Thor dan Andrew duduk bersama dengan Stesha. Saat aku hendak berjalan menuju arah Zio, aku melihat seorang yang sedang marah-marah kepada pelayan.

“Kau bagaimana sih? Hanya membersihkan yang terlihat saja. Kau bisa tidak lihat di bawah meja ini masih banyak sampah!” kata seorang itu dengan suara keras. Saat aku hendak menghampiri, Darda lagi-lagi sudah mendahului melerai mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk bersama Zio daripada melihat pertengkaran itu.

Sampah tidak terlihat, ya? MEnarik aku mencatatnya ke noteku. KEmudian duduk satu meja dengan Zio.

“Maaf, boleh duduk di sini kan? Meja lain sudah penuh,” kataku. Ia hanya diam tidak menanggapi. Orang yang sangat dingin, pikirku. Terkadang menyebalkan.

Aku beranjak untuk mengambil makanan. Ada banyak makanan enak di sini. Aku hanya mengambil nasi dan Ayam bakar ditambah sayur sup. Kemudian menuju meja minum dan mengambil satu gelas es the. Tidak lupa juga aku mengambil dessertnya langsung. Kini, aku sadari keputusanku yang salah. KEnapa aku harus mengambil semuanya bersamaan. Kan jadi susah.

Aku berjalan perlahan karena takut ada yang tumpah. Musik berdentum lembut di ruangan ini beriringan dengan langkah kaki ku yang perlahan. Zio melihatku namun dia hanya diam dan tidak menolong. Thor dan Andrew juga melihatku mereka berdiri dan hendak menolongku namun sayang kini tidak ada yang perlu ditolong. Kakiku tersandung kabel yang mengarah ke sound system. Untung saja sound systemnya tidak terjatuh, namun sayang es the yang ku pegang di tangan kiri terjatuh. Badan Zio pun terkena es teh yang tumpah.

“Maaf,” kataku panik sambil mengusap kemejanya.

Ia berdiri untuk beberapa saat emosi tergambar di matanya. Matanya terbuka lebar dan kerutan-kerutan muncul di wajahnya. Menyeramkan, pikirku. Ia menarik nafas dalam dan aku menunduk takut karenanya. Ia hanya berkata , “lain kali jangan diulang. Bawalah semuanya satu per satu.” Ia berlalu sepertinya menuju kamarnya untuk ganti baju.

Aku menunduk lemas. Kemudian tetap berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya duduk di kursi tempatku tadi duduk. KEnapa dia bersikap sangat dingin begitu. Aku jadinya sangat merasa bersalah. Nafsu makanku pun menghilang.

Aku hanya makan beberapa suap kemudian berdiri dari kursiku. Saat aku berbalik Thor sudah berdiri di hadapanku.

“Kau harus menghabiskannya. Mau kau makan sendiri atau ku suapi, Asia?” katanya kemudian menuntunku untuk duduk kembali.

“Kau tidak salah. Dia saja yang tidak mau membantumu. Sudah lupakan saja,” kata Thor mencoba menenangkanku. Pandanganku kosong, dan aku masih merasa bersalah.

“Asia,” panggilnya.

“A,,” belum selesai ku berkata apa sendok sudah masuk ke mulutku.

“Jangan hanya karena dia kau harus membuang makanan. Ku kira kau cukup dewasa untuk tahu makanan tidak baik dibuang-buang,” kata Thor lalu menarik sendok dari dalam mulutku. Aku menganggguk paham kemudian memilih untuk menghabiskan makananku.

Setiap suapan yang masuk ke mulutku membuat ingatanku terbang kesana kemari, membentuk imajinasi. Sampah yang tak terlihat, ekspresi yang di sembunyikan, dan masih banyak lagi. Aku dapat inspirasi. Segera ku tulis di noteku kemudian menyelesaikan makanku.

“Dapat ide, As?” tanya Thor dan aku hanya mengangguk. Ia tersenyum ramah.

Setelah ku selesaikan makanku, aku dan Thor berjalan menuju ruang pelatihan. Aku dan dia satu kelas walau tulisan yang kita geluti berbeda. Saat perjalanan menuju kelas aku melihat Andrew. Aku berlari menghampirinya.

“Athan!” teriakku. Ia pun berbalik melihatku.

“Aku ingin membuatmu jadi model ceritaku. Boleh? Aku mengutip beberapa kalimatmu di lobi tadi,” kataku.

Ia mengangguk kemudian berkata, “Boleh saja, asal bukan aku yang jadi sampah.”

“Tidak akan. Selesai pelatihan ku tunggu kau di lobi,” kataku. Ia mengangguk menyetujuinya dan aku pun berjalan menuju kelasku di susul Thor.

Pertandingan pertama telah di mulai, ide ku pun sudah muncul. Bagaimana aku menulisnya nanti, aku belum tahu. Semua tergantung dari wawancaraku dengan Andrew nanti. Apa pun hasilnya, aku tetap tidak begitu perduli.
….

Senin, 17 Mei 2010

Bagaimana Hasilnya??

Inilah meja kayu hitam yang akan menemaniku menulis cerita-ceritaku. Meja kayu yang dingin ini tengah menopang notebook hitam dan sebuah note berisikan riset dan observasi selama dua hari kulakukan kepada Ibuku. Dan inilah hasilnya, beberapa kertas yang melewati lubang printer satu persatu dan menghasilkan cetakan yang berbentuk kata yang menyusun kalimat.

Ku raih kertas-kertas yang telah memuat karyaku. Ku baca sekali lagi memastikan tidak ada kalimat yang bermasalah atau kalimat yang ambigu. Setelah yakin aku pun tersenyum puas. Ku tutup notebook dan note ku. Inilah karyaku, wife's sky. Semoga ini berhasil mengantarku menuju pelatihan sekaligus pertandingan yang ku idamkan sejak lama.
....
Rasanya betul-betul gelisah. Duduk tidak nyaman, berdiri pun melelahkan. Kaki bergerak tak tentu arah, rasanya sistem sarafku menuntutku untuk terus bergerak. Detak jantungku pun berdetak cepat.

Sofa paling empuk di dunia yang berada di depan mataku menjadi tak menarik untuk diduduki. Lukisan yang indah terpampang di tembok ruang tamu tak begitu menarik untuk dipandangi. Aku ingin segera menerima surat. Semoga aku menerima surat. Surat yang menyatakan aku dapat mengikuti pelatihan itu. Ya, aku lebih tertarik mengikuti pelatihannya. Menang atau tidak urusan belakang.

"Cal, makan dulu. Ibu udah masak nih,"kata Ibu.

Teringat tentang cerita yang kubuat. Buat apa aku menulis cerita kalau aku sendiri tak paham amanatnya. Akhirnya aku berhenti cemas dan beranjak dari ruang tamu menuju ruang makan.

Ibu menggoreng ayam dan menumis kangkung. Makanan favoritku. Ibuku memang yang terbaik. Aku pun memakan masakan Ibu dengan lahap. Memang enak masakan Ibu.

Selagi aku memakan makananku, bel rumah berbunyi. Berbagai perasaan campur aduk seperti datang bersamaan dengan gelombang suara yang tertangkap telinga. Rasanya bahagia, berdebar, dan harapan. Aku pun berlari menuju pintu untuk membukanya dan melihat siapa yang telah membunyikan bel. Berlari tanpa sebelumnya meminum air putih, atau melap mulutku yang belepotan karena minyak.

Aku membuka pintu rumah dengan mulut yang berminyak karena ayam goreng. Betapa bodohnya aku. Jelas saja orang yang dihadapanku terkejut melihatku. Namun aku lebih terkejut lagi melihatnya. Aku kenal siapa dia. Rambut sedikit panjang berwarna hitam, mata coklat menyejukkan, tubuh tinggi perkasa, dan badan yang tegap.

"Darda? Dari mana tahu rumahku?" tanyaku terkejut.

"Sepertinya setiap kita bicara kau selalu memilih tempat yang tidak pas," katanya sambil melirik sofaku yang sangat empuk itu.

"Masuklah," tawarku. Ia pun masuk dan duduk sesuai suguhanku. Sebelum aku beranjak masuk membersihkan bekas makanan di bibirku dia berkata, "Lip gloss yang bagus." Aku pun malu setengah mati kemudian berlari masuk.

Segera kubersihkan tangan dan mulutku. Tak lupa aku meminum segelas penuh air putih, unsur yang wajib ada saat makan. Setelah yakin benar-benar bersih aku berlari menuju ruang tamu. Darda masih duduk tenang sambil melirik berbagai lukisan yang terpajang di ruang tamu.

"Karya asli anak Indonesia," kataku dan Darda lengsung mengamatiku.

"Bagus," katanya sambil tersenyum.

Aku menghampirinya yang duduk. Aku ikut duduk di sebelahnya ikut mengamati lukisan yang terpajang di dinding.

"Ada apa?" tanyaku. Namun sebenarnya pertanyaan yang betul-betul ingin kutanyakan adalah darimana dia tahu dimana aku tinggal.

"Ini," katanya sambil menyodorkan amplop coklat dari ranselnya.

Betapa terkejutnya aku setelah tahu isi amplop itu. Aku lolos seleksi. Aku masuk dan dapat mengikuti pelatihan. Aku membaca baik-baik suratnya dan perhatianku tertuju pada kalimat bercetak tebal, "Cerita fiksi yang menarik. Deskripsi dan alur serta amanatnya terasa nyata. Tingkatkan gaya menulismu ini."

Jelas saja terasa nyata, ini semua karena aku menulis berdasarkan riset. Bagaimana pekerjaan Ibu rumah tangga. bagaimana harus berekspresi, bagaimana harus mengatur setting dan suasana semua sudah ku lakukan risetnya.

"Saat membaca tulisanmu aku mengira kau akan menulis sebuah cerita mengenai olah raga atau penulisan. Ternyata rasa cinta yang kau ambil tentang ibu rumah tangga, menarik," kata Darda sambil tersenyum padaku.

"Kau membacanya?" tanyaku.

"Tentu, aku assisten juri disini. Aku hanya ingin membaca cerita yang berhasil lolos seleksi. Memang cerita yang menarik. Aku tak tahu kalau riset yang kau lakukan itu untuk ini. Oh ya, kau mengutip kata-kataku," katanya.

"Aku mengutip semua yang ada di pengamatanku. Tapi tak pernah ku kutip dengan jelas milik seseorang. Aku saja tidak mengakuinya sebagai kata-kataku, kalau kau baca dengan seksama," kataku. Kareana aku menulis kalimat "seorang teman pernah berkata" sebelum kalimat yang ku kutip milik Darda.

Iya mengangguk seakan paham maksudku. Iya memberikan kertas lagi untukku. Ada sebuahtema disitu. Untuk pertandingan tahap pertamaku. Dan aku harus melawan empat orang.

"Tiga hari lagi, setelah pelatihan selama dua hari. Sebaiknya kau tetap melakukan risetmu," katanya.

Temanya sangat sederhana,namun rumit untuk dipikirkan. Aku harus menulis dengan gayaku. Sudut pandangku. Harus kutulis semenarik mungkin, tema "sampah" ini.

Senin, 10 Mei 2010

Cerita Pertama

Perkenalkan, nama saya Anastasia Calandra. Saya seorang penulis amatiran yang mempunyai cita-cita menjadi penulis besar. Belakangan ini saya menemukan beberapa brosur yang tersebar di jalan. Isinya mengenai perlombaan dan pelatihan menulis selama satu minggu tiga hari. Tertarik? Tentu saja saya tertarik. Rasanya hal itu merupakan petunjuk bahwa menjadi penulis besar tak lagi berwujud mimpi.

Saya telah mendaftarkan diri dalam acara itu. Namun sayang, untuk mengikuti perlombaan dan pelatihannya saja dibutuhkan seleksi yang ketat. Dan kini, saya berada di atas atap rumah tepat di bawah rasi bintang gubug penceng. Tempat dan suasana seperti inilah yang sangat cocok untuk menulis sebuah cerita.

Kepalaku menengadah menatap langit malam yang terang karena bulan sedang purnama. Sudah lama rasanya tidak berjemur di bawah terangnya bulan purnama. Langit malam yang indah.
Langit yang betul-betul indah. Sepertinya menarik jika aku menulis tentang langit malam yang indah. Terlalu banyak orang yang menulis mengenai awan, birunya langit, cerahnya matahari, atau kemilaunya bintang. Namun langit malam? Rasanya tak ada yang menganggap langit malam yang gelap itu indah. Akhirnya aku menulis di sebuah note kecil mengenai langit malam indah malam ini.

“Cala, ini sudah malam. TIdurlah,” teriak Ibuku dari bawah.

Buyar sudah lamunanku tentang langit malam yang indah ini. Tapi memang ini sudah cukup larut. Besok aku akan berjalan dan mengamati sekeliling. Rasanya sudah lama aku bercita-cita menjadi penulis, namun aku tak pernah mengamati detailnya keadaan sekitar. Mungkin bisa membantu untuk lomba ku kelak.

“Cala!” teriak Ibuku lagi.

“Iya, Bu,” jawabku.

Cala, begitu keluarga dan teman-temanku memanggilku. Cala dengan pengucupan c menjadi k. Betul, terdengar seperti kala atau masa. Aku suka namaku dipanggil seperti itu.

Akhirnya aku memutuskan untuk turun. Di sekitar atap ada lubang kecil yang menghubungkanku langsung menuju kamar tidurku. Aku turun perlahan. Walau pun aku cukup sering naik ke atas atap, namun aku masih saja takut untuk turun.

Setelah sukses menuruni tangga, aku berbaring di atas kasur. Bagaimana besok ku akan menjelajah dunia pengamatan aku tak tahu. Yang ku harap, aku bisa menulis cerita agar aku bisa lolos seleksi untuk pelatihan selama satu minggu tiga hari itu.
….
Hari telah berganti. Sudah cukup banyak buku dan komik yang ku baca untuk mendapatkan inspirasi. Lucu rasanya saat kita membaca komik dan mendapatkan cerita tentang semangat untuk mencapai suatu tujuan, terlebih dengan membawa tekad dan rasa cinta terhadap tujuannya itu. Seperti slam dunk, komik mengenai basket.

Tak hanya dari komik saja aku mampu mendapatkan gambaran mengenai semangat yang disertai rasa cinta terhadap suatu hal. Dalam film, dapat pula ditemui. Contohnya saja dalam film August Rush. Hal ini menjadi topik yang menarik untuk diangkat. Mungkin dengan menulis topik yang seperti ini aku mampu lolos seleksi dan mengikuti pertandingan dan pelatihan menulis yang aku idamkan.

Sebenarnya perlombaan macam apa sih yang aku ikuti ini? Aku juga tak begitu paham. Tak jika sudah menyangkut dengan penulisan aku akan sangat tertarik. Yang aku tahu dari perlombaan ini hanyalah gaya menulis tidak dibatasi. Kita dapat menulis cerita fiksi, naskah drama, artikel, tips, atau puisi. Menarik pikirku, aku akan dapat menemukan banyak gaya menulis dalam pelatihan nanti.

Aku sudah berdandan rapih dan siap untuk melakukan riset. Sebenarnya aku hanya akan menulis cerita fiksi, bukan sebuah artikel berat. Namun tetap saja, aku tak boleh menulis segala sesuatu langsung dari imajinasiku. AKu butuh data yang nyata agar ceritaku nanti terlihat lebih nyata.

Ku mengalungkan note kecil yang menemaniku dari tadi malam. Sempat ku lihat catatanku tentang langit malam yang indah. Akankah aku bisa menulis sebuah cerita menarik dari catatan-catatan yang ada di noteku nanti.

“Ibu, Cala berangkat dulu, ya?” kataku lalu menjabat tangan Ibu cukup lama. Entah mengapa rasanya melihat telapak tangan Ibu yang kasar karena kerja kerasnya selama ini tampak menarik untukku.

Akhirnya aku berangkat menuju sebuah lapangan basket sekitar taman kota. Semoga akan banyak bahan cerita disana.
….
Disinilah aku sekarang. Aku duduk di kursi penonton yang menghadap langsung menuju lapangan basket. Aku tak paham mengenai peraturan dalam permainan bola basket. Namun itu bukan menjadi perhatianku saat ini. Aku hanya ingin menanyakan pendapat mereka tentang basket.

Pertandingan yang berlangsung tampak begitu meriah. Terlihat dari penonton yang terus bersorak sorai saat bola dimasukkan ke dalam keranjang yang berlubang. Pertandingan di lapangan ini bukanlah pertandingan besar. Pertandingan ini hanya untuk bersenang-senang sepertinya. Terkadang mereka tampak bercanda saat bermain di lapangan.

Pengamatanku beralih ke kursi penonton. Tampak beberapa gadis sesekali berteriak-teriak. Ada pula yang memegang handuk kecil di pangkuannya. Pasti pacar pemain basket. Sudahlah aku tak perduli.

Tidak begitu menarik memang, tapi aku bukan berarti harus mengacuhkannya. Ku catat semua yang ku amati di noteku. Tiba-tiba para gadis berteriak keras. Aku pun berhenti menulis dan menjauhkan pandangan dari arah note. Namun pemandangan yang bisa kulihat hanya sebuah benda bulat merah yang mendekat ke arah wajah dengan kecepatan tinggi.

Alhasil, aku akhirnya merasakan menyundul bola basket. Untung di sekolahku hanya ada pelajar menyundul bola sepak. Bola basket ternyata lebih keras dan lebih sakit bila terkena kepala.
“Kau tak apa?” tanya seorang pemain basket padaku.

Tak apa? Jelas aku kenapa-napa. Kepalaku terlalu pusing untuk menjawab. Namun aku tetap menanggapinya dengan anggukan kepala walau dalam hati aku mengomel.

“Ini notemu jatuh,”katanya padaku kemudian menyerahkan note padaku.

“Terima kasih,” kataku padanya saat ku terima noteku.

“Tidak, aku yang minta maaf. Kamu wartawan? Kalau kau butuh data biar aku bantu sebagai balasan karena aku melempar bola ke arahmu. Kalau kau setuju, tunggu aku setelah selesai bermain basket, kalau tidak kau bisa meninggalkanku,” katanya lalu mengambil bola basket yang berada di dekatku kemudian ia kembali masuk ke lapangan.

Boleh juga pikirku. Aku butuh pendapatnya mengenai semangat juang dan rasa cinta terhadap profesi. Seperti yang ku baca di komik-komik semalam. Sepertinya lebih baik ku tunggu dia.
….
Sudah berlalu lima belas menit dari waktu bola mendapat tepat di wajahku. Akhirnya para pemain basket berhenti bermain dan menuju kursi penonton. Beberapa disambut oleh gadis-gadis yang sudah menunggu mereka.

Aku berdiri mencari orang yang tadi berjanji akan membatuku. Akhirnya ku melihat orang itu. Ia sedang minum dari botol minumnya, kemudian mengangkat tasnya menuju ke arahku.

“Kau mau bicara di sini, atau mencari tempat yang nyaman di taman? Di sini cukup panas,” katanya lalu menatap langit yang tak berawan.

“Terserah padamu sajalah,” kataku.

Pemain basket itu akhirnya mengajakku duduk di kursi taman. Cukup teduh karena sinar matahari di halau oleh dedaunan pohon.

“Maaf ya soal yang tadi,” katanya membuka pembicaraan.

“Tak apa,” jawabku sekenanya.

Ia menaruh tasnya di bawah, tepat di samping kursi yang ia duduki. Ia menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang ia bawa.

“Oh ya namaku Darda, kamu?” katanya kemudian menjulurkan tangannya padaku. Pemilihan kata yang kaku pikirku. Seperti anak SD yang hendak mengajak kenalan teman baru di sekolahnya.

“Cala,” jawabku kemudian menyambut tangannya. Tangan yang cukup besar.

“Kamu wartawan?” tanyanya sambil menunjuk ke arah note yang aku bawa.

Aku hanya menggeleng. “Tak hanya wartawan kan yang butuh note. Aku hanya sedang melakukan sediki riset di sini,” jawabku. Ia hanya mengangguk menanggapiku.

“Riset tentang perjuangan dan rasa cinta,” tambahku.

“Cinta? Di lapangan basket?” tanyanya heran. Aku sedikit mengerti apa yang ada di pikirannya.

“Cinta terhadap permainan basket,” tambahku. Ia tampak paham arah pembicaraanku.

“Kau atlet?” tanyaku.

Ia hanya menggeleng lalu mengambil botol minuman di tasnya. Ia menenggak minumnya kemudian menaruh kembali ke dalam tasnya.

“Aku memang cinta terhadap basket, namun bukan berarti aku memilih atlet sebagai profesiku,” jawabnya.

Ow, mungkin memang cerita yang ada di komik-komik itu berlebihan. Atau mungkin, aku salah orang dalam mencari riset.

“Pekerjaanmu sendiri apa?” tanyaku.

“Aku editor majalah olah raga. Dan aku juga mencintai pekerjaanku. Bukankah sebaiknya kita mencintai apa yang kita kerjakan agar terasa menyenangkan. Seperti kau yang mencintai pekerjaanmu saat ini,” katanya. Aku sedikit menyetujui pendapatnya. Akhirnya aku mencatat di noteku.

Jadi dia editor majalah sport. Tidak jauh juga dengan keadaannya sekarang yang berkeringat dan besar. Otot-otot di lengannya tampak sedikit menonjol. Badannya tegap dan juga cukup tinggi. Yah, sedikit tampan.

“Berarti kita tidak terpaku terhadap satu pekerjaan saja?” tanyaku.

“Jelas tidak. Bukankah dunia ini luas. Kita dapat menekuni banyak hal dengan perasaan senang. Jika kita semangat dan senang dalam menjalankan suatu pekerjaan, tampaknya pekerjaan yang baru kita tekuni akan dapat dengan mudah kita kuasai,” katanya.

Mengerjakan banyak pekerjaan ya? Aku pun teringat terhadap tangan Ibuku yang kasar. Ia bekerja keras dalam mengurusi rumah tangga. Ia tidak hanya terfokus untuk menyapu rumah, tapi juga memasak. Namun sayang tak ada pertandingan untuk Ibu rumah tangga. Ibuku pasti akan menang jika ada pertandingan seperti itu.

Aku membuka-buka kembali noteku. Langit malam ya. Langit malam yang tak pernah tampak menarik karena warnanya gelap. Seperti pekerjaan ibu rumah tangga yang tak menarik karena tampak membosankan. Sepertinya aku tahu harus menulis apa.

“Masih ada lagi?” tanya Darda padaku.

“Tidak terima kasih, rasanya cukup. Aku mendapat cukup inspirasi karenamu,” kataku sambil tersenyum dan mencatat ide yang muncul ke noteku.

Aku menoleh menatapnya, pandangan kami bertemu. Aku hanya tersenyum dan menyodorkan tanganku padanya. “Terima kasih,” ucapku. Ia pun menyambut tanganku.

“Sama-sama,” katanya.

Akhirnya aku meninggalkan Darda dan bergegas menuju rumah. Sepertinya untuk tulisan kali ini aku akan bekerja lama di rumah.
….

Jumat, 07 Mei 2010

The Portal

Ara turun menghampiri adiknya dengan terburu-buru. Baginya rumah ini terlalu berbahaya untuk adiknya. Apa pun yang berada di balik pintu itu, menurutnya bukanlah hal yang bagus.

Ara cemas tak mendapati adiknya seturunnya dari tangga. Ia mencari adiknya di segala penjuru rumah, tapi ia tak kunjung menemukan adik kembarnya itu. Ia nyaris depresi hingga ia menemukan adiknya berada di kamar dengan kucing yang telah melukai tangan Lyra.

Ara berjalan lunglai. Tampak sedikit kelegaan yang terpancar dari wajahnya. Ia duduk tepat di sebelah adiknya duduk. Ia melihat ke arah luar jendela yang berada tepat di hadapannya. Pemandangan yang tampak dari jendela ialah pemandangan halaman rumah yang sewajarnya. Apa pun yang aneh di rumah ini, hanya lantai dua yang bermasalah pikirnya.

Lyra mengamati keanehan yang terpancar dari raut wajah kakaknya. Menurutnya, kakaknya tak seperti ini sebelum naik ke lantai atas. Ia yakin ada sesuatu di lantai dua yang membuat kakaknya seperti ini.

Kucing yang berada di pangkuan Lyra mengeong-ngeong tak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Terlebih tatapan yang dituju kucing itu kepada Ara tampak sangat tajam.

“Ada apa Sivie?” tanya Lyra sambil mengelus rambut kucing yang berada di pangkuannya.

“Kau memberinya nama?” tanya Ara heran melihat adiknya.

Lyra hanya menggeleng. “Namanya memang seperti itu. Sudah tertera di kalungnya yang berkilau,” kata Lyra.

Ara mengamati kalung itu. Kalung yang bertuliskan S I V I E. Mulanya kalung itu berwarna biru, namun kini berubah menjadi merah. Kalung berbentuk sayap itu mulai mengepak-ngepak. Ara merasa ada yang janggal dengan kalung berwarna biru itu.

Sivie menatap heran ke arah Ara seakan ia tahu apa yang terjadi. Entah ini kabar baik atau buruk untuknya. Namun Sivie hanya menatap Ara sambil mengeong tidak tenang.

“Apa yang terjadi, Ra? Kau sudah menemukan kamar lain di atas?” tanya Lyra.

Ara menggeleng. Ia menatap Sivie. Apa pun yang terjadi di rumah ini, ia yakin kucing itu tahu. Walau pun SIvie hanyalah seekor kucing, ia yakin ia tahu sesuatu karena ia telah tinggal di sini cukup lama sepertinya.

“Sepertinya malam ini aku akan tidur di sini. Lagi pula kita sudah cukup lelah untuk membersihkan lantai atas bersama,”kata Ara. Lyra masih menatap kakaknya. Seperti yang ada di hadapannya bukanlah Ara yang ia kenal. Karena Ara tak kan lelah karena hanya membersihkan rumah.

“Besok kita pulang. Tuan McKennai akan memaafkan kita jika aku berani meminta maaf di depan umum, kan? Akan ku lakukan besok,” kata Ara.

Mendengar hal ini Lyra betul-betul yakin, ada sesuatu yang telah terjadi. Sepertinya sangat tidak mungkin kakaknya melakukan hal yang kakaknya rencanakan. Tapi tetap saja Lyra sangat senang mengetahui kakaknya akan berubah.
….
Tengah malam ini angin berhembus dingin. Ara yang tak kunjung bisa memejamkan mata seakan teringat sesuatu. Angin ini mengingatkan dia tentang suatu perpisahan. Ia tak paham akan kah ia berpisah lagi dengan adiknya atau tidak. Tapi apa pun itu ia akan menjaga adiknya.

Sivie mengejutkan Ara dengan tiba-tiba muncul di sebelah Ara. Kucing itu hanya berputar-putar menarik perhatian Ara. Ara memastikan adiknya tidur dengan pulas. Lyra memang tidur dengan pulas.

Ara kemudian membenarkan duduknya. Ia masih sibuk mengamati Sivie berputar-putar. Ia memangku Sivie lalu membelai rambut kucing itu dari belakang ke depan. Sivie pun mengeong dengan keras. Ara kemudian memastikan kembali adiknya masih tertidur.

“Tenang saja ia tidak akan bangun hingga setengah jam ke depan,” kata Sivie. Ara terbengong mendengar Sivie berbicara.

“Jika dugaanku tepat, seharusnya kau sudah bisa mendengarku berbicara,” kata Sivie yang meyakinkan Ara ini bukanlah mimpi.

“Kau..,, bi.., bicara?” tanya Ara terheran.

“Berarti benar dugaanku. Kau sudah membuka ke tujuh portal.”

“Sivie. Kau bicara?”

“Ya ampun. Aku sudah bisa berbicara cukup lama. Kau pikir aku kucing sungguhan? Aku ini penyihir,” kata SIvie dengan tampang sedikit angkuh.

“Kau bicara?” tanya Ara ingin meyakinkan apa yang ia dengar.

“Ya Tuhan. Kenapa dia susah sekali diajak bicara?” keluh Sivie.

Apa pun yang dibicarakan Sivie, Ara menanggapinya sama. Kejadian ini berulang-ulang cukup lama.

“Ayolah. Nanti pengaruh sihirku akan hilang dan Lyra akan terbangun,” kata Sivie.

Mendengar kata sihir dan Lyra, akhirnya Ara tersadar dari keterkejutannya. Ia menatap adiknya lagi, Lyra masih tertidur sangat pulas.

“Kau apakan Lyra?” tanya Ara ketus.

“Dia hanya kubiarkan tertidur hingga aku bisa meyakinkan diriku tentang dugaanku,” kata Sivie lega karena akhirnya Ara menanggapinya dengan cara berbeda.

“Terserah yang akan kau katakan. Tenang saja, aku dan Lyra akan kembali ke Plutorius besok,” kata Ara.

Sivie berjalan memutari Ara. “Baiklah kau dan Lyra pulang besok, tapi kau harus kembali lagi kesini dengan atau tanpa Lyra,” kata Sivie.

“Kau pikir aku gila. Aku tak akan kembali ke sini.”

“Kau telah membuka ke tujuh portal itu kan?” tanya Sivie dengan tatapan tajam.

Ara berpikir sejenak. Ia mengingat-ngingat pintu yang berada di lantai dua rumah tua ini. Berkali-kali ia hitung jumlah pintu yang berada di lantai dua hanya enam, jika memang yang dimaksud dengan portal ialah pintu yang ada di lantai dua.

“Tapi hanya ada enam pintu di atas,” kata Ara.

“Jika kau tak membuka portal utama, kau bahkan tidak bisa melihat ku,” kata Sivie.

Ara berpikir lagi. Jika LYra juga bisa melihat SIvie, berarti ada satu pintu yang mereka lewati bersama. Tapi Lyra tak pernah naik ke lantai dua. Berarti pintu yang dimaksud berada di lantai satu.

“Kau ingat cicak yang terjatuh dan berbunyi cukup keras kemarin. Ia adalah temanku. Kami bangsa Demedon tak bisa melewati portal utama,” kata Sivie.

Ara mengingat lagi. Berarti betul yang ia dan Lyra dengar. Suara yang keras itu memang berasal dari cicak yang jatuh. Ia juga teringat Sivie yang tak bisa keluar dari rumah ini walau pintu rumah terbuka.

“Pintu itu? Pintu rumah ini?” tanya Ara. Sivie menanggapinya dengan anggukan.

“Tapi tetap saja aku akan pulang besok,” kata Ara.

“Terserah jika kau ingin kejadian dua belas tahun lalu terulang,” kata Sivie.

Ara dalam sekejap teringat kedua orang tuanya dan pesta ulang tahun desa Plutorius. Mungkinkah arti hawa dingin malam ini adalah kejadian malam dua belas tahun lalu akan terulang lagi.

“Maksudmu?”

“Sebelumnya maaf aku belum memperkenalkan diri. Aku Sivie, salah satu warga Demedon. Kerajaan Demedon adalah kerajaan dasar laut yang bisa kau lihat dari balik jendela di lantai dua.” Ara dapat mengingat jendela besar di ujung lantai dua memang menggambarkan pemandangan dasar laut.

“Kami bukanlah bangsa ikan, atau makhluk air. Kami warga Demedon adalah penyihir yang bertugas mengawasi ke tujuh portal yang ada. Namun dua belas tahun terakhir, tugas kami tidak berjalan normal karena Raja kami dibunuh dua belas tahun lalu.” Ara yakin kejadian dua belas tahun lalu merupakan awal dari masalah yang diceritakan Sivie.

“Raja kami dibunuh dan tahta diambil alih oleh orang yang kejam yang mempunyai mutiara hitam. Di setiap portal, memiliki mutiara yang berbeda-beda warna dan fungsi. Kau mungkin pernah membuka pintu yang isinya hanya merupakan ruangan gelap gulita?” tanya Sivie yang ditanggapi dengan anggukan oleh Ara.

Sebenarnya Ara tak begitu perduli, namun jika menyangkut kejadian dua belas tahun yang lalu Ara akan tampak ambisius. Karena ia ingin mengetahui tentang orang tuanya. Di desa Plutorius semua warga selamat, namun hanya ayah dan ibunya yang menghilang.

“Ruangan itu menyimpan mutiara hitam yang berfungsi membekukan makhluk apa saja yang perlu dibekukan. Saat mutiara itu direbut semua warga di tujuh portal membeku. Namun, berkat ksatria vela yang rela menjadi tumbal semua sembuh dari kebekuannya,” kata Sivie.
“Berkorban? Ayah dan Ibuku menghilang. Apa mungkin mereka?” tanya Ara.

Sivie terkejut mendengar pernyataan Ara. Namun Sivie tak dapat member jawaban pasti, ia hanya menggeleng.

“Lalu hubungannya denganku?” tanya Ara.

“Diramalkan akan ada ksatria berikutnya yang akan datang untuk mematahkan kekuatan Raja Dion. Raja yang telah mengambil alih Demedon. Sepertinya Raja Dion sudah mengetahui kedatanganmu. Entah kau orang yang diramalkan atau tidak, tapi sekarang terjadi kegaduhan di Demedon tentang ksatria yang diramalkan. Jika kau kembali ke Plutorius namun tak kembali ke rumah ini, mungkin Raja Dion akan melakukan segala cara untuk memusnahkanmu, walau harus membekukan seluruh desa,” tutur Sivie.

Ara terdiam sejenak. Ia tak mungkin menerima langsung semua cerita yang dijelaskan Sivie. Namun ia takut kejadian dua belas tahun lalu akan terulang kembali. Ia menatap adiknya yang masih pulas tertidur. Mungkin tak hanya nyawanya yang akan terancam, namun nyawa adiknya juga.

“Kembali lah lagi ke sini. Dan kita akan bicarakan langkah selanjutnya. Ku mohon, kau lah harapan kami,” kata Sivie.

Ara menunduk dan berpikir. Mendengar permohonan Sivie, ia seakan percaya ialah ksatria yang diramalkan. Terlebih lagi ia yakin ksatria yang menjadi tumbal sebelumnya adalah ayah dan ibunya.

“Bagaimana dengan ksatria yang menjadi tumbal?” tanya Ara.

“Mereka dibekukan, namun mereka belum mati,” kata Sivie. Ara semakin berambisi. Walau dalah benaknya ia ragu, namun entah mengapa hatinya berkata ia harus melakukannya untuk Lyra, Orang tuanya, Plutorius, dan Demedon yang bahkan ia belum mengerti ceritanya.

“Tidurlah, besok akan menjadi hari yang melelahkan untukmu,” kata Sivie. Ara hanya mengiyakan. Ia kemudian mencoba memejamkan mata.

Terlalu banyak hal yang membuatnya bingung hari ini. Terlalu banyak yang membuatnya lelah hari ini. Apa pun keputusannya besok, ia hanya ingin memejamkan matanya malam ini dan membayangkan bertemu kembali dengan kedua orang tuanya.
....

Kamis, 06 Mei 2010

Saat Menanti Ide

Aku pernah denger dari seorang penulis salah satu koran swasta kalau seorang penulis tidak dapat menulis jika dia tidak dapat membaca. Kunci seorang penulis adalah membaca. That's right, that's true. Memang tidak bisa dipungkiri.
Walau saya masih sangat amatir dalam bidang tulis menulis, tapi 100% setuju mengenai teori membaca untuk menulis. Saat-saat otak saya tidak bisa diajak berkompromi untuk menemukan ide menulis, aku menghindari hal untuk berpikir keras. Takutnya otak saya berakhir seperti otak Patrick Star saat berusaha berpikir keras. Alhasil, aku lebih memilih mengistirahatkan otak dengan membaca buku-buku yang ringan seperti komik, novel, atau majalah.
Memang menyenangkan membaca. Ide dapat dengan mudah datang saat kita membaca. Coba saja kalau lagi tidak punya ide, membacalah saya jamin akan ada ide atau inspirasi datang. Bisa dibilang ide hampir sama dengan sosok cewek, semakin dipaksa dan dikejar maka semakin menjauh (kok kayak lagu ya?-pen).
Belakangan ini saya membaca komik mengenai perjuangan dalm bidang musik. Saya juga pernah membaca tentang pertandingan memasak. Perjuangan ya?? Keren juga. AKu mau mencoba buat side story tentang perjuangan ah.. Doakan saya ya..

Jumat, 30 April 2010

Rumah Tua

Sepasang saudara kembar yang berlainan jenis kini sudah berdiri tepat di hadapan rumah tua yang megah. Tampak banyak pohon di sekitar rumah, serta rumput yang cukup tinggi di halaman rumah.

Malam ini bulan tak tampak. Walau pun begitu bintang-bintang masih terlihat mengagumkan dari bawah sini. Lyra, seorang wanita yang tampak kuat namun tetap saja ia masih terlihat manis tengah menikmati pertunjukan yang tengah dimainkan oleh bintang-bintang di langit.

Ara mengamati sekeliling rumah tua. Ia melihat lantai atas rumah ini, terdapat tiga jendela di sana. Ia kemudian mengangkat tas kulit berwarna coklat kusam menuju pintu rumah tua ini. Rumah ini akan menjadi tempat tinggal mereka selama satu minggu. Ara menyentuh dan mengamati dengan seksama ukiran pada tiang penyangga rumah itu. Ia juga mengamati ukiran pada pintu rumah. Klasik, pikirnya.

Ara membuka pintu rumah tua itu. Tepat di sebelah pintu rumah terdapat dua sakelar. Ia memfungsikan keduanya. Kini lampu halaman menyala, hal ini menyadarkan Lyra dari lamunannya. Ia kemudian menyusul Ara masuk ke dalam rumah. Lampu yang berada tepat di atas Ara juga menyala. Kini aura tampan dan tegar terpancar dari wajah Ara.

Koridor yang menghubungkan pintu utama dan tangga tempat Lyra dan Ara berdiri juga menghubungkan dua ruangan yang berada di samping kiri dan kanan koridor.

“Kau puas sekarang? Aku bingung denganmu. Kenapa kau harus berulah seperti ini? Memangnya lucu menggunduli Sarah, kucing kesayangan tuan McKennai?” bentak Lyra. Ara sontan tertawa membayangkan Sarah tanpa bulu sehelai pun di tubuhnya. Lyra yang melihat kejadian itu hanya menggeleng, ia bingung harus bagaimana mengatasi kenakalan kakak kembarnya itu.

“Aku tidak pernah punya teman karena kau, Ara. Kenapa kau tidak pernah bersikap baik?” kali ini suara Lyra lebih lirih.

Ara mengamati saudara kembarnya. Ia kemudian berjalan menuju ruangan di sebelah kanannya. Rupanya itu ruang perapian. Ia mencari sakelar pada ruangan itu. Lyra kemudian mendapati 3 sakelar di dekat tangga. Ia menggunakan ketiganya. Lampu ruangan tempat Ara berada menyala. Ada satu pintu lagi di ruangan itu. Ara memasuki ruangan itu. Kamar rupanya.
Lyra beranjak dari tempatnya berdiri menuju ruangan yang ada di sisi lain dari tempat Ara berada. Rupanya dapur, namun masih ada pintu lagi pada ruangan itu. Setelah Lyra membukanya ia menyadari bahwa ruangan itu adalah kamar mandi. Lyra tampak heran mengamati situasi rumah tua ini. Rumah yang cukup bersih untuk rumah tua yang tak pernah dihuni selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun.

Ara menyentuh bahu Lyra untuk menyuruhnya segera beristirahat. Namun, Lyra tampak terkejut karena hal itu. Lyra berjalan menuju koridor. Tas mereka masih berada di koridor. Mereka berhenti sesaat di koridor.

“Ly, aku tak pernah memintamu untuk terus mengikutiku. Aku tak pernah melarangmu untuk berteman,” kata Ara kemudian mengangkat tas menuju kamar yang telah ia temukan tadi.

Lyra terdiam mendengar ucapan Ara. Apa mungkin tadi ia terlalu kasar dengan kakaknya sendiri. Lyra takut jika ia terlalu sibuk berteman, Ara akan semakin terjerumus. Ia merasa sangat perlu untuk memastikan kakaknya akan baik-baik saja terlebih saat orang tua mereka meninggalkan mereka.
….
Malam yang menyenangkan dua belas tahun lalu di desa plutorius. Lyra masih sangat kecil kala itu. Ia terlalu kecil sehingga terlalu mudah terpengaruh oleh gulali yang seukuran wajahnya.

“Lyra suka gulali?” tanya Ibunya terhadap Lyra.

Lyra hanya mengangguk dengan tatapan sangat ingin mendapatkan gulali itu. Samar-samar ia mendengar apa yang Ibunya katakana padanya, karena ia masih terlalu sibuk dengan gulalinya. Yang masih ia ingat adalah pesan Ibunya untuk terus bersama Ara bagaimana pun keadaan yang terjadi.
….
Lyra menyeka air matanya yang terjatuh. Ia merasa sangat merindukan kedua orang tuanya. Sudah dua belas tahun ia memilih untuk belajar memasak dari pada membeli sebuah gulali.
Ara kembali menghampiri Lyra di koridor. Ia menyuruh Lyra masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Hanya ada satu kamar di lantai satu ini. Ia melihat tangga yang berada di koridor. Tangganya sudah tua, tampak bolongan bekas dimakan rayap. Di ujung tangga cukup terang karena lampu yang dinyalakan oleh Lyra tadi. Di ujung tangga, tangga itu berbelok dan menuju lantai dua.

Lyra yang tampak lelah karena sepanjang perjalanan ia terus mengomel memilih untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Terlebih rumah tua ini berada cukup jauh dari rumah kepala desa McKennai tempat mereka tinggal. Rumah ini terletak di tepi desa Plutorius. Mereka berada di sini karena mereka sudah terlalu banyak berbuat ulah di desa. Sebenarnya lebih tepat Ara banyak berulah di desa. Namun karena Lyra tak ingin dipisahkan dari saudaranya, ia memilih untuk ikut dihukum bersama kakaknya di rumah tua ini. Mereka dihukum untuk tinggal selama satu minggu di rumah tua ini.

Ara mengamati adiknya hingga punggungnya hilang di balik pintu. Pandangannya kini beralih pada tangga. Entah mengapa ada rasa yang sangat aneh yang Ara rasakan., Jantungnya berdebar lebih cepat. Ia mengamati anak tangga. Walau pun ada lubang karena di makan rayap, tangga ini sangat bersih. Tidak ada sarang laba-laba bahkan debu pada tiap anak tangga.

“Ra,tidur yuk,” kata Lyra mengejutkan Ara.

“Tapi Ly, hanya satu kamar yang berada di lantai satu ini. Mungkin di atas kita dapat mendapati cukup banyak kamar untuk di tempati,” kata Ara.

“Besok pagi aja Ra. Sekalian kita berbenah buat persiapan tinggal selama satu minggu,” kata Lyra meyakinkan Ara. Akhirnya Ara memutuskan untuk beristirahat dan melanjutkan penjelajahannya di rumah ini esok hari.

Sebelum Ara membuka pintu kamar, tiba-tiba terdengar bunyi benturan keras dari arah pintu masuk. Suaranya seperti suara orang yang jatuh dari lantai dua. Ara dan Lyra terpaku sejenak dan saling tatap. Akhirnya Ara memutuskan untuk melihat bunyi apa tadi. Lyra berjalan tepat dibelakang Ara. Ara mengeluarkan pisau kecil yang selalu ada di sakunya sejak dua belas tahun yang lalu.

Lyra terkejut melihat Ara mengeluarkan pisaunya. Karena Lyra tak pernah melihat pisau itu sebelumnya. Merasakan tatapan yang ditujunya dari Lyra memancarkan aura tidak setuju dia menggunakan pisau kecil itu.

“Kenapa menatapku seperti itu? Pisau ini hanya untuk berlindung,” kata Ara.

“Kau butuh perisai bukan pisau kecil itu untuk berlindung,” kata Lyra.

Ara tidak memperdulikan komentarnya. Ia terus berjalan pelan menuju koridor. Sesampainya di koridor ia terkejut, pasalnya tak ada sesuatu di situ.

“Ra, lihat,” kata Lyra sambil menunjuk mayat cicak yang tadi belum ada. Cicak itu tampak hangus seperti telah dipanggang.

Mereka saling tatap seperti melontarkan pertanyaan yang sama namun tidak ada yang bisa menjawab. MEreka masih tidak percaya jika bunyi yang keras berasal dari cicak yang jatuh.

“Sudahlah Ra, mungkin kita terlalu lelah sehingga kita salah dengar,” kata Lyra mengajak kakanya untuk tidur. Ara mengiyakan saja walau pun dipikirannya ia merasa ada yang aneh dengan rumah ini.
….
Pagi yang cerah, Lyra terbangun lalu membuka jendela kamar. Cahaya seakan menyerbu rauang kamar saat Lyra membuka jendela kamar. Ara kemudian terbangun. Ia tidur di lantai sedangkan adik perempuannya tidur di kasur yang cukup empuk.

“Ok Ra. Waktunya kita beraksi,” Ara tampak masih belum penuh mengisi energinya. Ia terbangun lemas. Ia duduk sejenak membiarkan nyawanya terkumpul dan masuk kembali ke raganya. Setelah ia betul-betul tersadar ia baru beranjak dari kamar.

Ara membersihkan halaman rumah. Ia memotong rumput-rumput yang mulai meninggi. Alat pemotongnya tak pernah digunakan sepertinya. Alat pemotongnya sudah mulai macet. Sedangkan Lyra membersihkan bagian dalam rumah. Ia juga menyiapkan makanan untuk sarapannya dengan kakaknya.

Pekerjaan di luar rumah ini memang cukup berat. Pasalnya bagian luar rumah memang menggambarkan rumah yang tak pernah dihuni lama. Namun beda halnya dengan bagian dalam rumah. Butuh waktu lama untuk membersihkan bagian luar rumah.

Setelah yakin jendela bersih, halaman tampak lebih rapih, dan tak ada lagi rumput yang tinggi Ara kemudian masuk dan menikmati masakan yang dibuat adiknya. Sudah berlalu dua belas tahun sejak orang tua mereka meninggalkan mereka. Namun Ara masih mengingat dengan sangat jelas masakan ibunya. Rasanya sama persis dengan masakan yang dibuat Lyra.

Ara memakan sup yang dibuat adiknya. Ia mulai menyuapi perlahan namun ia tak kunjung berhenti memikirkan tentang kejadian cicak yang mati tadi malam.

“Ra, kau merasa ada yang aneh dengan rumah ini? Sepertinya semua peralatan di rumah ini sangat terawat. Aku juga tak kesulitan untuk membersihkannya,” kata Lyra.

“Tapi tidak dengan yang berada di luar rumah. Keadaannya sangat kotor dan berantakan. Aku saja sampai kewalahan membersihkannya,” kata Ara masih sambil menyantap supnya.

“Berarti hanya bagian luar rumah yang tidak dirawat,” kata Lyra.

“Oleh?” tanya Ara yang membuat mereka berdua berhenti membicarakan topik ini.

Lyra terdiam. Apa mungkin sudah pernah ada anak lain yang juga dihukum untuk tinggal disini sebelumnya? Ia tak tahu keadaannya.

“Mungkin di lantai atas ada jawabannya, Ly. Lagi pula kita belum membereskan lantai atas,” kata Ara. Lyra hanya mengangguk. Mereka berdua menghabiskan makanannya. Kemudian beranjak dari dapur menuju koridor.

Kini mereka berdua menatap tangga. Untuk beberapa menit ketakutan menyelubungi hati mereka. Namun akhirnya langkah mereka perlahan tapi pasti. Mereka menaiki anak tangga satu persatu. Terkadang suara berdecit keluar saat anak tangga diinjak. Tangan kanan Ara menggenggam pisau yang ada di sakunya dan tangan kirinya menggenggam erat tangan Lyra.

Saat mereka tiba di anak tangga terakhir tiba-tiba saja seekor kucing melompati mereka kemudian mencakar lengan Lyra. Lyra nyaris terjatuh namun tangan kiri Ara tetap menahannya. Melihat, tangan Lyra yang berdarah, Ara merobek lengan bajunya untuk membalut luka di tangan adiknya. Ia kemudian mengejar kucing itu. Ara mengeluarkan pisau dari sakunya.

“Kali ini kau tak kan selamat kucing. Akan ku kuliti kau melebihi apa yang kulakukan terhadap Sarah,” kata Ara kemudian berlari menuruni tangga.

Saat melihat kucing itu berlari menuju arah pintu utama depan tangga yang terbuka Ara ragu akan berhasil menangkap kucing itu. Namun yang membuat Ara terkejut adalah, kucing itu tidak keluar. Bahkan ekornya pun dijauhkan dari pintu. Kucing itu kini berdiri tepat dimana mayat cicak tadi malam terjatuh. Dengan posisi siap terkam kucing itu mengeong-ngeong.

“Kau tak kan lepas kucing,” kata Ara, walau ia merasa ada hal yang aneh dengan tingkah kucing itu.

Lyra mencegah apa pun yang akan dilakukan Ara terhadap kucing itu. Ia merogoh saku celananya. Lyra mendapatkan sepotong roti. Ia kemudian menyodorkan kepada kucing itu.

“Sudahlah Ra, dia hanya kucing,” kata Lyra. Kemudian kucing itu perlahan mendekati potongan roti yang diberi Lyra. Lyra melihat kalung yang berkilau di leher kucing. Kalung bergambar sayap berwarna biru dan berkilau.

Lyra kemudian menggendong kucing itu. Kini kucing yang tadi membuat heboh keadaan rumah tampak tenang dengan roti di tangannya. Di kalungnya tertera tulisan SIVIE.

“Namamu Sivie? Nama yang bagus,” kata Lyra kemudian membelai rambut kucing itu.

Ara tampak muak melihatnya. Seharusnya tadi ia sudah menguliti kucing yang melukai adiknya jika ia tidak dicegah Lyra. Ia kemudian melihat tangga yang ada di belakangnya. Ia berlari menaiki tangga. Apa pun yang ada di atas adalah jawaban dari segala keanehan rumah ini pikirnya.

Sesampainya di atas pemandangan yang dilihat Ara adalah koridor yang memenjang dan berujung di sebuah jendela besar. Di sisi koridor itu terdapat tiga pasang pintu yang saling berhadapan. Seperti suasana sebuah asrama atau penginapan yang ada di desanya.

Ara berbalik memastikan apakah adiknya tidak mengikuti. Namun sepertinya adiknya sibuk dengan peliharaan barunya. Ara memasukkan pisaunya ke dalam saku celananya lagi. Ia berjalan menuju jendela besar yang berada di ujung koridor. Walaupun ia tahu ia akan melihat pemandangan luar rumah, namun rasanya ada yang janggal dengan jendela yang tertutup tirai itu. Namun dugaan Ara salah. Ia terkejut begitu melihat pemandangan di balik jendela. Ia bukannya melihat pemandangan halaman rumah. Melainkan melihat pemandangan dasar laut.

Ara kemudian membuka pintu-pintu yang ada di balik koridor. Namun yang ia dapati bukanlah sebuah ruangan, melainkan pemandangan yang berbeda-beda tiap pintunya. Ada yang berupa padang pasir, padang rumput, kota megah, atau bahkan hanya wilayah yang hanya gelap gulita.

“Ini bukan aneh lagi. Rumah ini berbahaya sepertinya,” kata Ara. Pertanyaannya tentang rumah ini bukannya terjawab melainkan pertanyaannya semakin banyak.

“Sebenarnya rumah apa ini?”
….

Kasta Hati

Siang yang begitu menyengat. Jika dewa matahari memang ada, maka mungkin dia sedang tertawa-tawa dan berbahagia hari ini. Tidak terlalu banyak orang-orang yang memanfaatkan trotoar untuk berjalan. Tapi beda halnya dengan badan jalan kota Bandung yang padat dengan kendaraan bermotor. Tepat disebelah telpon umum, pengguna trotoar yang sedari tadi setia berdiri untuk kesekian kalinya mengamati jam tangannya.

Gadis itu sesekali menatap langit yang tak berawan. Tak ada awan yang menghalang sinar matahari. Ia juga menyeka keringatnya dengan sapu tangan miliknya. Di tangan kanannya tampak minuman dalam plastic, sepertinya es teh.

Sudah dua jam ia menunggu di sebelah telpon umum itu, tapi orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Sepertinya gadis itu sudah tak sabar menunggu. Ia merogoh saku celanya. Barang kali ada uang koin yang bisa ia gunakan untuk menelpon. Tapi ia tak juga mendapatkannya.

“Cari koin Mbak?” tanya seorang laki-laki padanya.

Gadis itu berhenti mencari uang koin di sakunya. Pandangannya beralih menatap sosok yang mengajaknya berbicaranya. Tampang gadis itu menjadi sangat kusut. Ia lalu mencubit lengan cowok itu.

“Aww,,!” teriak cowok itu.

“Udah nunggu dua jam. Dasar keset, hobinya ngaret,” kata gadis itu lalu menyeruput es teh yang dari tadi ia pegang.

Cowok itu melihat keringat yang mengalir di kening si gadis. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya lalu mengelap keringat di kening sang gadis.

“Tuh keringat bau. Jadi kotor kan sapu tanganku. Bawa pulang nih sekalian dicuciin,” kata sang cowok sambil menyerahkan sapu tangannya. Sang gadis hanya tersipu malu.

“Lagian yang mau pinjam sapu tanganmu siapa? Aku juga punya,” kata sang Gadis tapi tetap mengambil sapu tangan yang diberikan kepadanya.

“Siapa suruh gak bawa HP,” kata sang cowok.

“Tapi kan..,” belum selesai sang gadis menjawab, sang cowok menariknya menuju pusat perbelanjaan.

“Masuk aja ke dalam. Di sini panas.” Sang gadis hanya menurut dengan raut wajah yang merah padam.

Gadis itu mengamati penampilan sang cowok. Cuek seperti biasa, batinnya. Hanya kaos bergambar kartun the Simpson dan celana jins. Dari kening sang cowok mengalir keringat. Sepertinya ia telah berlari-lari menuju tempat janjian mereka bertemu.

“Ri, kita mau kemana?” Tanya sang cowok kepada sang gadis. Tapi pikiran sang gadis tidak berada di tempatnya.

“Ri! Riana! Uhh,, Cicak!!” teriak sang cowok. Gadis yang dipanggil pun akhirnya sadar.

“Apa?” tanya Riana dengan tampang tololnya yang khas.

Sang cowok mengusap-usap rambut Riana. Adegan ini cukup menarik perhatian orang-orang yang lewat di dalam pusat perbelanjaan.

“Kamu tuh ya, dipanggil Riana gak nyadar-nyadar giliran dipanggil Cicak baru nyadar. Emang cocoknya namamu itu Cicak,” kata sang cowok. Riana menepis tangan cowok yang mengusap kepalanya.

“Apaan sih? Kamu juga lebih cocok dipanggil keset dari pada Ares,” kata Riana disusul suara perutnya yang bergema.

Suasana sesaat hening setelah suara perut Riana berbunyi dengan cukup keras. Orang-orang yang lewat juga berhenti sejenak. Seakan pada saat itu waktu berhenti. Riana mentap Ares dengan wajah merah padam karena menahan malu. Ares menatap wajah Riana dengan wajah merah padam menahan tawa.
….
Di restoran Jepang inilah akhirnya Ares dan Riana sekarang. Restoran Jepang yang di desain cukup sederhana. Tidak begitu mewah, namun restoran ini tetap saja ramai pengunjung. Ares dan Riana memesan makanan kepada salah seorang waiter di restoran itu. Setelah waiter berseragam merah itu beranjak, tawa Ares pun terlepas.

Meja mereka bergetar disebabkan tawa Ares. Jelas saja bergetar, Ares tertawa sambil menggoyang-goyangkan mejanya. Riana hanya bertopang dagu dan menatap ke arah luar restoran. Ia merasa bodoh telah mempermalukan dirinya di depan banyak orang.

“Udah ketawanya?” kata Riana sambil membenarkan posisi duduknya. Pandangannya kini menatap Ares. Sosok yang sederhana tapi cukup menarik. Teman sejak kecil yang kini tak sekecil dulu, tak lagi beringus, dan tak lagi dekil.

“Ya, udah,” kata Ares sambil mengatur napasnya karena terlalu banyak tertawa.

“Tapi, hahahahaha. Masa ada bunyi perut sekeras itu. Hahaha,” tawa Ares kembali menjadi keras. Tangan Riana yang digunakan untuk menopang dagunya kini beralih digunakan untuk menutu wajahnya.

Ares menyadari Riana sangat malu dengan kejadian tadi. Ia melihat tampang Riana yang merah padam. Cukup manis pikirnya. Ia pun berhenti tertawa.

“Saat berangkat tadi aku kira aku sudah terlambat. Akhirnya aku tidak makan di rumah. Tapi ternyata kau belum datang. Terpikir untuk mencari makanan untuk mengganjal perut tapi aku takutnya kamu datang dan menungguku lama,” kata Riana sambil menatap ke luar jendela.

Suasana pun menjadi hening. Ares menatap teman yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya. Ia merasa bersalah membiarkan Riana menunggu. Andai saja tak ada yang menghalanginya di tempat les musiknya tadi, ia akan tiba di tempat janjian tepat waktu.

Pelayan akhirnya datang. Ia menaruh satu gelas berisi orange juice dan satu gelas berisi jus melon ke atas meja. Kemudian pelayan itu menaruh dua pasang sumpit dan dua mangkok mie ramen. Setelah memberikan semua pesanan, pelayan itu pun pergi.

“Udah ah nggak usah ngambek begitu. Lagian makanannya udah datang. Aku yang traktir deh,” kata Ares membujuk temannya ini.

Riana akhirnya berbalik dan menatap Ares. “Benernih?” tanya Riana. Ares hanya mengangguk dan mulai menyumpit mie ramen miliknya. Riana akhirnya memilih untuk memulai makan.

“Gimana lesnya?” tanya Riana. Ares berhenti menyuap ramennya. Pikirannya melayang saat ia berada di tempat lesnya. Bersama Tatan seorang gadis yang selalu menjadi bahan pembicaraannya dengan Riana, memintanya untuk mengaransemen lagu when you wish upon a star. Riana juga berhenti menyuap dan beralih menatap Ares menunggu jawaban darinya.

“Ada masalah?” tanya Riana. Ares hanya menggeleng lalu wajahnya tampak tersipu. Riana yang melihat gelagatnya mulai menyadari apa yang akan ia ceritakan.

“Let me guess pasti tadi kamu lagi PDKT sama Tatan sampe ngelupain aku yang berjemur matahari,” kata Riana lalu menyeruput orange juice. Ares hanya menatap Riana dan memilih untuk tidak menjawab. Ia melanjutkan memakan mie ramennya.

Riana tidak memedulikan respon Ares. Perutnya terlalu lapar untuk menanggapi respon Ares yang dingin. Akhirnya ia kembali asyik dengan mie ramennya.
….
Ares mengantar Riana pulang. Setelah makan siang di restoran jepang, mereka sudah lama diam. Dalam mobil avanza selama perjalanan tak ada suara. Entah apa yang harus dibicarakan. Apakah harus dengan sosok yang mereka kagumi? Tapi itu akan melukai perasaan keduanya.

“Eh,” kata Riana dan Ares barengan. Mereka saling menatap kemudian tertawa bersama. Suasana sunyi itu pun hilang.

Di kawasan rumah mode setiabudi, jalanan lumayan macet. Apalagi saat ini merupakan libur panjang tahun baru. Banyak kendaraan bermotor dari Jakarta berkunjung ke Bandung dan memadati kawasan kota mode ini.

“Em,, aku putar radio ya. Bosen nih gak nyampe-nyampe,” kata Riana. Ares hanya mengangguk menanggapi Riana.

Suasana di mobil pun tak lagi sepi. Sudah ada suara radio, suara Ares, dan suara Riana. Mereka berbicara mengenai lagu. Bukan sosok yang mereka kagumi masing-masing. Perbicaraan mereka terhenti saat ada bubble pecah di depan kaca mobil Ares.

“Kayaknya bakal lama macetnya. Mau main bubble di taman?” kata Ares. Pandangan Riana tertuju pada jejeran penjual bubble atau balon busa. Beberapa penjual mencoba menarik perhatian pembeli dengan cara membuat gelembung yang banyak dan besar.

“Gak ah. Lagian di sana ada fotografer dan model-modelnya,” tunjuk Riana kepada seorang pria keriting yang mengarahkan beberapa orang untuk bergaya. Taman di kawasan setiabudi ini memang serbaguna.

Ares mengangguk. Sudah hampir 15 menit mereka terjebak macet. Kali ini mobil mereka tak lagi di depan taman. Mobil mereka tepat di depan rumah mode. Tampak jelas mobil-mobil berbagai merek berplat B berjejer rapih di halaman.

“Lagu yang bagus buat para penggemar film Hannah Montana. If we were a movie akan kami putarkan khususnya untuk Siska di Sarijadi. Salam buat sahabatnya tercinta. Ok lagsung saja kita putar lagunya. Check it out,” suara penyiar radio itu terdengar bersahabat. Memang kebanyakan suara penyiar radio terdengar bersahabat. Jika suaranya nyaring, atau terdengar kasar, hal ini dapat menyebabkan para pendengar beralih ke stasiun radio lain.

Yeah, yeah, when you call me, I can hear it in your voice. Oh sure! wanna see me and tell me all about her. La la, I'll be acting through my tears. Guess you'll never know that I should win an Oscar for the scene I'm in.
If we were a movie you'd be the right guy and I’d be the best friend that you fall in love with. In the end we'd be laughing watching the sunset, fade to black, show the names, play the happy song

Suara Miley Cyrus terdengar cukup jelas di telinga mereka berdua. Mereka terdiam kembali, seakan menikmati lagu tersebut. Seperti ada yang merasuk langsung ke hati mereka masing-masing setelah mendengar lagu itu.

Suasana lebih hening dari sebelumnya, bahkan saat suara Miley sudah diganti dengan suara penyiar. Mereka masih saling diam bahkan saat mereka telah keluar dari kemacetan.

“if we were a movie,” gumam Riana lirih. Ares sedikit terkejut mendengar ucapan Riana. Beberapa saat Ares berpikir bahwa

Riana memikirkan hal yang sama. Namun, mengingat cerita Riana ia tersedar akan beberapa hal. AKhirnya Ares memutuskan hanya mengusap rambut Riana.

“Santai aja, dia di Jogja akan baik-baik saja. Aku yakin, kalian berdua akan berakhir seperti movie,” kata Ares dengan suara sedikit tercekat, seperti menelan apel bulat-bulat saja.

Riana menatap sosok sahabatnya. Entah seperti apa wajahnya sekarang. IA begitu malu dan juga marah. Banyk hal yang sahabatnya tak ketahui tentangnya.

“Ngomong-ngomong soal movie, besok nonton yuk,” tawar Ares pada Riana. Riana mengangguk senang.

Mereka akhirnya terbebas dari macet. Suasana riang gembira tergambar dari mereka berdua. Terkadang mereka tertawa, terkadang juga bernyanyi sambil berteriak mengikuti lagu yang terdengar lewat radio.

Akhirnya mereka tiba di depan lorong rumah Riana. Jalanan terlalu kecil untuk mobil. Mobil Ares pun mulai menepi. Tawa mereka terhenti saat mobil berhenti.

“Besok aku telpon deh. Apa perlu aku jemput?” tanya Ares pada Riana.

Riana hanya menggeleng. Dia menatap ruko di seberang jalan. Tampak seorang gadis sedang tertawa bersama teman-temannya.

“Tuh Tatan dah nungguin kamu di tempat nongkrong,” ia menunjuk sosok gadis yang menjadi perhatiannya. Ares mengikuti arah jari Riana yang menunjuk.

“Kamu ditanya apa jawabnya apa. Yakin gak mau dijemput?” tanya Ares meyakinkan Riana.

“Yakin. Mending kamu ngajak Tatan sekalian Res. Seru deh kayaknya,”jawab Riana. Ares menunduk, kemudian pandangannya beralih kepada sosok gadis yang sedari tadi menjadi bahan pembicaraan.

“Udah ah aku turun dulu,” kata Riana membuyarkan lamunan Ares. Ares meraih tangan Riana. Riana langsung menatap wajah Ares. Ia tampak kaget.

“Ehm, Cak. Besok ku jemput aja. Sekalian kita berangkat bertiga bareng Tatan ya,” kata Ares lalu melepas genggamannya.

“Kalau kamu maksa,” jawab Riana tersenyum. Ia pun turun dari mobil. Riana masih berdiri sambil menatap mobil hingga berbelok di lorong sebelah.

Pandangannya beralih pada sosok cewek yang berada di seberang jalan. Riana melambai padanya, cewek itu hanya tersenyum sinis. Riana menurunkan tangannya dan berjalan memasuki lorong rumahnya. Tampak Ares keluar dari lorong sebelah. Ares sempat melihat Riana masuk lorong rumahnya. Ares kemudian menyeberang menuju ruko tempat ia dan teman-teman lainnya biasa nongkrong.

Tampak wajah Tatan tersenyum ceria saat melihat Ares datang. Terjadi percekcokan antara Tatan dan Ares tampaknya.
….
Riana memasuki rumahnya. Ia melihati tangan yang telah di pegang Ares sambil tersenyum. Namun ia tersadar akan suatu hal. Hayalannya ia buang jauh-jauh. Toh mungkin ini hanya perasaan sesat yang sesaat.

Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur tercintanya. Rumah tampak sepi. Sepertinya Ibunya sedang arisan, adik-adiknya sekolah, dan ayahnya kerja. Liburan kali ini Riana tak lagi menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan menuju tempat wisata Jawa Barat

Ia meraih handuk dan mengambil wadah sabun miliknya. Sewaktu ia hendak keluar dari kamarnya handphone miliknya berbunyi. Rupanya ada SMS dari seorang cowok yang ia kagumi di Jogja. Ia mengurungkan niatnya untuk mandi. Itu hanya SMS singkat yang hanya menanyai tentang kabar Riana di Bandung. Riana selalu berpikir bahwa ia tidak mungkin mendapatkan orang ia kagumi.

Ia tidak pernah bisa seramah Ares jika berbincang dengannya. Entah mengapa ia merasa nyaman dengan Ares. Ia teringat pesan seorang temannya di Jogja bahwa hubungan berasal dari sebuah kenyamanan. Hal ini membuatnya kembali teringat Ares.

Ponselnya kembali berdering. Ia melihat nama Keset terpampang pada layar ponsel. Ia tersenyum senang lalu mengangkatnya.

“Hai Set. Ada apa kok udah nelpon nih? Kangen ya?” tanya Riana.

“Uhh,, geer. Hmm, aku mau tanya. Boleh gak Cak?”

“Hmm.”

“Aku berencana akan menyatakan cinta pada Tatan tengah malam ini. Bagaimana menurutmu?” kata Ares. Riana terpaku sesaat. Hatinya tergetar, nafasnya sesak ia hanya terdiam.

“Cak?”

“Gak apa. Bagus kok, kemajuan nih anak,” jawab Riana dengan nada tergetar.

“Ri, kamu gak apa?” tanya Ares.

“Gak tenggorokanku lagi gatal aja. Eh, udah dulu ya. Aku mau mandi dulu nih. Kalau gitu rencana besok batal aja gimana?”

“Eh, jangan. Apapun yang terjadi, waktuku untukmu gak bisa diganggu gugat,” kata Ares yang kontan membuat mata Riana berkaca.

“Jangan bicara begitu ah. Entar lama-lama aku jatuh cinta lo. Hahaha, udah ya. Dah!” Riana akhirnya memutuskan hubungan telpon. Ia menahan air mata yang hendak keluar. Air mata bahagia mungkin, pikirnya.
….
Ares melihat ponselnya sambil terduduk di kasur. Ia menunduk dan berpikir. Di lubuk hatinya ia ragu keputusannya tepat. Namun ia harus tetap menjadi teman setia untuk Riana. Ia tak mungkin menyukainya. Namun kata-kata terakhir di telpon membuatnya berdebar. Namun ia tetap merasa tidak mungkin jika Riana akan jatuh cinta padanya.
….
Riana berdiri di depan lorongnya. Ia sudah menunggu Ares selama 15 menit. Tapi mobil Ares tak kunjung lewat. Ia menamati jamnya lagi. Sesekali menatap langit. Hari ini berawan. Sehingga ia merasa cukup sejuk.

Kini ia bisa melihat mobil Ares mulai menghampirinya. Ia tersenyum walau ia merasa hatinya perih. Ia membayangkan kejadian tengah malam tadi. Terlebih yang duduk di sebelah Ares adalah Tatan, bukan dirinya.

Mobil pun menepi di depan Riana. Riana membuka pintu belakang mobil. Ia kemudian duduk dan terkejut melihat kursi depan kosong.

“Ehm, Cicak, kamu pikir aku supir ya. Kenapa duduk di belakang. Maju sini,” kata Ares.

“Lho Set, kamu gak sama Tatan? Perasaan kemarin kamu bilang…”

“Tatan lagi capek. Masih tidur di rumah gara-gara tadi malam,” jawab Ares.

Riana akhirnya pindah dan duduk di sebelah Ares. Ingin sekali ia bertanya mengenai hal tadi malam. Tapi ia takut akan sedih.
Sepanjang perjalan jika ia ditanyai oleh Ares ia hanya menjawab sekenanya. Ares bingung melihat tingkah sahabatnya itu.

“Cak, kamu kenapa sih?” Riana hanya menggeleng. Pandangannya menuju arah luar mobil. Ia melihat anak-anak yang duduk di pinggiran jalan sambil menjajakan beberapa jajanan.

Menyadari sahabatnya merasakan hal yang aneh tentangnya ia mengalihkan pandangannya menuju Ares. Tampak wajah Ares yang kebingungan namun masih mencoba focus menatap jalan.

“Udah ngomong Tatan belum kalau kamu jalan sama aku? Entar dia ngambek lagi,” kata Riana mencoba mencairkan suasana.

“Ehm, kalau sama Tatan sih bisa besok-besok. Kalau sama temanku ini kan jarang-jarang dia bisa ke Bandung,” kata Ares mencoba menutupi kejadian yang terjadi tadi malam.

“Takut aja kalau aku dilabrak sama dia,” kata Riana.

“Toh aku juga sama kayak kamu, Cak. Kamu emangnya udah bilang sama orang yang kamu suka di Jogja kalau jalan sama aku. Entar aku dilabrak lagi,” kata Ares disertai senyum jahil.

Mobil mereka berhenti karena traffic light berwarna merah. Banyak pengamen yang dari tadi berada di pinggiran jalan langsung menuju badan jalan untuk menghibur para pengendara yang merasa jenuh.

“Ada dua hal yang perlu kamu ingat, Set. Pertama, aku tidak menyebutnya dengan kata sayang, suka, atau cinta. Aku hanya sebatas kagum sama dia. Dan, yang kedua dia juga bukan siapa-siapa aku untuk perlu ngelabrak kamu. Lagian hubunganku dan dia hanya sebatas teman untuk menanyakan tugas sekolah,” kata Riana menegaskan pernyataan Ares.

Traffic light pun kini menyala hijau. Mobil mereka perlahan beranjak dari tempatnya. Badan jalan kota mode cukup ramai dipadati kendaraan bermotor saat liburan tahun baru. Hal ini menyebabkan mobil mereka hanya dapat berjalan perlahan.

“Ehm, kalau cinta, Cak. Ada nggak orang yang kamu cinta?” tanya Ares. Riana hanya menggeleng.

“Aku nggak pernah paham soal itu, Set. Udah ah, ganti topik. Mentang-mentang yang baru dapat pacar ngomongnya cinta-cintaan mulu.”

Mereka pun mengganti topik pembicaraan. Suasana dalam mobil mulai menghangat. Berbagai jenis obrolan mereka obrolkan hingga akhirnya mereka tiba di sebuah mall.
….
Film yang mereka tonton bernuansa action. Setelah selesai mereka menonton film itu, mereka berdua memilih untuk makan. Tak hentinya mereka membahas film yang tadi mereka tonton.

“Ares, lo ngapain disini sama Riana?” tanya Tatan yang tiba-tiba berada di belakang Ares.
Riana terkejut melihat kedatangan Tatan. Tatan datang bersama seorang teman prianya. Mereka hanya berdua. Namun Riana tak berani untuk menuduh Tatan macam-macam, toh Riana dan Ares juga pergi hanya berdua.

“Maaf Tan, aku nggak maksud untuk..,” kata Riana kemudian dipotong Ares.

“Sama siapa Tan?” tanya Ares. Yang membuat Riana bingung adalah nada suara Ares yang terdengar menggoda Tatan, bukannya nada suara yang ketus.

“Oh, ini. Ini pacar gue. Kenalin namanya Davin.” Tatan selalu berbahasa elo-gue jika dalam situasi diluar situasi resmi.

Ares kemudian menjabat tangan Davin sambil tersenyum ramah. Terlalu banyak pertanyaan di benak Riana.

“Terus tadi malam kalian. Bukannya kalian. Harusnya kan kalian udah,” kata Riana bingung sambil menunjuk sana-sini tidak karuan.

“Memangnya tadi malam kalian ngapain?” tanya Davin.
Menyadari peristiwa ini menarik perhatian banyak orang. Ares mempersilahkan Tatan dan Davin untuk duduk di meja mereka. Ia tahu ia akan mendapatkan masalah. Terutama masalah persahabatannya dengan Riana.

“Jadi kalian itu sepupuan?” tanya Riana menegaskan apa yang ia dengar.
Melihat raut wajah Riana yang terkejut ditambah atmosfer yang tidak menyenangkan, Tatan dan Davin pun memilih untuk beranjak.

“Cak, maafin aku,” kata Ares.

“Aku nggak paham. Tujuanmu itu sebenarnya apa? Kenapa harus berbohong kalau kamu menyukai Tatan?” tanya Riana dengan suara lebih tenang. Riana mencoba mengatur nafasnya dan emosinya. Ia yakin sahabatnya mempunyai alasannya sendiri.

“Saat kamu menceritakan tentang cowok Jogja yang kamu kagumi itu, kamu bertanya tentang seorang cewek yang aku suka. Dan aku merasa untuk harus mengatakan bahwa orang itu adalah Tatan.”

Riana mengaduk-ngaduk es jeruknya sambil berusaha mencerna makanan yang ia baru kunyah serta mencerna cerita yang ada. Ia memutar otaknya, dan berusaha memahami cerita apa yang sebenarnya terjadi.

“Kamu suka sepupumu sendiri? Tapi dia udah punya pacar, Set,” kata Riana. Ares hanya memandang aneh kepada sahabatnya sendiri.

“Lama-lama gila aku kalau deket-deket kamu, Cak,” Ares kemudian membayar makanan yang mereka pesan. Saat Riana memaksa untuk ikut patungan membayar makanan Ares menolak.
….
Sudah hampir dua minggu Riana di kota kembang ini. Sabtu besok Riana harus kembali menuju Jogja. Ibunya Riana membantu mempersiapkan kepergian anaknya.
Ponsel Riana berdering. Riana mengamati nama Keset terpampang di layar ponselnya. Riana teringat tentang kejadian di rumah makan tempo hari.

“Kok nggak diangkat?” tanya Ibunya Riana.

“Iya Bu. Riana angkat.”

Riana beranjak dari tempatnya menuju kamar pribadinya. Ia mengangkat telpon dari Ares. Riana berdebar, baru kali ini Ares menghubunginya sesaat sebelum keberangkatanya.

“Ada apa. Set?” tanya Riana to the point.

“ Ya ampun, nih Cicak satu bukannya salam dulu kek,”protes Ares.

“Mau curhat ya Set? Besok aja deh pas udah sampe di Jogja. Aku lagi sibuk packing nih,” kata Riana.
Tidak ada tanggapan dari Ares. Terdengar sesekali Ares menghela nafasnya.

“Ada apa, Set?”

“Tentang perasaan kagum yang kamu ceritakan itu. Jika kata itu yang kau gunakan untuk menggambarkan keadaan dimana kamu merasa berdebar pada lawan jenis, sepertinya aku juga merasakannya,” kata Ares.

Riana tampak bingung harus seperti apa menanggapinya. Ia bahkan masih bingung mengenai kejadian di rumah makan.

“Pada Tatan, sepupumu sendiri?” tanya Riana seadaanya.

Terdengar suara tertawa dari seberang telpon. Riana mulai merasa ia salah menanggapinya seperti itu.

“Kamu itu kadang membuatku kesal ya, Cak. Tatan itu sepupu aku, walau pun aku harus punya perasaan aku sebut itu perasaan sayang. Sayang karena ia adalah sepupuku, keluargaku. Mengenai perasaan itu aku sepertinya merasa kamu orangnya, Cak. Kamu orangnya, Riana temanku dari taman kanak-kanak. Teman lama yang menatap aneh saat pertama kali bertemu kembali. Teman lama yang mengingatkanku bagaimana aku bertingkah hingga bagaimana aku beringus dulu. Namanya Riana,” kata Ares.

Riana menganga. Mulutnya betul-betul terbuka. Ia tak perduli dengan lalat yang bertebangan. Mulutnya tetap terbuka, saking bingungnya mendengar ucapan sahabatnya. Ia tidak tahu harus berkata apa.

“Tapi..,” kata Riana kemudian Ares memotongnya.

“Ri. Jika perasaan mempunyai kasta yaitu tak perduli, tertarik, kagum, suka, cinta, lalu sayang. Aku menempatkanmu pada posisi suka. Jika kamu merasakan perasaan kagum pada cowok Jogja itu, aku ingin kau merasakan suka padaku, Ri,” kata Ares.
Riana semakin bingung.

“Aku tahu aku kurang gentle untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Aku tunggu kamu di ruko tongkrongan depan gang rumahmu.
Jika kau tidak datang hingga kau berangkat ke Jogja, aku bersumpah untuk tidak menerima perempuan siapa pun di hatiku.” Akhirnya telpon tertutup.

Riana masih terpaku. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa senang bagaikan perasaannya terbalaskan. Namun ia tidak yakin, ia ragu dengan segala yang ia dengar. Ia tak mau merusak persahabatannya. Namun lubuk hatinya berkata bahwa ia harus menemui sahabatnya.

Riana akhirnya memilih untuk tetap berada di rumah. Mungkin Ares hanya bercanda. Ia menyelesaikan packingnya. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal, terutama oleh-oleh untuk teman-teman yang ada di Jogja. Setelah selesai ia memastikan, ia memasukkan tas kopernya ke dalam kamar tidurnya.

Sudah berlalu dua jam dari waktu Ares menelpon. Riana masih berpikir Ares menunggunya. Namun segera ia membuyarkan lamunannya itu. Ia teringat saat ia harus menunggu Ares dua jam di sebuah mall.

Riana menonton televisi dan bercanda dengan adik-adiknya. Kebiasaan Riana sebelum berangkat kembali ke Jogja adalah bercanda bersama adik-adiknya hingga mereka tertidur. Ia kembali melihat jam, sudah jam 00.30. Warung juga sudah tutup. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Lagi pula ia tak mungkin keluar rumah larut malam. Orang tuannya tidak akan mengijinkannya. Lagi pula besok ia harus berangkat pagi. Ia memilih untuk tidur.
….
Riana terbangun saat jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Ia menyiapkan sarapan dan bekal untuk perjalanannya nanti. Setelah selesai ia memasak, ia kemudian menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Ia sudah berdandan rapih. Jam kini menunjukkan pukul 04.15.

Akhirnya ia memutuskan untuk menuju tempat ia dan Ares janjian. Ia yakin Ares tak berada di tempat itu. Namun yang ia pikirkan meleset. Ares tertidur di emperan toko. Ia terkejut dan berlari menuju Ares yang tengah duduk tertidur sambil bersandar di tembok.

“Ares, bangun,” Riana memukul-mukul pipi Ares. Ini kali pertamanya Riana memegang pipi Ares.
Riana mengamati dengan seksama wajah Ares. Tampan memang, tapi ia tetap sahabatnya. Ia bingung harus bagaimana.

“Ares, bangun Res,” Riana kembali memukul-mukul pelan pipi Ares.

“Ares pingsan. Ia butuh nafas buatan,” kata Ares sambil membuka sedikit matanya.

“Sialan. Udah ah bangun gih. Ngapain tidur di emperan,” kata Riana kemudian ikut duduk di lantai tepat di sebelah Ares. Riana memandang ke arah jalan. Kendaraan yang lewat pun masih jarang.

“Rapih bener, wangi lagi. Kamu cantik deh Cak, eh maksudku Ri,” kata Ares berusaha memuji.

Riana hanya menengok menatap wajah Ares kemudian menatap kembali badan jalan di depan toko.

“Kamu dandan buat nemuin aku ya?” tanya Ares jahil.

“Enak aja, aku siap-siap mau balik ke Jogja tahu,” kata Riana.
Hening sesaat. Suasana di badan jalan mulai ramai. Riana melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 04.30.

“Kamu di sini dari saat kamu nelpon aku?” tanya Riana. Kali ini badannya menghadap ke arah Ares. Ares hanya mengangguk.

“Kenapa?” tanya Riana. Ares kemudian menatap lekat mata Riana. Riana mencoba mengalihkan pandangan ke badan jalan.

“Perlu aku jawab? Bukannya kamu sudah tahu,” jawab Ares. Riana berpaling lagi, ia tak kuat untuk melihat mata Ares.

“Ini hanya ada dalam sinetron Res. Ini nggak nyata. Nggak ada perasaan sampai harus seperti ini. Termasuk kamu. Kumohon jangan bercanda. Aku sudah muak dengan candaanmu yang selalu melibatkan perasaan. Kau tahu, terkadang aku merasa melayang. Tapi kemudian aku sadar. Kita hanya teman lama yang kemudian bertemu lagi,” kata Riana tapi wajahnya masih tetap memandang badan jalan.

“Kau mau tahu sesuatu, Ri?” Riana mulai memandang sosok yang berada di dekatnya. Ia berusaha menghilangkan rasa takut saat menatap mata Ares.

“Lututku bahkan bergetar. Jantungku pun berdebar lebih cepat saat bercanda seperti itu. Aku selalu berpikir hanya dengan cara seperti ini perasaanku akan tersampaikan, namun aku sadar bahwa kau akan tetap menganggapnya sebagai candaan,” kata Ares membalas tatapan Riana.

Ares menggenggam tangan Riana saat ada perasaan ragu yang terpancar dari mata Riana. Riana merasakan tangan Ares bergetar saat menyentuhnya. Ia merasakan panas yang bergejolak dari tangannya. Ia menyadari tangan Ares dingin, sangat dingin.
Riana menggenggam erat tangan Ares. Ia cemas, Riana mendekati Ares. Ia memegang pipinya, ia merasakan wajah Ares yang panas. Pipinya tak sepanas ini saat tadi ia menyentuhnya.

“Kamu demam, Res. Aku mohon jangan bercanda berlebihan Res. Kamu tak perlu berkorban nyawa untuk ini. Aku panggil Tatan ya. Aku akan mendatangi rumahnya atau kalau perlu aku memanggil orang yang ada di rumahmu,” Ares menahan Riana yang akan pergi.

“Kapan kamu membuka hatimu Ri. Aku tidak sedang bercanda. Tidak ada kamera tersembunyi disini,” kata Ares.

Riana duduk kembali di sisi Ares. Ia melepas jaketnya dan mengenakannya pada bahu Ares. Ia juga melilitkan syalnya pada leher Ares. Ares kemudian menghentikan Riana. Ia menggenggam tangan Riana. Ia merasa hangat saat jemari Riana menyentuh tubuhnya. Ia merasa lebih sehat saat ia menggenggam tangan Riana.

Riana mengerti maksud sahabatnya. Ia menggenggam tangan Ares erat. Ia seakan menyumbangkan hangat untuk Ares. Sesaat perkataan apa pun seakan tak perlu dikeluarkan. Mereka menikmati suasana ini.

“Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini dengan keadaan seperti ini,” kata Riana. Ia menatap jamnya yang sudah menunjukkan pukul 05.28. Ia harus berangkat pukul 06.00.

Riana teringat sesuatu. Ia membuka tas kecil yang ia bawa. Di dalam tasnya selalu ada peralatan P3K. Ia mengeluarkan stiker pengompres lalu menempelkannya di kening Ares.

Riana kembali memegang pipi Ares. Suhu tubuhnya masih panas. Ares menikmati rasa cemas dan perhatian Riana. Ares tak pernah merasakannya. Ia hanya menikmatinya. Begitu menikmatinya hingga ia tak sadarkan diri.

Riana panik mendapati tubuh sahabatnya lemas. Ia menyandarkan kepala Ares di bahunya. Ia mencari kontak Tatan di ponsel milik Ares. Ia menghubungi Tatan. Riana terus membelai rambut Ares. Ia berharap Ares tidak apa-apa.
….
Ares kini sudah tersadar dari pingsannya. Ia sudah tak mendapati Riana di sampingnya. Ia mengamati ruangan tampatnya berada. Tangan kirinya sudah di tusuk infus. Akhirnya ia tersadar ia sedang berada di rumah sakit.

Ares melihat ke arah jam dinding di atas pintu kamar. Jarum pendek berada di antara angka 8 dan 9 dan jarum panjang berada di angka 4. Riana pasti sudah kembali ke Jogja pikirnya. Ia melihat jaket dan syal milik Riana berada di atas meja disebelah kasurnya. Ia meraih syal milik Riana itu. Ia meratapinya seperti ada aura Riana yang tertinggal pada syalnya.

Pintu kamar rumah sakit terbuka. Ares terkejut melihat Riana datang. Riana tersenyum kemudian menaruh bungkusan di atas meja. Ia menarik kursi dan duduk di dekat Ares. Ia memegangi kening Ares, memastikan suhu tubuh Ares menurun kemudian ia baru duduk di kursi.

“Kamu kenapa, Set? Kayak baru lihat setan aja,” tanya Riana. Kemudian membuka bungkusan yang tadi ia bawa.

“Kamu nggak pulang?” tanya Ares.

“Nggak tanpa itu,” Riana menunjuk syal yang dipegang Ares. Riana mengaduk bubur ayam yang ia bawa.

“Orang rumahmu pada di luar kota kata Tatan. Tadi aku kesini sama Tatan dan Davin. Tapi mereka lagi ada acara berdua. Aku nggak tega lihat kamu harus sendiri disini, toh aku masih bisa pulang besok. Awal semester dua kan baru mulai besok senin. Lagi pula aku sering bolos dua tiga hari di awal semester,” kata Riana menjawab pertanyaan yang terpancar dari wajah Ares.

Riana menyuapi Ares dengan bubur ayam yang tadi dia bawa. Menyadari Ares yang merasakan panas di mulutnya akibat bubur ayam, Riana kemudian meniup bubur ayam yang berada di sendok, kemudian menyuapi sahabatnya lagi.

“Bisa makan sendiri?” tanya Riana. Ares menggeleng lalu tersenyum. Kemudian Riana menyuapinya lagi.

“Lagi sarapan ya? Diperiksa dulu ya,” kata perawat yang tiba-tiba masuk. Ares dan Riana tersenyum menyambut perawat yang datang.
“Panasnya sudah turun. Sekarang sudah 38oC. Berarti masih harus tetap dirawat di sini. Pacarnya juga bakal perlu kursus perawat nih,” canda perawat itu kemudian disusul tawa Ares dan Riana.

Mereka kemudian tersenyum saat perawat beranjak keluar dari kamar. Mereka hanya bertatapan seperti membahas mengenai ucapan perawat tadi.

“Nggak usah lihat-lihat begitu deh. Buburnya dihabisin dulu,” kata Riana enggan menjawab pertanyaan dari mata Ares. Ketika Ares menggeleng Riana kemudian menyodorkannya air putih.


Riana menyuruh Ares berbaring, ia kemudian membenarkan selimut. Ia membereskan meja dan bubur Ares.

“Betulan nih, nggak mau dihabisin?” tanya Riana. Ares hanya mengangguk.

Riana kemudian mulai menyantap bubur ayam sisa Ares. Ares terkejut melihat Riana memakan bekasnya.

“Ri, ngapain?” tanya Ares.

“Beli sepatu. Kamu itu aneh ya, jelas lagi makan begini kok.”

“Bukan begitu, tapi itu sisa aku.”

Riana tersenyum dan berkata, “Kan sayang kalau dibuang. Lagian biar aku sekalian bisa merasakan sakitmu. Bukannya pasangan harus saling merasakan apa yang salah satu dari mereka rasakan.”

“Maksudmu?”

Riana tersenyum ia menyelesaikan makannya. Ia membereskan sisa makannya dan meminum air mineral yang tadi ia beli.

“Cicak, jawab dong,” kata Ares.

“Memangnya apa yang perlu aku jawab?”

“Maksud perkataanmu mengenai pasangan.”

“Menurutmu?”

Ares hanya mengangkat bahunya mengibaratkan ia masih belum paham. Tatapannya pun mengibaratkan ia sedang menunggu jawaban dari Riana.

“Aku memutuskan untuk merasakan kasta ke-4. Lebih tepatnya memastikan aku memang merasakan kasta perasaan ke-4, bukan mungkin yang ke-5 padamu,” kata Riana kali ini ia memberanikan diri menatap mata Ares.
Ares terpesona, ia selalu terpesona dengan mata sahabatnya. Ia merasa ia telah mendapatkan apa yang sebenarnya memang sudah menjadi miliknya sejak lama. Ares bangun dari posisinya. Ia kemudian duduk dan menatap Riana.

“Aku juga suka kamu, Keset. Hanya saja ada banyak hal yang selalu membuatku berhenti berpikir mengenai apa yang aku rasa. Tapi aku sadar perasaan bukan tak akan berjalan jika dipikirkan,” kata Riana.

Ares tampak bahagia mendengar ucapan Riana. Entah apa maknanya saat ini mereka pacaran atau tidak. Tapi di hati mereka, mereka saling memiliki.

Perasaan juga memiliki perasaan. Tidak perduli, tertarik, kagum, suka, cinta, lalu sayang. Perbedaan ditiap tingkatannya sangatlah tipis. Sehingga cukup sulit untuk membedekannya. Namun dengarlah kata hati. Karena perasaan tak untuk dipikirkan.
….