Jumat, 07 Mei 2010

The Portal

Ara turun menghampiri adiknya dengan terburu-buru. Baginya rumah ini terlalu berbahaya untuk adiknya. Apa pun yang berada di balik pintu itu, menurutnya bukanlah hal yang bagus.

Ara cemas tak mendapati adiknya seturunnya dari tangga. Ia mencari adiknya di segala penjuru rumah, tapi ia tak kunjung menemukan adik kembarnya itu. Ia nyaris depresi hingga ia menemukan adiknya berada di kamar dengan kucing yang telah melukai tangan Lyra.

Ara berjalan lunglai. Tampak sedikit kelegaan yang terpancar dari wajahnya. Ia duduk tepat di sebelah adiknya duduk. Ia melihat ke arah luar jendela yang berada tepat di hadapannya. Pemandangan yang tampak dari jendela ialah pemandangan halaman rumah yang sewajarnya. Apa pun yang aneh di rumah ini, hanya lantai dua yang bermasalah pikirnya.

Lyra mengamati keanehan yang terpancar dari raut wajah kakaknya. Menurutnya, kakaknya tak seperti ini sebelum naik ke lantai atas. Ia yakin ada sesuatu di lantai dua yang membuat kakaknya seperti ini.

Kucing yang berada di pangkuan Lyra mengeong-ngeong tak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Terlebih tatapan yang dituju kucing itu kepada Ara tampak sangat tajam.

“Ada apa Sivie?” tanya Lyra sambil mengelus rambut kucing yang berada di pangkuannya.

“Kau memberinya nama?” tanya Ara heran melihat adiknya.

Lyra hanya menggeleng. “Namanya memang seperti itu. Sudah tertera di kalungnya yang berkilau,” kata Lyra.

Ara mengamati kalung itu. Kalung yang bertuliskan S I V I E. Mulanya kalung itu berwarna biru, namun kini berubah menjadi merah. Kalung berbentuk sayap itu mulai mengepak-ngepak. Ara merasa ada yang janggal dengan kalung berwarna biru itu.

Sivie menatap heran ke arah Ara seakan ia tahu apa yang terjadi. Entah ini kabar baik atau buruk untuknya. Namun Sivie hanya menatap Ara sambil mengeong tidak tenang.

“Apa yang terjadi, Ra? Kau sudah menemukan kamar lain di atas?” tanya Lyra.

Ara menggeleng. Ia menatap Sivie. Apa pun yang terjadi di rumah ini, ia yakin kucing itu tahu. Walau pun SIvie hanyalah seekor kucing, ia yakin ia tahu sesuatu karena ia telah tinggal di sini cukup lama sepertinya.

“Sepertinya malam ini aku akan tidur di sini. Lagi pula kita sudah cukup lelah untuk membersihkan lantai atas bersama,”kata Ara. Lyra masih menatap kakaknya. Seperti yang ada di hadapannya bukanlah Ara yang ia kenal. Karena Ara tak kan lelah karena hanya membersihkan rumah.

“Besok kita pulang. Tuan McKennai akan memaafkan kita jika aku berani meminta maaf di depan umum, kan? Akan ku lakukan besok,” kata Ara.

Mendengar hal ini Lyra betul-betul yakin, ada sesuatu yang telah terjadi. Sepertinya sangat tidak mungkin kakaknya melakukan hal yang kakaknya rencanakan. Tapi tetap saja Lyra sangat senang mengetahui kakaknya akan berubah.
….
Tengah malam ini angin berhembus dingin. Ara yang tak kunjung bisa memejamkan mata seakan teringat sesuatu. Angin ini mengingatkan dia tentang suatu perpisahan. Ia tak paham akan kah ia berpisah lagi dengan adiknya atau tidak. Tapi apa pun itu ia akan menjaga adiknya.

Sivie mengejutkan Ara dengan tiba-tiba muncul di sebelah Ara. Kucing itu hanya berputar-putar menarik perhatian Ara. Ara memastikan adiknya tidur dengan pulas. Lyra memang tidur dengan pulas.

Ara kemudian membenarkan duduknya. Ia masih sibuk mengamati Sivie berputar-putar. Ia memangku Sivie lalu membelai rambut kucing itu dari belakang ke depan. Sivie pun mengeong dengan keras. Ara kemudian memastikan kembali adiknya masih tertidur.

“Tenang saja ia tidak akan bangun hingga setengah jam ke depan,” kata Sivie. Ara terbengong mendengar Sivie berbicara.

“Jika dugaanku tepat, seharusnya kau sudah bisa mendengarku berbicara,” kata Sivie yang meyakinkan Ara ini bukanlah mimpi.

“Kau..,, bi.., bicara?” tanya Ara terheran.

“Berarti benar dugaanku. Kau sudah membuka ke tujuh portal.”

“Sivie. Kau bicara?”

“Ya ampun. Aku sudah bisa berbicara cukup lama. Kau pikir aku kucing sungguhan? Aku ini penyihir,” kata SIvie dengan tampang sedikit angkuh.

“Kau bicara?” tanya Ara ingin meyakinkan apa yang ia dengar.

“Ya Tuhan. Kenapa dia susah sekali diajak bicara?” keluh Sivie.

Apa pun yang dibicarakan Sivie, Ara menanggapinya sama. Kejadian ini berulang-ulang cukup lama.

“Ayolah. Nanti pengaruh sihirku akan hilang dan Lyra akan terbangun,” kata Sivie.

Mendengar kata sihir dan Lyra, akhirnya Ara tersadar dari keterkejutannya. Ia menatap adiknya lagi, Lyra masih tertidur sangat pulas.

“Kau apakan Lyra?” tanya Ara ketus.

“Dia hanya kubiarkan tertidur hingga aku bisa meyakinkan diriku tentang dugaanku,” kata Sivie lega karena akhirnya Ara menanggapinya dengan cara berbeda.

“Terserah yang akan kau katakan. Tenang saja, aku dan Lyra akan kembali ke Plutorius besok,” kata Ara.

Sivie berjalan memutari Ara. “Baiklah kau dan Lyra pulang besok, tapi kau harus kembali lagi kesini dengan atau tanpa Lyra,” kata Sivie.

“Kau pikir aku gila. Aku tak akan kembali ke sini.”

“Kau telah membuka ke tujuh portal itu kan?” tanya Sivie dengan tatapan tajam.

Ara berpikir sejenak. Ia mengingat-ngingat pintu yang berada di lantai dua rumah tua ini. Berkali-kali ia hitung jumlah pintu yang berada di lantai dua hanya enam, jika memang yang dimaksud dengan portal ialah pintu yang ada di lantai dua.

“Tapi hanya ada enam pintu di atas,” kata Ara.

“Jika kau tak membuka portal utama, kau bahkan tidak bisa melihat ku,” kata Sivie.

Ara berpikir lagi. Jika LYra juga bisa melihat SIvie, berarti ada satu pintu yang mereka lewati bersama. Tapi Lyra tak pernah naik ke lantai dua. Berarti pintu yang dimaksud berada di lantai satu.

“Kau ingat cicak yang terjatuh dan berbunyi cukup keras kemarin. Ia adalah temanku. Kami bangsa Demedon tak bisa melewati portal utama,” kata Sivie.

Ara mengingat lagi. Berarti betul yang ia dan Lyra dengar. Suara yang keras itu memang berasal dari cicak yang jatuh. Ia juga teringat Sivie yang tak bisa keluar dari rumah ini walau pintu rumah terbuka.

“Pintu itu? Pintu rumah ini?” tanya Ara. Sivie menanggapinya dengan anggukan.

“Tapi tetap saja aku akan pulang besok,” kata Ara.

“Terserah jika kau ingin kejadian dua belas tahun lalu terulang,” kata Sivie.

Ara dalam sekejap teringat kedua orang tuanya dan pesta ulang tahun desa Plutorius. Mungkinkah arti hawa dingin malam ini adalah kejadian malam dua belas tahun lalu akan terulang lagi.

“Maksudmu?”

“Sebelumnya maaf aku belum memperkenalkan diri. Aku Sivie, salah satu warga Demedon. Kerajaan Demedon adalah kerajaan dasar laut yang bisa kau lihat dari balik jendela di lantai dua.” Ara dapat mengingat jendela besar di ujung lantai dua memang menggambarkan pemandangan dasar laut.

“Kami bukanlah bangsa ikan, atau makhluk air. Kami warga Demedon adalah penyihir yang bertugas mengawasi ke tujuh portal yang ada. Namun dua belas tahun terakhir, tugas kami tidak berjalan normal karena Raja kami dibunuh dua belas tahun lalu.” Ara yakin kejadian dua belas tahun lalu merupakan awal dari masalah yang diceritakan Sivie.

“Raja kami dibunuh dan tahta diambil alih oleh orang yang kejam yang mempunyai mutiara hitam. Di setiap portal, memiliki mutiara yang berbeda-beda warna dan fungsi. Kau mungkin pernah membuka pintu yang isinya hanya merupakan ruangan gelap gulita?” tanya Sivie yang ditanggapi dengan anggukan oleh Ara.

Sebenarnya Ara tak begitu perduli, namun jika menyangkut kejadian dua belas tahun yang lalu Ara akan tampak ambisius. Karena ia ingin mengetahui tentang orang tuanya. Di desa Plutorius semua warga selamat, namun hanya ayah dan ibunya yang menghilang.

“Ruangan itu menyimpan mutiara hitam yang berfungsi membekukan makhluk apa saja yang perlu dibekukan. Saat mutiara itu direbut semua warga di tujuh portal membeku. Namun, berkat ksatria vela yang rela menjadi tumbal semua sembuh dari kebekuannya,” kata Sivie.
“Berkorban? Ayah dan Ibuku menghilang. Apa mungkin mereka?” tanya Ara.

Sivie terkejut mendengar pernyataan Ara. Namun Sivie tak dapat member jawaban pasti, ia hanya menggeleng.

“Lalu hubungannya denganku?” tanya Ara.

“Diramalkan akan ada ksatria berikutnya yang akan datang untuk mematahkan kekuatan Raja Dion. Raja yang telah mengambil alih Demedon. Sepertinya Raja Dion sudah mengetahui kedatanganmu. Entah kau orang yang diramalkan atau tidak, tapi sekarang terjadi kegaduhan di Demedon tentang ksatria yang diramalkan. Jika kau kembali ke Plutorius namun tak kembali ke rumah ini, mungkin Raja Dion akan melakukan segala cara untuk memusnahkanmu, walau harus membekukan seluruh desa,” tutur Sivie.

Ara terdiam sejenak. Ia tak mungkin menerima langsung semua cerita yang dijelaskan Sivie. Namun ia takut kejadian dua belas tahun lalu akan terulang kembali. Ia menatap adiknya yang masih pulas tertidur. Mungkin tak hanya nyawanya yang akan terancam, namun nyawa adiknya juga.

“Kembali lah lagi ke sini. Dan kita akan bicarakan langkah selanjutnya. Ku mohon, kau lah harapan kami,” kata Sivie.

Ara menunduk dan berpikir. Mendengar permohonan Sivie, ia seakan percaya ialah ksatria yang diramalkan. Terlebih lagi ia yakin ksatria yang menjadi tumbal sebelumnya adalah ayah dan ibunya.

“Bagaimana dengan ksatria yang menjadi tumbal?” tanya Ara.

“Mereka dibekukan, namun mereka belum mati,” kata Sivie. Ara semakin berambisi. Walau dalah benaknya ia ragu, namun entah mengapa hatinya berkata ia harus melakukannya untuk Lyra, Orang tuanya, Plutorius, dan Demedon yang bahkan ia belum mengerti ceritanya.

“Tidurlah, besok akan menjadi hari yang melelahkan untukmu,” kata Sivie. Ara hanya mengiyakan. Ia kemudian mencoba memejamkan mata.

Terlalu banyak hal yang membuatnya bingung hari ini. Terlalu banyak yang membuatnya lelah hari ini. Apa pun keputusannya besok, ia hanya ingin memejamkan matanya malam ini dan membayangkan bertemu kembali dengan kedua orang tuanya.
....

0 komentar:

Posting Komentar