Senin, 10 Mei 2010

Cerita Pertama

Perkenalkan, nama saya Anastasia Calandra. Saya seorang penulis amatiran yang mempunyai cita-cita menjadi penulis besar. Belakangan ini saya menemukan beberapa brosur yang tersebar di jalan. Isinya mengenai perlombaan dan pelatihan menulis selama satu minggu tiga hari. Tertarik? Tentu saja saya tertarik. Rasanya hal itu merupakan petunjuk bahwa menjadi penulis besar tak lagi berwujud mimpi.

Saya telah mendaftarkan diri dalam acara itu. Namun sayang, untuk mengikuti perlombaan dan pelatihannya saja dibutuhkan seleksi yang ketat. Dan kini, saya berada di atas atap rumah tepat di bawah rasi bintang gubug penceng. Tempat dan suasana seperti inilah yang sangat cocok untuk menulis sebuah cerita.

Kepalaku menengadah menatap langit malam yang terang karena bulan sedang purnama. Sudah lama rasanya tidak berjemur di bawah terangnya bulan purnama. Langit malam yang indah.
Langit yang betul-betul indah. Sepertinya menarik jika aku menulis tentang langit malam yang indah. Terlalu banyak orang yang menulis mengenai awan, birunya langit, cerahnya matahari, atau kemilaunya bintang. Namun langit malam? Rasanya tak ada yang menganggap langit malam yang gelap itu indah. Akhirnya aku menulis di sebuah note kecil mengenai langit malam indah malam ini.

“Cala, ini sudah malam. TIdurlah,” teriak Ibuku dari bawah.

Buyar sudah lamunanku tentang langit malam yang indah ini. Tapi memang ini sudah cukup larut. Besok aku akan berjalan dan mengamati sekeliling. Rasanya sudah lama aku bercita-cita menjadi penulis, namun aku tak pernah mengamati detailnya keadaan sekitar. Mungkin bisa membantu untuk lomba ku kelak.

“Cala!” teriak Ibuku lagi.

“Iya, Bu,” jawabku.

Cala, begitu keluarga dan teman-temanku memanggilku. Cala dengan pengucupan c menjadi k. Betul, terdengar seperti kala atau masa. Aku suka namaku dipanggil seperti itu.

Akhirnya aku memutuskan untuk turun. Di sekitar atap ada lubang kecil yang menghubungkanku langsung menuju kamar tidurku. Aku turun perlahan. Walau pun aku cukup sering naik ke atas atap, namun aku masih saja takut untuk turun.

Setelah sukses menuruni tangga, aku berbaring di atas kasur. Bagaimana besok ku akan menjelajah dunia pengamatan aku tak tahu. Yang ku harap, aku bisa menulis cerita agar aku bisa lolos seleksi untuk pelatihan selama satu minggu tiga hari itu.
….
Hari telah berganti. Sudah cukup banyak buku dan komik yang ku baca untuk mendapatkan inspirasi. Lucu rasanya saat kita membaca komik dan mendapatkan cerita tentang semangat untuk mencapai suatu tujuan, terlebih dengan membawa tekad dan rasa cinta terhadap tujuannya itu. Seperti slam dunk, komik mengenai basket.

Tak hanya dari komik saja aku mampu mendapatkan gambaran mengenai semangat yang disertai rasa cinta terhadap suatu hal. Dalam film, dapat pula ditemui. Contohnya saja dalam film August Rush. Hal ini menjadi topik yang menarik untuk diangkat. Mungkin dengan menulis topik yang seperti ini aku mampu lolos seleksi dan mengikuti pertandingan dan pelatihan menulis yang aku idamkan.

Sebenarnya perlombaan macam apa sih yang aku ikuti ini? Aku juga tak begitu paham. Tak jika sudah menyangkut dengan penulisan aku akan sangat tertarik. Yang aku tahu dari perlombaan ini hanyalah gaya menulis tidak dibatasi. Kita dapat menulis cerita fiksi, naskah drama, artikel, tips, atau puisi. Menarik pikirku, aku akan dapat menemukan banyak gaya menulis dalam pelatihan nanti.

Aku sudah berdandan rapih dan siap untuk melakukan riset. Sebenarnya aku hanya akan menulis cerita fiksi, bukan sebuah artikel berat. Namun tetap saja, aku tak boleh menulis segala sesuatu langsung dari imajinasiku. AKu butuh data yang nyata agar ceritaku nanti terlihat lebih nyata.

Ku mengalungkan note kecil yang menemaniku dari tadi malam. Sempat ku lihat catatanku tentang langit malam yang indah. Akankah aku bisa menulis sebuah cerita menarik dari catatan-catatan yang ada di noteku nanti.

“Ibu, Cala berangkat dulu, ya?” kataku lalu menjabat tangan Ibu cukup lama. Entah mengapa rasanya melihat telapak tangan Ibu yang kasar karena kerja kerasnya selama ini tampak menarik untukku.

Akhirnya aku berangkat menuju sebuah lapangan basket sekitar taman kota. Semoga akan banyak bahan cerita disana.
….
Disinilah aku sekarang. Aku duduk di kursi penonton yang menghadap langsung menuju lapangan basket. Aku tak paham mengenai peraturan dalam permainan bola basket. Namun itu bukan menjadi perhatianku saat ini. Aku hanya ingin menanyakan pendapat mereka tentang basket.

Pertandingan yang berlangsung tampak begitu meriah. Terlihat dari penonton yang terus bersorak sorai saat bola dimasukkan ke dalam keranjang yang berlubang. Pertandingan di lapangan ini bukanlah pertandingan besar. Pertandingan ini hanya untuk bersenang-senang sepertinya. Terkadang mereka tampak bercanda saat bermain di lapangan.

Pengamatanku beralih ke kursi penonton. Tampak beberapa gadis sesekali berteriak-teriak. Ada pula yang memegang handuk kecil di pangkuannya. Pasti pacar pemain basket. Sudahlah aku tak perduli.

Tidak begitu menarik memang, tapi aku bukan berarti harus mengacuhkannya. Ku catat semua yang ku amati di noteku. Tiba-tiba para gadis berteriak keras. Aku pun berhenti menulis dan menjauhkan pandangan dari arah note. Namun pemandangan yang bisa kulihat hanya sebuah benda bulat merah yang mendekat ke arah wajah dengan kecepatan tinggi.

Alhasil, aku akhirnya merasakan menyundul bola basket. Untung di sekolahku hanya ada pelajar menyundul bola sepak. Bola basket ternyata lebih keras dan lebih sakit bila terkena kepala.
“Kau tak apa?” tanya seorang pemain basket padaku.

Tak apa? Jelas aku kenapa-napa. Kepalaku terlalu pusing untuk menjawab. Namun aku tetap menanggapinya dengan anggukan kepala walau dalam hati aku mengomel.

“Ini notemu jatuh,”katanya padaku kemudian menyerahkan note padaku.

“Terima kasih,” kataku padanya saat ku terima noteku.

“Tidak, aku yang minta maaf. Kamu wartawan? Kalau kau butuh data biar aku bantu sebagai balasan karena aku melempar bola ke arahmu. Kalau kau setuju, tunggu aku setelah selesai bermain basket, kalau tidak kau bisa meninggalkanku,” katanya lalu mengambil bola basket yang berada di dekatku kemudian ia kembali masuk ke lapangan.

Boleh juga pikirku. Aku butuh pendapatnya mengenai semangat juang dan rasa cinta terhadap profesi. Seperti yang ku baca di komik-komik semalam. Sepertinya lebih baik ku tunggu dia.
….
Sudah berlalu lima belas menit dari waktu bola mendapat tepat di wajahku. Akhirnya para pemain basket berhenti bermain dan menuju kursi penonton. Beberapa disambut oleh gadis-gadis yang sudah menunggu mereka.

Aku berdiri mencari orang yang tadi berjanji akan membatuku. Akhirnya ku melihat orang itu. Ia sedang minum dari botol minumnya, kemudian mengangkat tasnya menuju ke arahku.

“Kau mau bicara di sini, atau mencari tempat yang nyaman di taman? Di sini cukup panas,” katanya lalu menatap langit yang tak berawan.

“Terserah padamu sajalah,” kataku.

Pemain basket itu akhirnya mengajakku duduk di kursi taman. Cukup teduh karena sinar matahari di halau oleh dedaunan pohon.

“Maaf ya soal yang tadi,” katanya membuka pembicaraan.

“Tak apa,” jawabku sekenanya.

Ia menaruh tasnya di bawah, tepat di samping kursi yang ia duduki. Ia menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang ia bawa.

“Oh ya namaku Darda, kamu?” katanya kemudian menjulurkan tangannya padaku. Pemilihan kata yang kaku pikirku. Seperti anak SD yang hendak mengajak kenalan teman baru di sekolahnya.

“Cala,” jawabku kemudian menyambut tangannya. Tangan yang cukup besar.

“Kamu wartawan?” tanyanya sambil menunjuk ke arah note yang aku bawa.

Aku hanya menggeleng. “Tak hanya wartawan kan yang butuh note. Aku hanya sedang melakukan sediki riset di sini,” jawabku. Ia hanya mengangguk menanggapiku.

“Riset tentang perjuangan dan rasa cinta,” tambahku.

“Cinta? Di lapangan basket?” tanyanya heran. Aku sedikit mengerti apa yang ada di pikirannya.

“Cinta terhadap permainan basket,” tambahku. Ia tampak paham arah pembicaraanku.

“Kau atlet?” tanyaku.

Ia hanya menggeleng lalu mengambil botol minuman di tasnya. Ia menenggak minumnya kemudian menaruh kembali ke dalam tasnya.

“Aku memang cinta terhadap basket, namun bukan berarti aku memilih atlet sebagai profesiku,” jawabnya.

Ow, mungkin memang cerita yang ada di komik-komik itu berlebihan. Atau mungkin, aku salah orang dalam mencari riset.

“Pekerjaanmu sendiri apa?” tanyaku.

“Aku editor majalah olah raga. Dan aku juga mencintai pekerjaanku. Bukankah sebaiknya kita mencintai apa yang kita kerjakan agar terasa menyenangkan. Seperti kau yang mencintai pekerjaanmu saat ini,” katanya. Aku sedikit menyetujui pendapatnya. Akhirnya aku mencatat di noteku.

Jadi dia editor majalah sport. Tidak jauh juga dengan keadaannya sekarang yang berkeringat dan besar. Otot-otot di lengannya tampak sedikit menonjol. Badannya tegap dan juga cukup tinggi. Yah, sedikit tampan.

“Berarti kita tidak terpaku terhadap satu pekerjaan saja?” tanyaku.

“Jelas tidak. Bukankah dunia ini luas. Kita dapat menekuni banyak hal dengan perasaan senang. Jika kita semangat dan senang dalam menjalankan suatu pekerjaan, tampaknya pekerjaan yang baru kita tekuni akan dapat dengan mudah kita kuasai,” katanya.

Mengerjakan banyak pekerjaan ya? Aku pun teringat terhadap tangan Ibuku yang kasar. Ia bekerja keras dalam mengurusi rumah tangga. Ia tidak hanya terfokus untuk menyapu rumah, tapi juga memasak. Namun sayang tak ada pertandingan untuk Ibu rumah tangga. Ibuku pasti akan menang jika ada pertandingan seperti itu.

Aku membuka-buka kembali noteku. Langit malam ya. Langit malam yang tak pernah tampak menarik karena warnanya gelap. Seperti pekerjaan ibu rumah tangga yang tak menarik karena tampak membosankan. Sepertinya aku tahu harus menulis apa.

“Masih ada lagi?” tanya Darda padaku.

“Tidak terima kasih, rasanya cukup. Aku mendapat cukup inspirasi karenamu,” kataku sambil tersenyum dan mencatat ide yang muncul ke noteku.

Aku menoleh menatapnya, pandangan kami bertemu. Aku hanya tersenyum dan menyodorkan tanganku padanya. “Terima kasih,” ucapku. Ia pun menyambut tanganku.

“Sama-sama,” katanya.

Akhirnya aku meninggalkan Darda dan bergegas menuju rumah. Sepertinya untuk tulisan kali ini aku akan bekerja lama di rumah.
….

0 komentar:

Posting Komentar