Kamis, 20 Mei 2010

RIVAL

Tema pertandingan pertama telah ditentukan. Sampai detik ini pun aku belum juga mendapatkan inspirasi harus menulis apa. Biarkan saja dulu, pikirku. Aku masih punya waktu dua hari lagi. Aku mengikuti pelatihan dulu, mungkin saja setelah itu inspirasi akan datang.

Hari ini adalah hari pertama aku mengikuti pelatihan. Acara satu minggu tiga hari ini memaksaku untuk meninggalkan rumah sementara waktu. Hal yang paling akan aku rindukan adalah masakan ibu, dan berjuta inspirasi darinya. Ialah sumber terbesar inspirasiku.

Sebuah gedung yang cukup besar. Ini akan menjadi rumah sekaligus sekolah untukku. Aku berjalan memasuki gedung secara perlahan. Pandanganku kusapu sepanjang perjalan masuk gedung. Ku amati detail design gedung. Tipe futuris minimalis, model gedung jaman kini.
Setelah memasuki gedung, aku menuju resepsionis yang selalu tersenyum ramah. Seperti sudah menjadi hukum dasar seorang resepsionis. Jessica namanya, sudah tertera dalam kartu yang terdapat di dada kirinya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Jessica ramah.

“Ya, saya salah satu peserta pelatihan sekaligus lomba menulis,” kataku kemudian menyodorkan surat yang diantar Darda kemarin sore.

“Sebentar ya,” kata Jessica kemudian mengotak-atik komputer yang berada di sebelahnya.

Pandanganku beralih menatap sekeliling lobi. Ruangan yang sangat luas. Ada beberapa sofa di ujung ruang sana. Mungkin aku bisa duduk dulu. Aku pun member isyarat pada Jessica. Aku menuju ke sofa untuk duduk sambil menunggu Jessica menyelesaikan administrasi.

Sofa yang nyaman. Dari sini, aku dapat melihat beberapa orang menunggu di depan sebuah lift. Namun beberapa orang ada yang memilih untuk menaiki tangga yang berada tepat di sebelah lift. Pandanganku beralih kepada Jessica yang memanggil namaku. Akhirnya aku beranjak dari sofa yang nyaman ini.

“Ini kartu peserta, Anda,” katanya formal.

Aku meraih kartu peserta yang diserahkan Jessica lalu mengalungkannya.

“Cala, panggil saja begitu. Aku merasa sungkan kalau kau panggil aku dengan “Anda”, boleh begitu kan?” kataku. Jessica hanya tersenyum dan mengangguk.

“Baik Cala. Kau tunggu saja di sofa tadi. Nanti akan ada penjelasan dari panitia apa yang perlu kau lakukan. Aku akan memanggilmu,” katanya. Aku mengangguk kemudian menuju sofa yang tadi ku duduki. Aku mengamati ID card milikku, ada foto yang tertera disana dan sebuah nama CALA. Namaku tanpa nama lengkap.

“Kenapa Andrew?!” teriak seorang pria di depan Jessica. Aku terkejut mendengarnya kemudian pandanganku beralih padanya. Beberapa orang juga tertarik mengamati mereka.

“Harusnya Athan! Itu nama tenarku. Harusnya kau tahu seorang seniman harus punya nama tenar! Bagaimana jika penggemarku nanti tahu kehidupan pribadiku gara-gara tahu nama asliku!” teriaknya di depan Jessica. Pemandangan yang tidak mengenakan. Kasihan Jessica, aku harus bertindak. Aku berdiri hendak menghampirinya namun Darda datang mencegahku.

“Biar saya,” katanya lalu tersenyum dan berjalan menuju pusat keributan. Aku pun akhirnya duduk kembali, namun pengamatanku tak lepas dari pusat keributan.

Darda menghampirinya dan berbicara. Tampak beberapa kali tampang seorang yang bernama Andrew itu tampak tidak setuju dan protes pada Darda. Sepertinya Darda berhasil meyakinkannya akhirnya Andrew itu tampak kecewa dan berjalan menuju arahku.

“Kau tahu betapa menyebalkannya dia?” tanya Andrew padaku kemudian duduk tepat di sebelahku.

“Siapa?” tanyaku basa-basi. Aku sebenarnya tahu siapa yang dia maksud.

“Dia, asisten juri yang juga rangkap panitia. Sok eksis banget sih. Emang salah kalau aku pakai nama tenar?” katanya ketus. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Cowok ini aneh, aku baru menemukan seorang cowok yang bawel seperti ini.

Dia terdiam saat aku tersenyum. Ia menarik napas dalam. Kemudian tersenyum padaku. “Namaku Andrew,” katanya sambil menjulurkan tangan. Aku meraih tangannya. “Bukannya Athan?” tanyaku bercanda sambil tersenyum jahil.

“He. Kau tahu? Memangnya tadi aku mencolok ya? Aku menulis artikel,” katanya. Memang cukup jelas bagi seorang penulis artikel. Note kecil ia kalungi dan sebuah kamera.

“Cala, penulis fiksi,” kataku.

“Kau lebih tampak seperti penulis non fiksi,” katanya sambil menunjuk noteku. Aku jadi teringat Darda saat mengira aku seorang wartawan.

“Kau orang kedua yang berpikir seperti itu,” kataku.

Wajah Andrew tak jauh beda dengan namanya. Sepertinya ia keturunan blasteran. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, matanya besar dengan warna bola mata biru menyejukkan. Walau pun dia rebut tentang namanya sepertinya dia bukan seorang yang ribet. Dandanannya simple. Kaos warna hitam, celana jins, sepatu kats, dan rambut yang disisir tak rapih.

Tiba-tiba saja seorang gadis sudah duduk di sebelahku. Aku melihat ID cardnya. Ia juga peserta sepertinya.

“Hai, aku Cala penulis fiksi,” aku menyodorkan tanganku. Ia menjabatnya kemudian berkata, “Aku Stesha penulis fiksi.” Ia tampak sangat anggun. Cardigan berpadu dengan trousers, rambutnya dikucir rapih ditambah dandanan yang sederhana namun memberi kesan elegan. “Andrew, penulis nonfiksi, artikel,” kata Andrew sambil melambai pada Stesha. Stesha hanya tersenyum tipis memberi kesan sedikit arogan. Andrew tampak cuek menanggapinya.

“Andrew?” godaku. Andrew hanya tersenyum malas menanggapiku. Tinggal dua orang peserta lagi.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dua orang peserta lain. Mereka tidak duduk di sofa bersama aku, Stesha, dan Andrew sehingga aku belum mengenal mereka dan apa yang ia tulis.
Jumlah peserta pun sudah lengkap, kami semua kemudian dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Aku mengamati seluruh peserta. Hanya aku dan Stesha yang berjenis kelamin perempuan. KEtiga peserta lainnya merupakan pria.

“Terimakasih atas partisipasinya. Lomba menulis yang tidak ditetapkan genrenya ini sama seperti lomba musik yang tidak ditetapkan aliran musik yang akan dimainkan. Penilaiannya berdasarkan presentase keberhasilan dari segi tulisan. Setiap jenis tulisan mempunyai criteria penilaian berbeda. Yang menjadi juara adalah, apa bila presentase dari criteria penulisan terbanyak dari peserta lain,” jelas salah seorang panitia.

Babak perkenalan pun dimulai. Kami satu persatu diminta untuk memperkenalkan diri kemudian diminta menyebutkan jenis tulisan yang ditulis.

“Nama saya Zio. Penulis puisi,” katanya. Zio adalahh lelaki yang tampan. Jika saya tidak sedang fokus pada pekerjaan yang akan saya geluti ini mungkin aku akan fokus mendekatkan diriku pada Zio. Dia tidak begitu rupawan. Tidak setampan Andrew, namun nuansa misterius terpancar darinya.

“Saya Andrew, penulis artikel,” kata Andrew disusul Stesha,l “Stesha, penulis fiksi.” Seorang di sebelahku ini berdiri, “Saya Thor, penulis scenario,” katanya tersenyum ramah pada semua orang di ruangan itu. “Saya Cala, penulis fiksi,” kataku kemudian duduk kembali. Berarti hanya Andrew yang menulis non fiksi.

“Semoga kita bisa akrab ya, Cala,” kata Thor dengan menyebut namaku Cala. Dia membaca dengan huruf C bukan K.

“Harusnya kau bilang Kala. Bukan cala. Cara mengejanya menjadi Cala,” kataku membenarkan penyebutan namaku. Itulah hal yang paling sensitive dalam hidupku.

Thor tampak cuek dengan dandanannya. Ia hanya menggunakan kaos, celana tiga perempat dan rambut acak.

Saya belum mengenal mereka. Tapi kami akan menjadi rival melewati lima babak pertandingan. Seperti yang sudah ku katakan. Aku tak tertarik menang kalahnya. Aku hanya ingin menambah pengalaman liburan ini.

Setelah babak perkenalan berakhir, kita diperkenalkan kepada orang-orang yang akan melatih kami. Karena unsur intrinsik drama dan cerpen sebagian besar sama maka kelas fiksi cerpen dan drama digabungkan. Agatha, seorang wanita yang umurnya saya taksir berkisar 23an, akan menjadi pelatih kami bertiga. Tubuhnya mungil, wajahnya kecil, tampak manis memang.

Kami kemudian diperkenalkan kepada pengajar lain yang mengajar rival bidang yang berbeda. Alena, ia yang akan mengajar Andrew. Layaknya Andrew, sepertinya Alena juga keturunan blasteran. Hidungnya mancung, wajahnya sedikit membawa aura eropa yang anggun dan elegan. Lalu, Alex yang akan melatih Zio. Sepertinya Alex adalah pelatih yang paling tua. Wajahnya terkesan bijaksana dan tenang. Dibalik ketenangannya, Alex menatap segala sesuatu dengan pandangan yang berbeda. Terkadang seperti ada semburan emosi dari matanya, namun pembawaannya tetap tenang.

“Memandang dan mengobservasi menyenangkan, kan?” kata Alex dan tersenyum padaku. Sepertinya ia juga suka mengamati sepertiku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
Mengetahui Alex menegurku, Zio menatapku dengan tatapan dingin. Sepertinya dia seorang penulis yang dingin. Bukan tipe penulis yang terbawa emosi dalam ceritanya. Pembawaannya juga tenang seperti Alex, namun sepertinya dia tidak peka. Walau pun tampan namun nuansa arogan dan dingin sangat terasa dari jarak dua meter, tepat tempatku duduk saat ini. Sepasang guru-murid yang berbeda karakter sepertinya.

Zio mengalihkan pandangannya dariku dan memilih untuk menulis di buku agenda hitamnya. Berani taruhan, pasti banyak puisi di dalam sana.

“Kita akan bersama ehm, Asia. Bagaimana kalau aku memanggilmu Asia. Aku bingung kalau harus memanggilmu Cala atau Kala. Kau keberatan?” tanya Thor padaku. Aku menatapnya. Pandangannya tertuju pada surat yang ku pegang. Tertera jelas nama lengkapku.

“Terserahlah dari pada kau salah mengeja namaku, Thor.” Asia, bagus juga. Sederhana. Seperti nama benua yang terluas.

“Okey As, aku akan sangat menghargai bantuan dan kerja sama darimu. Kita teman?” tanyanya menungguku menyambut tangannya. Baiklah, toh aku hanya mengejar pelatihannya saja. Anggap saja teman seperguruan. Aku menyambut tangannya, “kita teman,” kataku.
Stesha sibuk dengan laptop yang ia bawa dari tadi. Sesekali pandangannya melihat ke arah panitia yang berbicara. Namun jika mereka hanya sekedar basa-basi pandangannya kembali ke arah laptop.

Saat aku menatap Andrew, ia lagi sibuk mengotak-atik kameranya. Ia kemudian mengarahkan kamera ke arahku. AKu terkejut, sepertinya ia juga terkejut saat aku tahu ia memotretku.

“Athan, sebaiknya kau meminta izin kan sebelum mengambil gambarku,” kataku padanya. Sekalian ku ingatkan saja kejadian tadi dengan Jessica saat memaksa dipanggil Athan. Kasihan juga jika tidak ada orang yang memanggilnya begitu. Biar aku sajalah yang memanggilnya, menarik juga nama tenarnya Athan.

“Maaf. Lagian, aku juga nggak jadi motret kamu kok,” katanya tersenyum. Sepertinya ia tidak tersinggung saat aku memanggilnya Athan.

Darda kemudian menghampiri kami dengan membawa kunci. Kunci kamar sepertinya. Setiap peserta diberikan satu kunci.

“Good luck,” begitu katanya saat memberikan kunci padaku. Aku hanya mengangguk. Seperti jodoh saja ya, semua bermula saat ia melempar bola ke arahku. Untuk beberapa saat aku merasakan wajahku sedikit memanas. Imajinasi di saat yang tak tepat, pikirku.

“Silahkan menuju ke kamar masing-masing. Kalian dipersilahkan berbenah hingga waktu makan siang tiba,” kata panitia kemudian ia menyebarkan lembaran kepada para peserta. Jadwal kegiatan rupanya. Terdapat kalimat yang dicetak tebal, digaris bawah, dan bercetak miring berbunyi, “HUKUMNYA WAJIB UNTUK MELAKSANAKAN DAN HADIR PADA KEGIATAN SESUAI DENGAN WAKTU YANG TELAH DITENTUKAN. HUKUMAN AKAN DIBERIKAN KEPADA SETIAP PELANGGARNYA.” Waw, penekanannya berlebihan menurutku. Tapi aku juga termasuk salah satu seorang yang menghargai waktu, sehingga tak ku pikir begitu berat. Kami akhirnya menuju kamar.

Aku mengangkat tas kulit berwarna coklat milikku. Aku membawa dua tas. Salah satunya tas kulit yang kubawa yang berisi pakaian yang akan aku gunakan dan yang lain yaitu ransel yang berisi notebook kesayanganku.

“Biar ku bawakan. Kamar kita kan berdekatan. Ku angkatkan sampai depan kamar, teman,” begitu kata Thor langsung meraih tas yang ku bawa. Lelaki yang baik. Namun aku menolak bantuannya. Ini masih ringan. Kemudian aku menyarankan Thor untuk membantu Stesha. Tas yang dibawa Stesha lebih besar dan lebih banyak. Sepertinya Stesha tergolong wanita pemerhati penampilan.

Akhirnya Thor mengerti dan ia beranjak untuk membantu Stesha. Aku mengangkat lagi tas kulit coklatku. Kamarku cukup jauh juga. Seluruh kamar peserta di lantai dua. Antrian yang cukup banyak di lift, sepertinya tidak akan muat dirambah dirinya dan tas yang ia bawa. Ia melihat Stesha sudah mengantri untuk masuk ke dalam lift. Akan lama, pikirku. Akhirnya aku memilih untuk menaiki tangga, toh cumin di lantai dua.

Berat memang tasku, tapi aku harus tetap membawanya denganku sampai ke kamar. Hitung-hitung olah raga. Saat kakiku baru menaiki anak tangga pertama tiba-tiba Darda meraih tasku. “Biar ku bantu, aku juga ingin ke atas. Biasanya aku juga naik tangga ini,” katanya padaku. Aku mengangguk, dan berkata terima kasih.

“Tolong tidak menghalangi jalan,” kata seseorang di belakang kami. Zio rupanya, kalimat yang diucapkan begitu dingin. Ia merasa kami pengganggu di sini.

“Maaf,” kataku kemudian membiarkannya jalan di depan kami. Jalannya cepat juga. Kamarku yang paling jauh dari arah tangga dan lift, rasanya sangat melelahkan harus berjalan menuju kamar.

“Bagaimana kepalamu? Baik-baik saja?” tanya Darda. Aku mengangguk dan berkata, “selama aku tidak geger otak saja tidak masalah.” Aku mengelus kening yang terkena bola kemarin.
Ia tertawa satire. Aku mengamatinya lagi, bahunya tetap tegap seperti kemarin. Polo shirtnya belum bisa menutupi otot-otot yang menonjol di bahunya. Ia memang seperti olah ragawan. Walau begitu ia tidak terlalu besar seperti ade rai. Proporsional lah menurutku.

“Kau kamar nomor berapa?” tanyanya saat kami berhasil menginjak anak tangga terakhir. Aku hanya memperlihatkan kunci kamarku padanya.

“Kamarnya di ujung. Untung kau dapat kamar ini. Pemandangannya indah,” katanya. Aku hanya tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Lalu kami berhenti di ujung koridor. Pintu ini bernomor sama dengan yang tertera di kunci. Aku membuka pintu kamar. Darda menaruh tas di depan pintu kamar.

“Biar aku bawa sendiri ke dalam,” kataku saat pintu terbuka dan ia hendak mengangkat tasku lagi. Ia mengangguk kemudian beranjak. Aku mengamatinya hingga ia berbelok menaiki tangga. Kemudian aku masuk ke dalam kamar.

Kamar yang cukup luas namun tak dapat dikategorikan luas. Cukup untuk dua orang sebenarnya. Kasur ukuran medium size mengarah ke arah tv ukuran 14 inci. Jendela yang menghadap ke kamar menghubungkanku dengan pemandangan kota. Memang benar pemandangannya bagus di sini. KAmar di sebelah sepertinya terhalang oleh gedung yang menjulang tinggi. Aku menatap kearah jendela dan mencoba melihat atap gedung sebelah. Sepertinya gedung tingkat lima. Ada kamar mandi mini di kamar ini. Tetap lebih bagus dari kamarku.

Aku sudah tak sabar untuk mengikuti pelatihan. Aku menaruh baju-baju ke dalam lemari pakaian yang di sediakan. Setelah pakaian tertata rapih aku langsung keluar dari kamar. Kamar bukan tempat favoritku.
….
Saat aku hendak berjalan memutari gedung aku melihat Andrew sedang duduk di lobi dan sibuk bermain dengan kameranya. Ia kemudian memotret orang-orang yang keluar-masuk gedung. Aku menuju ke arahnya dan duduk tepat di sebelahnya. Sepertinya ia tak sadar kedatanganku. Kembali ia mengotak-atik kameranya.

“Dapat gambar yang bagus, Athan?” tanyaku padanya. Ia terkejut mengetahui keberadaanku.

“Ya, dengan begini aku dapat mengetahui ekspresi orang-orang,” katanya padaku.
Aku belum paham. Aku membenarkan posisi duduk dan bersiap mendengarkan lanjutan apa yang akan ia katakan.

“Kau bisa saja menyembunyikan perasaan dari orang lain. Namun kamera sepertinya dapat menangkap ekspresi yang disembunyikan. Ini membantuku membuat hipotesa saat menulis artikel,” begitu katanya kemudian ia menunjukkan gambar Jessica yang ia telah potret sebelumnya. Jessica tersenyum seperti biasa. Namun jika kita mengamati dengan seksama matanya yang bulat itu tampak sedikit menyipit, bukan menyipit karena tersenyum tapi karena lelah. Beberapa bulir keringat yang samar sedikit tampak pada gambar yang diambil Andrew.

“Ia lelah tapi menyembunyikannya. Tetap berusaha ramah. Aku merasa bersalah karena membentaknya tadi. Aku baru saja minta maaf sebelum kau datang ke sini,” katanya. Aku kini paham maksudnya.

“Tapi yang ada di gambar hanya hipotesa. Belum cukup kuat jika dijadikan sumber pembuatan artikel,” tambahnya. Aku paham maksudnya. Kita tidak dapat memvonis suatu isu yang diangkat hanya dari sumber ekspresi yang disembunyikan. Hanya membantu membangun dugaan dan hipotesa untuk riset tahap selanjutnya. MEnarik juga, pikirku. Mungkin aku juga bisa mempelajari ekspresi yang disembunyikan untuk membangun karekter pada ceritaku.

“Kau sendiri kenapa selalu membawa note?” tanyanya.

“Inspirasi datang di tempat yang tidak kita duga. Aku hanya ingin segera merekam inspirasi yang datang sebelum menguap lagi. Lagi pula aku menulis cerita berdasarkan riset dan observasi di lapangan sehingga cerita yang di buat mudah diterima dan masuk akal nantinya,” kataku. Ia mengangguk dan paham maksudku. Ternyata Andrew adalah orang yang ramah. Jauh berbeda dengan sosok yang ku lihat tadi pagi.

“Menurutmu bagaimana tema pertandingan kali ini? Sudah kau siapkan?” tanya Andrew. Akhirnya ada yang memaksaku untuk mengingat pertandingan. Besok adalah hari terakhir aku menulis, tapi aku belum puny aide untuk membuat riset.

Aku menggeleng. “Temanya rumit, aku belum ada ide,” kataku pada Andrew. Ia mengangguk paham. Untuk penulis nonfiksi satu-satunya mungkin akan gampang menulis tentang sampah. Toh, masalah sampah di Indonesia juga cukup parah. Apa pun yang akan ia tulis tidak akan ada yang menyamainya karena ia adalah penulis non fiksi satu-satunya di pertandingan ini.

Thor menuju ke arah kami berdua. Ia duduk tepat di sebelahku sehingga aku diapit oleh dua orang cowok ini. Aku memandang ke arah mereka berdua. Kemudian menulis ucapan Andrew ke noteku. Ucapan tentang ekspresi orang yang disembunyikan.

“Hai Asia, Hai Andrew,” sapa Thor. Aku tersenyum saja menanggapinya.

“Kau juga punya nama tenar?” tanya Andrew, dan aku hanya menggeleng menanggapinya.

“Untunglah panitia tadi membawakan tasmu. Aku merasa bersalah kalau saja melihatmu membawa tas itu sendirian menaiki tangga,” kata Thor. “Tak apa,” jawabku.

Pandanganku ku sapukan ke seluruh penjuru ruangan. Di seberang sana tampak Jessica menerima telpon kemudian menjawabnya sambil mengangguk. Untuk apa mengangguk, toh yang berbicara juga tak bisa melihat Jessica. Jessica kemudian menutup telponnya dan menuju ke arah kami.

“Sudah waktunya makan,” katanya. Kami mengangguk kemudian menuju ke ruang makan.
Berbeda dengan ruangan lainnya di gedung ini. Ruang makan ini bernuansa klasik, bukan futuris. Tampak lampu gantung yang besar menggantung di tengah ruangan.

Thor dan Andrew langsung mencari tempat duduk. Beda halnya denganku, pandanganku menuju ke segala ruangan. Mencari sesuatu yang special untuk dijadikan bahan menulis. Aku melihat Zio duduk sendiri. Thor dan Andrew duduk bersama dengan Stesha. Saat aku hendak berjalan menuju arah Zio, aku melihat seorang yang sedang marah-marah kepada pelayan.

“Kau bagaimana sih? Hanya membersihkan yang terlihat saja. Kau bisa tidak lihat di bawah meja ini masih banyak sampah!” kata seorang itu dengan suara keras. Saat aku hendak menghampiri, Darda lagi-lagi sudah mendahului melerai mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk bersama Zio daripada melihat pertengkaran itu.

Sampah tidak terlihat, ya? MEnarik aku mencatatnya ke noteku. KEmudian duduk satu meja dengan Zio.

“Maaf, boleh duduk di sini kan? Meja lain sudah penuh,” kataku. Ia hanya diam tidak menanggapi. Orang yang sangat dingin, pikirku. Terkadang menyebalkan.

Aku beranjak untuk mengambil makanan. Ada banyak makanan enak di sini. Aku hanya mengambil nasi dan Ayam bakar ditambah sayur sup. Kemudian menuju meja minum dan mengambil satu gelas es the. Tidak lupa juga aku mengambil dessertnya langsung. Kini, aku sadari keputusanku yang salah. KEnapa aku harus mengambil semuanya bersamaan. Kan jadi susah.

Aku berjalan perlahan karena takut ada yang tumpah. Musik berdentum lembut di ruangan ini beriringan dengan langkah kaki ku yang perlahan. Zio melihatku namun dia hanya diam dan tidak menolong. Thor dan Andrew juga melihatku mereka berdiri dan hendak menolongku namun sayang kini tidak ada yang perlu ditolong. Kakiku tersandung kabel yang mengarah ke sound system. Untung saja sound systemnya tidak terjatuh, namun sayang es the yang ku pegang di tangan kiri terjatuh. Badan Zio pun terkena es teh yang tumpah.

“Maaf,” kataku panik sambil mengusap kemejanya.

Ia berdiri untuk beberapa saat emosi tergambar di matanya. Matanya terbuka lebar dan kerutan-kerutan muncul di wajahnya. Menyeramkan, pikirku. Ia menarik nafas dalam dan aku menunduk takut karenanya. Ia hanya berkata , “lain kali jangan diulang. Bawalah semuanya satu per satu.” Ia berlalu sepertinya menuju kamarnya untuk ganti baju.

Aku menunduk lemas. Kemudian tetap berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya duduk di kursi tempatku tadi duduk. KEnapa dia bersikap sangat dingin begitu. Aku jadinya sangat merasa bersalah. Nafsu makanku pun menghilang.

Aku hanya makan beberapa suap kemudian berdiri dari kursiku. Saat aku berbalik Thor sudah berdiri di hadapanku.

“Kau harus menghabiskannya. Mau kau makan sendiri atau ku suapi, Asia?” katanya kemudian menuntunku untuk duduk kembali.

“Kau tidak salah. Dia saja yang tidak mau membantumu. Sudah lupakan saja,” kata Thor mencoba menenangkanku. Pandanganku kosong, dan aku masih merasa bersalah.

“Asia,” panggilnya.

“A,,” belum selesai ku berkata apa sendok sudah masuk ke mulutku.

“Jangan hanya karena dia kau harus membuang makanan. Ku kira kau cukup dewasa untuk tahu makanan tidak baik dibuang-buang,” kata Thor lalu menarik sendok dari dalam mulutku. Aku menganggguk paham kemudian memilih untuk menghabiskan makananku.

Setiap suapan yang masuk ke mulutku membuat ingatanku terbang kesana kemari, membentuk imajinasi. Sampah yang tak terlihat, ekspresi yang di sembunyikan, dan masih banyak lagi. Aku dapat inspirasi. Segera ku tulis di noteku kemudian menyelesaikan makanku.

“Dapat ide, As?” tanya Thor dan aku hanya mengangguk. Ia tersenyum ramah.

Setelah ku selesaikan makanku, aku dan Thor berjalan menuju ruang pelatihan. Aku dan dia satu kelas walau tulisan yang kita geluti berbeda. Saat perjalanan menuju kelas aku melihat Andrew. Aku berlari menghampirinya.

“Athan!” teriakku. Ia pun berbalik melihatku.

“Aku ingin membuatmu jadi model ceritaku. Boleh? Aku mengutip beberapa kalimatmu di lobi tadi,” kataku.

Ia mengangguk kemudian berkata, “Boleh saja, asal bukan aku yang jadi sampah.”

“Tidak akan. Selesai pelatihan ku tunggu kau di lobi,” kataku. Ia mengangguk menyetujuinya dan aku pun berjalan menuju kelasku di susul Thor.

Pertandingan pertama telah di mulai, ide ku pun sudah muncul. Bagaimana aku menulisnya nanti, aku belum tahu. Semua tergantung dari wawancaraku dengan Andrew nanti. Apa pun hasilnya, aku tetap tidak begitu perduli.
….

0 komentar:

Posting Komentar