Senin, 17 Mei 2010

Bagaimana Hasilnya??

Inilah meja kayu hitam yang akan menemaniku menulis cerita-ceritaku. Meja kayu yang dingin ini tengah menopang notebook hitam dan sebuah note berisikan riset dan observasi selama dua hari kulakukan kepada Ibuku. Dan inilah hasilnya, beberapa kertas yang melewati lubang printer satu persatu dan menghasilkan cetakan yang berbentuk kata yang menyusun kalimat.

Ku raih kertas-kertas yang telah memuat karyaku. Ku baca sekali lagi memastikan tidak ada kalimat yang bermasalah atau kalimat yang ambigu. Setelah yakin aku pun tersenyum puas. Ku tutup notebook dan note ku. Inilah karyaku, wife's sky. Semoga ini berhasil mengantarku menuju pelatihan sekaligus pertandingan yang ku idamkan sejak lama.
....
Rasanya betul-betul gelisah. Duduk tidak nyaman, berdiri pun melelahkan. Kaki bergerak tak tentu arah, rasanya sistem sarafku menuntutku untuk terus bergerak. Detak jantungku pun berdetak cepat.

Sofa paling empuk di dunia yang berada di depan mataku menjadi tak menarik untuk diduduki. Lukisan yang indah terpampang di tembok ruang tamu tak begitu menarik untuk dipandangi. Aku ingin segera menerima surat. Semoga aku menerima surat. Surat yang menyatakan aku dapat mengikuti pelatihan itu. Ya, aku lebih tertarik mengikuti pelatihannya. Menang atau tidak urusan belakang.

"Cal, makan dulu. Ibu udah masak nih,"kata Ibu.

Teringat tentang cerita yang kubuat. Buat apa aku menulis cerita kalau aku sendiri tak paham amanatnya. Akhirnya aku berhenti cemas dan beranjak dari ruang tamu menuju ruang makan.

Ibu menggoreng ayam dan menumis kangkung. Makanan favoritku. Ibuku memang yang terbaik. Aku pun memakan masakan Ibu dengan lahap. Memang enak masakan Ibu.

Selagi aku memakan makananku, bel rumah berbunyi. Berbagai perasaan campur aduk seperti datang bersamaan dengan gelombang suara yang tertangkap telinga. Rasanya bahagia, berdebar, dan harapan. Aku pun berlari menuju pintu untuk membukanya dan melihat siapa yang telah membunyikan bel. Berlari tanpa sebelumnya meminum air putih, atau melap mulutku yang belepotan karena minyak.

Aku membuka pintu rumah dengan mulut yang berminyak karena ayam goreng. Betapa bodohnya aku. Jelas saja orang yang dihadapanku terkejut melihatku. Namun aku lebih terkejut lagi melihatnya. Aku kenal siapa dia. Rambut sedikit panjang berwarna hitam, mata coklat menyejukkan, tubuh tinggi perkasa, dan badan yang tegap.

"Darda? Dari mana tahu rumahku?" tanyaku terkejut.

"Sepertinya setiap kita bicara kau selalu memilih tempat yang tidak pas," katanya sambil melirik sofaku yang sangat empuk itu.

"Masuklah," tawarku. Ia pun masuk dan duduk sesuai suguhanku. Sebelum aku beranjak masuk membersihkan bekas makanan di bibirku dia berkata, "Lip gloss yang bagus." Aku pun malu setengah mati kemudian berlari masuk.

Segera kubersihkan tangan dan mulutku. Tak lupa aku meminum segelas penuh air putih, unsur yang wajib ada saat makan. Setelah yakin benar-benar bersih aku berlari menuju ruang tamu. Darda masih duduk tenang sambil melirik berbagai lukisan yang terpajang di ruang tamu.

"Karya asli anak Indonesia," kataku dan Darda lengsung mengamatiku.

"Bagus," katanya sambil tersenyum.

Aku menghampirinya yang duduk. Aku ikut duduk di sebelahnya ikut mengamati lukisan yang terpajang di dinding.

"Ada apa?" tanyaku. Namun sebenarnya pertanyaan yang betul-betul ingin kutanyakan adalah darimana dia tahu dimana aku tinggal.

"Ini," katanya sambil menyodorkan amplop coklat dari ranselnya.

Betapa terkejutnya aku setelah tahu isi amplop itu. Aku lolos seleksi. Aku masuk dan dapat mengikuti pelatihan. Aku membaca baik-baik suratnya dan perhatianku tertuju pada kalimat bercetak tebal, "Cerita fiksi yang menarik. Deskripsi dan alur serta amanatnya terasa nyata. Tingkatkan gaya menulismu ini."

Jelas saja terasa nyata, ini semua karena aku menulis berdasarkan riset. Bagaimana pekerjaan Ibu rumah tangga. bagaimana harus berekspresi, bagaimana harus mengatur setting dan suasana semua sudah ku lakukan risetnya.

"Saat membaca tulisanmu aku mengira kau akan menulis sebuah cerita mengenai olah raga atau penulisan. Ternyata rasa cinta yang kau ambil tentang ibu rumah tangga, menarik," kata Darda sambil tersenyum padaku.

"Kau membacanya?" tanyaku.

"Tentu, aku assisten juri disini. Aku hanya ingin membaca cerita yang berhasil lolos seleksi. Memang cerita yang menarik. Aku tak tahu kalau riset yang kau lakukan itu untuk ini. Oh ya, kau mengutip kata-kataku," katanya.

"Aku mengutip semua yang ada di pengamatanku. Tapi tak pernah ku kutip dengan jelas milik seseorang. Aku saja tidak mengakuinya sebagai kata-kataku, kalau kau baca dengan seksama," kataku. Kareana aku menulis kalimat "seorang teman pernah berkata" sebelum kalimat yang ku kutip milik Darda.

Iya mengangguk seakan paham maksudku. Iya memberikan kertas lagi untukku. Ada sebuahtema disitu. Untuk pertandingan tahap pertamaku. Dan aku harus melawan empat orang.

"Tiga hari lagi, setelah pelatihan selama dua hari. Sebaiknya kau tetap melakukan risetmu," katanya.

Temanya sangat sederhana,namun rumit untuk dipikirkan. Aku harus menulis dengan gayaku. Sudut pandangku. Harus kutulis semenarik mungkin, tema "sampah" ini.

0 komentar:

Posting Komentar